Yogya, 1993

27 5 1
                                    

Aku duduk di meja kayu reyot, penuh coretan kemarahan, di kamar sempit yang dindingnya memuakkan—berjamur, retak, dan busuk. Rumah tua di Yogyakarta ini sudah seperti neraka kecil, dan aku terkurung di dalamnya. Angin malam menusuk masuk dari jendela yang terbuka setengah, membawa dengungan samar kota yang meranggas dalam kesunyian, seperti jiwa-jiwa yang tersedot habis oleh ketakutan. Tahun 1993 bukan hanya sebuah belenggu, tetapi parit hitam yang menelan dan melumat setiap asa yang tersisa.

Pena di tanganku seperti duri yang menusuk, berat dengan beban kebencian. Setiap kata yang kususun adalah peluru tajam yang diarahkan langsung ke kepala para penguasa. Mereka telah menumpahkan darah tanpa rasa bersalah, mengotori tanah ini dengan tubuh-tubuh hancur yang dihilangkan dalam diam. Di luar sana, mataku tak pernah bisa merasa aman—mereka selalu ada, mengawasi, menunggu saat untuk mencekik, seperti ular berbisa yang mengendap di kegelapan.

“Larasati Anjani,” gumamku seperti mantra terkutuk. Ingatan percakapan terakhir kami masih bergaung di kepalaku. Dia bukan hanya seorang jurnalis pemberani, tetapi seorang martir yang sudah menyiapkan dirinya untuk disembelih di altar kejahatan. Wajahnya tidak memancarkan harapan, melainkan dendam yang menyala meski dikelilingi kebusukan para pengecut.

Kami bertemu di warung kotor, bau apek yang menyengat hidung di sudut Jalan Malioboro. Larasati menatapku seperti elang yang siap mencabik daging. “Laut,” suaranya berat, nyaris berbisik, tapi keras seperti ancaman, “kau harus menulis semuanya. Biarkan tinta ini menjadi darah yang menetes dari tubuh mereka.”

Dia tahu terlalu banyak. Dia melihat apa yang orang lain tak sanggup lihat. Orang-orang yang dianggap duri oleh pemerintah tiba-tiba lenyap, tubuh mereka tak pernah ditemukan. Mereka yang berani membuka mulut diseret seperti binatang di malam buta, dilenyapkan tanpa sisa. Larasati punya buktinya—foto, catatan, bahkan saksi hidup yang tersisa dari horor. Dia mengumpulkan semua itu dengan taruhannya sendiri—nyawanya.

Tak lama setelah pertemuan itu, tubuh Larasati ditemukan membusuk di selokan, dicampakkan seperti sampah yang tak lagi berguna. Sebuah pesan berdarah bagi siapa pun yang berani menentang. Tidak ada peringatan. Tidak ada belas kasihan.

Tapi darahnya tidak membuatku gentar. Sebaliknya, darah itu adalah bahan bakar yang menyulut apiku. Buku ini bukan hanya kata-kata—ini adalah pembalasan. Perang yang kutulis ini akan menembus jantung mereka yang bersembunyi di balik agama untuk membenarkan pembantaian. Mereka yang duduk nyaman di singgasana kekuasaan, mengendalikan setiap helaan napas kita dengan tangan besi yang berkarat oleh dosa.

Aku menatap malam Yogyakarta melalui jendela. Kota ini, dengan seluruh sejarah dan kebohongannya, telah menyaksikan lebih banyak kebejatan daripada yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Penculikan, penyiksaan, dan pembantaian—semua menjadi menu sehari-hari bagi mereka yang berani bersuara. Mereka membuat tanah ini basah oleh darah.

Kembali, kutulis di kertas di depanku. Setiap kata adalah belati yang akan kutancapkan ke tenggorokan mereka, setiap kalimat adalah bom yang siap meledakkan kedok mereka. Aku tahu apa yang menungguku, mungkin akan bernasib sama seperti Larasati Anjani—dihabisi tanpa ampun. Tapi lebih baik mati dalam perang ini daripada hidup dalam kebohongan yang membusuk.

Di ujung halaman itu, kutulis dengan tangan yang mulai gemetar karena adrenalin, “Kebenaran adalah iblis yang tidak bisa mati, meskipun siapa pun yang membawanya dihancurkan.”

Aku menatap kata-kata itu lama, merasakan panasnya merembes ke dalam hatiku. Kertas itu kusimpan hati-hati, seperti menyimpan granat yang siap meledak. Malam ini akan menjadi panjang, tapi aku siap. Darah harus dibayar dengan darah.

NAMAKU LAUT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang