6

9 2 0
                                    

Setelah kematian Larasati, setiap hari terasa seperti menari di atas kawah berapi. Kota Yogyakarta semakin gelap, dikuasai ketidakpastian dan teror yang menyelimuti. Protes di jalan-jalan makin meluas, tetapi pemerintah malah mengintensifkan serangan mereka.

Di malam yang gelap di ruang bawah tanah, aku duduk di depan mesin tik dengan tangan bergetar. Setiap ketukan terasa seperti pukulan tajam, keringat dingin mengalir deras. Nara muncul dengan wajah muram, wajah yang memperlihatkan beratnya berita yang dibawanya. "Laut, mereka akan menghancurkan tempat ini. Pemerintah mempersiapkan serangan besar. Mereka tahu kita ada di sini."

Berita itu menghantamku seperti pukulan telak. “Apa yang harus kita lakukan?” tanyaku, panik dan hampir putus asa.

Nara menatapku dengan mata penuh tekad dan kemarahan. “Kita harus memindahkan semua bukti dan dokumen ke tempat yang lebih aman. Kontak di luar kota siap membantu, tapi kita harus cepat. Kalau mereka menangkap kita, semua informasi ini akan lenyap.”

Kami cepat-cepat mengemas dokumen—foto penyiksaan, catatan penghilangan orang, bukti korupsi yang menyakitkan. Setiap kertas adalah nyawa yang harus diselamatkan, dan kami harus memastikan semuanya sampai ke tempat yang aman sebelum pemerintah menghancurkan segalanya.

Dengan bantuan jaringan underground, kami memindahkan barang-barang dalam kecepatan tinggi. Kami menyelinap melalui lorong-lorong gelap dan terowongan tersembunyi, menghindari patroli militer dan aparat yang terus memantau. Setiap langkah rasanya seperti menghadapi kematian. Ketegangan merembes di setiap sudut ketika kami melintasi pos pemeriksaan.

Akhirnya, kami tiba di tempat aman—sebuah gudang tua di pinggiran kota. Namun, ancaman tidak berhenti di situ. Saat kami berusaha mengatur dokumen dan melindungi informasi, kabar buruk datang: pemerintah melancarkan serangan terhadap para aktivis dan jurnalis yang terlibat.

Suatu malam, saat kami berusaha mengatur dokumen terakhir, salah satu anggota tim muncul dengan wajah pucat. “Tempat persembunyian kita telah diserbu. Banyak dari kita yang ditangkap atau dibunuh. Mereka tahu siapa kita.”

Rasa putus asa hampir membuatku runtuh, tapi aku berusaha menenangkan diri. “Kita harus merilis semua informasi ini secepatnya. Tak ada waktu lagi. Jika tidak, semua pengorbanan ini sia-sia.”

Dokumen-dokumen terakhir kami luncurkan melalui saluran tersembunyi, menyebarkan informasi ke media internasional dan organisasi hak asasi manusia. Kami berharap, meski ancaman terus membayangi, kebenaran akan sampai ke seluruh dunia dan memberi tekanan pada pemerintah.

Di tengah kegelapan malam yang menekan, aku memandangi berita yang menyebar global. Rasa duka dan kemarahan menggantikan rasa sakit fisik yang kurasakan. Buku-buku yang kami tulis telah menyerukan kesadaran global, tetapi perjuangan kami belum selesai. Rezim yang berkuasa tidak akan menyerah begitu saja, dan ancaman terhadap kami masih nyata.

Di ruang gudang yang kotor dan remang-remang ini, aku bertekad untuk terus melawan. Kebenaran yang kami ungkap mungkin tidak akan menghapus semua kejahatan, tetapi suara kami akan terus bergema. Kebenaran tidak akan mati selama masih ada yang berani melawan. Selama aku masih hidup, aku akan terus berjuang untuk memastikan bahwa suara Larasati dan semua korban lain tidak pernah hilang dari ingatan dunia.

NAMAKU LAUT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang