4

8 1 0
                                    

Hari-hari di tempat persembunyian ini terasa seperti kuburan yang menelan perlahan-lahan. Ruang bawah tanah yang dingin dan lembab semakin menggerogoti akalku. Dinding beton penuh coretan sumpah serapah dan foto-foto korban penyiksaan terpajang tanpa belas kasihan. Wajah-wajah itu—mereka yang hilang, mereka yang dibantai—bercerita dalam diam, darah kering di pipi mereka seolah memanggil untuk balas dendam. Setiap ketukan mesin tikku adalah jeritan kemarahan melawan monster-monster  bersembunyi di balik seragam dan lambang negara.

Tubuhku masih hancur dari siksaan sebelumnya. Setiap napas seperti menghancurkan tulang-tulangku. Luka yang belum kering, daging yang koyak, menjadi pengingat bahwa ini belum selesai. Namun, tugas ini lebih besar dari rasa sakit yang mencengkeramku. Dokumen-dokumen, foto-foto, dan rekaman yang menguak kebrutalan pemerintah sudah tersusun rapi, siap menghancurkan topeng suci mereka. Aku harus memastikan semua ini sampai ke tangan publik sebelum mereka membakar habis semuanya, termasuk diriku.

Malam itu, Nara datang lagi. Pria berjas yang menyelamatkanku dari neraka itu memasuki ruang persembunyian dengan wajah jauh lebih kelam dari sebelumnya. Tak ada lagi belas kasihan, hanya ancaman yang terpancar dari setiap kerutan di dahinya.

"Laut, mereka akan datang. Mereka sudah tahu kita di sini. Mereka siap menghancurkan semuanya—bukti, tempat ini, dan kita," katanya dengan nada rendah yang mengguncangku.

Aku menelan ludah, merasa napas semakin berat. “Apa yang harus kita lakukan?” tanyaku, meski sudah tahu jawabannya.

Tatapan Nara dipenuhi oleh tekad, tetapi juga keputusasaan yang menggantung di ujung kematian. “Tujuanku bukan hanya menyelamatkanmu atau bukti-bukti ini. Kita harus menghancurkan mereka dari dalam. Jaringan kita sudah ada di setiap sudut, tapi kita harus bertindak cepat. Jika kita gagal sekarang, bukan hanya kebenaran yang akan terkubur, tapi juga harapan untuk menggulingkan tirani yang selama ini menghisap darah rakyat.”

Nara melanjutkan dengan suara yang penuh ketegangan, “Segera rilis semua informasi ini. Sebarkan melalui jaringan bawah tanah. Tapi ingat, kita harus waspada. Mereka sudah mencium bau darah dan siap menyerang kapan saja.”

Pekerjaan dimulai seperti operasi darurat di medan perang. Aku dan beberapa orang lain bekerja tanpa henti. Dokumen-dokumen disusun ulang, setiap foto disalin, setiap rekaman dikemas dalam amplop cokelat. Foto-foto itu—wajah-wajah korban penuh luka, tubuh-tubuh yang terkulai dengan darah yang mengering di sekujur tubuh—menjadi bukti tak terbantahkan. Ada foto seorang pria dengan mata membengkak, bibir sobek hingga nyaris terbelah, tubuhnya terjerat rantai di kursi besi. Di foto lain, seorang wanita, tubuhnya telanjang, kulitnya penuh memar dan bekas sundutan rokok, tergeletak tak bernyawa di lantai kotor yang basah oleh cairan tak dikenal.

Setiap malam, ruangan sempit ini diterangi lampu temaram yang tak mampu mengusir kegelapan di luar. Buku-buku yang mengungkap segala kebusukan itu selesai dicetak, setiap halaman penuh dengan kebenaran yang akan meledak seperti bom di tengah masyarakat. Buku ini tak berisi teori atau propaganda kosong. Isinya adalah kenyataan—kenyataan pahit tentang penyiksaan brutal, penghilangan orang-orang yang melawan, dan korupsi yang menjalar seperti kanker di tubuh pemerintahan.

Ketika buku itu akhirnya diterbitkan dan disebarkan melalui jaringan bawah tanah, api pemberontakan mulai menyala di seluruh negeri. Gelombang protes muncul di jalanan, rakyat turun dengan amarah yang membara, menuntut keadilan yang telah lama dikubur. Berita tentang kekejaman pemerintah menyebar seperti wabah, dan mereka sebelumnya buta kini terbangun dengan kebencian yang sama.

Namun, ancaman belum mereda. Bahaya masih mengintai, selalu mengintai. Aku duduk di sudut ruang bawah tanah, memandangi berita yang mengabarkan dampak buku itu. Di balik setiap kata, aku tahu ada bahaya yang semakin mendekat. Mereka—monster-monster itu—tak akan tinggal diam. Mereka akan datang, tak lama lagi, dan ketika mereka datang, mereka tak akan berhenti sampai semua saksi bisu ini terbungkam untuk selamanya.

Di tengah malam yang tak pernah benar-benar sunyi, aku tau perjuangan ini masih jauh dari selesai. Buku ini hanyalah permulaan dari sebuah perang yang akan menelan lebih banyak darah. Kebenaran yang telah kita ungkap harus terus diperjuangkan, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawa.

Aku duduk di sini, di ruang sempit yang menjadi penjara sekaligus benteng terakhir, dan berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tak akan berhenti. Meskipun mereka akan datang, meskipun mereka akan mencoba menghancurkan semua yang telah kami bangun, kebenaran ini akan terus hidup. Dan jika aku harus mati demi itu, maka biarlah—setidaknya aku mati dalam perlawanan, bukan sebagai budak kebohongan.

NAMAKU LAUT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang