5

8 2 0
                                    

Kehidupan di tempat persembunyian ini semakin menghancurkan. Setiap hari seperti berjalan di tepi jurang yang penuh dengan tajamnya pisau ketakutan. Jaringan bawah tanah kami bekerja mati-matian untuk memastikan buku-buku terkutuk itu menyebar ke seluruh pelosok Yogyakarta dan sekitarnya. Namun, ancaman yang kian mendekat membuat suasana semakin mencekam. Setiap langkah terasa seperti detak terakhir sebelum neraka menganga.

Suatu malam, ketika hanya ada lampu redup yang memancarkan bayangan gelap di dinding, Nara muncul dengan wajah yang jauh lebih menyeramkan dari biasanya. “Laut, kita punya masalah besar. Jaringan distribusi kita diserang. Beberapa orang hilang, beberapa lagi ditemukan mati—dibantai dengan cara yang sangat keji.”

Kata-kata itu menghantamku seperti palu godam. Tubuhku menegang, jantungku berdetak cepat. “Apa yang harus kita lakukan? Apakah kita hentikan distribusi?” tanyaku, meskipun aku tahu jawaban yang akan keluar dari mulut Nara.

Tatapan Nara mengeras, matanya dipenuhi tekad yang gelap. “Tidak. Kita teruskan. Tapi kita harus melindungi orang-orang kita. Dan pastikan keamanan kita sendiri. Mereka tidak akan berhenti sampai kita semua hancur.”

Tak ada waktu untuk ragu. Langkah-langkah darurat segera diambil. Orang-orang yang masih hidup dijaga ketat. Setiap gerakan dilakukan dengan hati-hati, seperti berjalan di atas kaca yang retak. Buku-buku kami mulai menguak kebenaran yang selama ini tersembunyi dalam kegelapan—laporan penyiksaan yang dilakukan militer, catatan orang-orang yang hilang seperti lenyap ditelan bumi, dan bukti-bukti korupsi yang meneteskan darah.

Berita tentang buku itu menyebar seperti api yang memakan hutan. Kemarahan rakyat meledak, dan protes pecah di jalan-jalan Yogyakarta. Tekanan dari luar negeri pun mulai mengguncang pemerintah, menempatkan mereka di bawah sorotan global yang membakar.

Namun, semua ini datang dengan harga yang sangat mahal. Banyak dari kami yang hilang, termasuk Larasati, yang selama ini berjuang tanpa henti memastikan kebenaran tersebar. Dia lenyap begitu saja, tanpa jejak. Seminggu setelah kepergiannya, tubuhnya ditemukan di parit kumuh di pinggiran kota—dirusak dan dicampakkan seperti sampah.

Tak ada pesan, tak ada peringatan, hanya tubuhnya yang bercerita tentang kengerian yang dia alami sebelum akhirnya napas terakhir diambil darinya. Setiap luka di tubuh Larasati adalah bukti dari kekejian yang ingin membungkam kami. Melihatnya, aku tidak merasa takut lagi. Yang ada hanya kemarahan yang membara, mendidih, siap meledak.

Tak ada ruang untuk air mata. Tidak ada waktu untuk bersedih. Dengan kemarahan yang menyala-nyala, aku melanjutkan perjuangan. Setiap kata yang kutulis dalam buku berikutnya adalah peluru untuk mereka, penghormatan bagi Larasati dan semua korban lainnya. Buku-buku itu terus disebarkan, bahkan ketika kami harus berpindah dari satu tempat persembunyian ke tempat lain. Kami menjadi buruan, tapi suara kebenaran kami semakin keras. Setiap kata adalah tamparan bagi mereka yang mencoba membungkam.

Di tengah malam yang terus meremukkan nyali, ancaman masih berdesis di udara. Aku tahu perjuangan ini belum selesai. Kebenaran mungkin tidak akan menghapus dosa-dosa mereka, tapi suara kami, suara Larasati, dan semua korban lain akan terus hidup, menggema di setiap sudut. Selama masih ada yang berani berbicara, berani menulis, kebenaran akan terus hidup—dan kami akan terus berjuang, meskipun nyawa menjadi taruhan terakhir yang harus kami bayar.

NAMAKU LAUT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang