Chapter 4

32 4 0
                                    

Malang benar nasib Eca hari ini.


Seharusnya ia sudah pulang ke rumah dari jam 11 siang tadi. Guru Matematika yang terkenal killer itu memanggilnya ke kantor guru.

"Eca. Ibu minta tolong banget sama kamu. Kenapa nilai matematika kamu dari kelas 7 nggak pernah bagus? Malah semenjak naik ke kelas 12 makin menurun. Tolonglah, ini demi kebaikan kamu juga sebagai syarat masuk kuliah." begitu kata Bu Anjani. Puas ia diceramahi oleh guru itu hingga setengah jam lamanya. 

"Ibu sarankan kamu mulai ikut les matematika. Atau kamu minta tolong diajari sama teman yang memang lebih pintar. Dan kalau memang tidak ada, datang ke ibu. Ibu akan ajarkan kamu. Sebentar lagi sudah mau masuk ujian tengah semester. Ibu harap nilai kamu nggak menurun lagi." Setelah mengatakan hal itu, barulah Eca diperbolehkan pulang. 

Mau bagaimana lagi? Mau seberapa keras usahanya untuk belajar, tetap saja semua materi itu mental di kepalanya, tidak ada satupun yang masuk ke otak. Eca memang tidak pintar. Tidak jarang hasil ujian dan ulangan, bahkan tugas hariannya mendapat nilai pas-pasan. Tidak jarang malah dibawah dari standar KKM. Padahal dia sudah berusaha dengan keras. Belajar hingga larut malam, menghafal semua teori. dan lain sebagainya.

Sepanjang perjalanan pulang, langkah kakinya terasa berat. Minta tolong pada siapa dia untuk mengajarkan materi itu? Eca tidak mau dengan Bu Anjani karena di kelas saja semua materi itu tidak pernah sampai ke otak. 

Eca akhirnya telah sampai ke rumah. Ia masuk dengan menggunakan pintu belakang karena yakin pintu depan itu sudah dikunci oleh Martha. Eca beruntung waktu itu ia sengaja membawa kunci pintu belakang dan menduplikatnya beberapa. Kalau tidak, ia takkan bisa masuk ke dalam rumah. Wanita jahat itu mana mungkin memikirkan Eca yang tidak bisa masuk ke rumah karena semua pintu terkunci. 

Pernah, saat itu di hari yang sama, Martha dan Cantika pergi selama seminggu. Sebenarnya, Eca tidak peduli mau mereka pergi selama-lamanya pun tidak masalah. Tapi yang jahat adalah sebelum pergi, mereka mengunci semua pintu akses masuk. Sama sekali tidak memikirkan Eca yang tinggal sendirian di rumah. Beruntung ada satu jendela yang terbuka di lantai dua. Entahlah, mungkin mereka lupa menutup. Dari situlah Eca akhirnya bisa masuk. Meskipun harus memanjat dulu hingga kakinya terluka. 

Terserahlah. Toh setelah lulus Eca akan segera keluar dari rumah dan memilih untuk nge-kos sendirian. Biar saja mereka ingin melakukan apapun di rumah ini. Bagi Eca sendiri, ia tidak pernah menganggap rumah ini adalah rumah yang berharga. Kenangannya bersama Tatiana terlalu sedikit untuk diingat, dan masa-masa indah bersama Ramly bukan disana. Ia dan Papanya selalu menginap di villa atau hotel, menghabiskan waktu berdua sebelum kedatangan Martha dan Cantika. 

⋆˚✿˖°

"Kaira mau pindah, Ma, Pa."

Seorang wanita paruh baya yang tengah bersantai di balkon sambil minum teh langsung tersedak saat ia mendegar suara seorang gadis dari belakangnya. 

"Kenapa sih, kamu? TIba-tiba banget pengen pindah. Mau pindah kemana emang?" Wanita paruh baya itu adalah ibu dari gadis yang berkata ingin pindah.

"Pindah ke Indonesia, mamaku cantik. Kan Mama sama Papa mau liburan kesana, Kaira mau tinggal dan sekolah juga." Ujar gadis berambut sebahu itu dengan jujur. Kini ia ikut duduk di sebelah bangku mamanya. Terdengar helaan napas panjang dari Arini, ibu dari gadis itu.

"Mama sih boleh-boleh aja. Tapi tanya papamu dulu lah. Ngizinan nggak beliau?" Kaira yang mendengar itu langsung tersenyum lebar. Dipeluknya dengan erat Arini. "Papa juga udah bolehin, kok. Lagian Kaira udah dari orok di sini. Masa' ga boleh pulang ke negara sendiri? Kaira kangen, Ma!"

My True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang