3

12 2 0
                                    

Mobil hitam itu meluncur seperti pedang maut, merobek malam gelap Yogyakarta. Tubuhku terhempas di lantai mobil, remuk dan tak berdaya. Rasa sakit membakar setiap inci tubuhku, seolah jeritan dari setiap korban yang telah mereka siksa kini terukir dalam dagingku. Namun pikiranku tetap terpatri pada satu hal: kertas-kertas itu—bukti yang harus selamat dari tangan-tangan iblis ini.

Aku tak tau ke mana mereka menyeretku. Setiap detik terasa seperti neraka abadi. Mobil berbelok tajam dan berhenti di sebuah tempat terpencil. Pintu mobil dibanting terbuka, dan dua pria menyeretku keluar seperti bangkai yang hendak dibuang. Mereka mencampakkanku ke dalam sebuah gudang kotor, dinding besinya berkarat, lantainya penuh darah kering. Di sana, di sudut-sudut gelap ruangan, kulihat wajah-wajah manusia yang telah hancur, terikat dan terkoyak, hanya sisa dari kebrutalan yang tak mengenal ampun.

Aku dijatuhkan ke atas kursi besi yang dingin. Mereka mengikatku erat, seperti hewan yang siap disembelih. Lalu mereka datang, pria-pria bertopeng, membawa alat-alat penyiksaan yang terlihat seperti perpanjangan tangan dari setan itu sendiri. Denting logam dan derit kursi yang berkarat menjadi latar simfoni kematian yang brutal ini.

Salah satu pria bertopeng itu mendekat, tatapannya dingin seperti maut yang bersiap menancapkan pisaunya. “Kami tau kau menyembunyikan sesuatu, Laut,” katanya dengan suara yang kering dari kemanusiaan. “Sekarang, katakan di mana buktinya.”

Aku hanya menatap mereka dengan kebencian yang menyala. “Kalian tak akan mendapatkan apa-apa dariku,” desisku. “Bahkan jika kalian membunuhku, kebenaran yang kubawa akan menghancurkan kalian semua.”

Mereka tidak peduli. Salah satu dari mereka mulai mengayunkan alat penyiksaannya ke tubuhku. Setiap hentakan logam menghancurkan dagingku, menorehkan luka yang menyalakan api neraka di bawah kulitku. Yang lain menyiapkan kamera, merekam semuanya—mereka ingin dunia tahu bagaimana mereka melumat orang yang berani melawan.

Rasa sakit semakin membutakan. Setiap sentuhan alat penyiksa itu terasa seperti bara api yang disodorkan langsung ke tulang. Tapi pikiranku berlari ke Larasati. Dia sudah lebih dulu menghadapi semua ini, dan dia mati demi kebenaran. Aku tidak akan menyerah. Tak bisa. Jika aku menyerah, semua yang telah dia korbankan akan lenyap, hanya menjadi debu yang terbang sia-sia.

Tiba-tiba, suara tembakan menggema di luar. Kekacauan merebak, seperti badai yang menghancurkan tenang sebelum penyiksaan yang direncanakan. Para penyiksa terkejut. Dalam hiruk-pikuk itu, aku berusaha meronta dari ikatan yang melumpuhkan tubuhku.

Dalam kekacauan, seorang pria berpakaian jas hitam memasuki ruangan. Wajahnya dingin, dan setiap langkahnya memancarkan aura kekuasaan. “Berhenti!” teriaknya dengan suara tajam seperti pisau yang menusuk jantung. “Cukup penyiksaan ini!”

Para penyiksa menghentikan aksinya, bingung sejenak sebelum membungkuk hormat. Aku melihat ke arahnya diiringi berharap, dia adalah penyelamat, tapi tau betul di dunia ini tak ada pahlawan yang bersih. Aku mungkin hanya berpindah dari satu tangan setan ke tangan setan lainnya.

“Dia masih berharga,” lanjut pria itu dengan nada dingin. “Bawa dia ke tempat lain. Hancurkan semua yang ada di sini. Tidak boleh ada jejak tersisa.”

Tanpa banyak bicara, para penyiksa segera membereskan alat-alat mereka dan meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa. Aku, dalam keadaan separuh sadar, ditarik keluar seperti bangkai yang tak lagi memiliki nilai. Mereka melemparkanku ke dalam mobil lain, kali ini dengan penjagaan yang lebih ketat. Setiap langkah terasa seperti perjalanan panjang menuju akhir yang tak terhindarkan.

Mobil melaju lebih lambat kali ini, dan dengan sisa tenaga, aku berbisik, “Siapa kau?”

Pria berpakaian jas itu menoleh padaku, matanya dingin tapi penuh perhitungan. “Aku bukan bagian dari sistem ini sepenuhnya. Kau mungkin tak akan percaya, tapi kebenaran yang kau pegang adalah bagian dari permainan yang lebih besar. Aku akan memastikan bukti-bukti mereka hancurkan digantikan oleh salinan di tempat lain. Tapi jangan salah sangka, Laut. Ini belum berakhir. Mereka akan terus memburu kalian semua, dan ini hanya masalah waktu sampai mereka menemukan yang tersisa.”

Kata-katanya menusuk seperti pisau yang tajam, tapi anehnya memberiku secercah harapan. Meskipun tubuhku hancur dan semangatku nyaris padam, aku masih punya tujuan—untuk memastikan semua yang telah diperjuangkan tak akan sia-sia.

Ketika mobil berhenti di sebuah rumah aman, aku ditarik keluar lagi, kali ini lebih hati-hati. Mereka merawat lukaku, memberiku obat untuk mengurangi rasa sakit yang mencabik-cabik tubuhku. Setiap sentuhan terasa seperti api, tapi aku memaksakan diri untuk tetap sadar, setidaknya cukup untuk mengucapkan terima kasih pada mereka yang telah menyelamatkanku—sekalipun mereka hanya sekutu sementara dari neraka ini.

Pria berpakaian jas itu mendekat lagi setelah beberapa waktu. “Kami akan memastikan semua bukti yang kau bawa digunakan untuk mengungkap kebenaran. Tapi ingat ini, Laut—kau tak pernah benar-benar aman. Mereka akan terus mencari, dan ketika mereka menemukanmu, tak ada tempat yang cukup jauh untuk melarikan diri.”

Aku hanya mengangguk lemah. Tapi di dalam diriku, semangat yang hampir padam itu mulai menyala lagi. Meski malam ini penuh darah dan derita, perjuanganku belum selesai. Kebenaran ini tak akan dibiarkan mati. Dan selama aku masih bisa menghirup udara, aku akan memastikan bahwa semua kebusukan ini, semua monster yang bersembunyi di balik kekuasaan, akan terbongkar, satu per satu, hingga tak ada lagi yang tersisa untuk bersembunyi.

Dan jika mereka datang lagi, aku akan siap. Kebenaran tak akan pernah mati, meskipun tubuh ini dilumat dan dibakar habis.

NAMAKU LAUT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang