1

12 2 1
                                    

Aku melipat kertas itu perlahan, seolah meremas nyawa yang sudah dipastikan akan direnggut. Amplop di tanganku tak lebih dari bayangan kematian, rapuh, siap hancur. Kutekan di bawah papan lantai longgar—tempat kubiasakan menyembunyikan hal-hal yang berisiko mencabut nyawaku kapan saja.

Langkah kaki di luar kamar melunyah kesadaranku seperti palu godam. Mereka sudah dekat. Tubuhku disesaki adrenalin, denyut nadiku berdegup kencang, keras seperti lonceng kematian. Apa ini akhirnya? Malam ini?

Aku membisu, berharap sia-sia bahwa langkah itu hanya ilusi. Namun, suara ketukan di pintu semakin keras, menghancurkan sunyi dengan ancaman tak tersembunyi lagi. Keringat dingin mengucur dari keningku, dan jantungku terasa hampir meledak di balik tulang rusuk.

Siapa pun di balik pintu itu datang bukan untuk bicara. Mereka datang untuk mencabik-cabik hidupku.

Ketukan semakin brutal. Dentingnya seolah mengoyak keheningan malam. Aku mundur perlahan, menatap pintu yang semakin menyeramkan, seolah lubang neraka akan terbuka kapan saja. Otakku dibanjiri gambaran tubuh Larasati yang terbujur kaku di parit kotor dengan luka menganga di leher. Apakah aku akan menjadi sampah berikutnya di jalan-jalan kota ini?

Dengan tangan bergetar, aku meraih pistol tua dari laci meja. Senjata yang tak banyak artinya, tapi mungkin bisa menunda ajal—atau mempercepatnya, siapa peduli? Kugenggam erat, berharap gemetar di tanganku bisa berhenti, meskipun ketakutanku sudah menjalar ke setiap sel tubuhku.

“Laut Ombak Biru,” suara berat dan dingin memecah udara dari balik pintu. “Buka. Kita cuma mau bicara.”

Cuma mau bicara? Sialan. Mereka tidak datang untuk bicara. Mereka datang untuk menghancurkan. Aku tahu arti "bicara" bagi mereka. Bicara berarti peluru di tengkorak, darah mengalir, dan tubuh terkapar tak bernyawa seperti Larasati di parit sialan itu.

Aku diam, tak memberi mereka setetes pun rasa takutku. Pistol di tanganku makin berat, nyaris tak tertahankan. Mataku melirik jendela yang terbuka setengah, angin malam dingin menyusup menawarkan pelarian yang terasa seperti satu-satunya pilihan. Tanpa pikir panjang, kutendang jendela itu hingga terbuka lebar. Persetan dengan ketenangan.

Namun, sebelum aku sempat melompat—pintu kamarku dihancurkan dengan kekuatan brutal, kayunya terbelah, serpihannya beterbangan. Mereka menyerbu masuk lebih cepat dari yang kuduga. Aku berlari ke jendela, tetapi tangan kekar mencengkeram bahuku hingga membuatku kembali ke dalam kamar sempit ini.

“Sudah terlambat, Laut,” suara dingin membisik di telingaku. Aku meronta, tapi itu hanya gerakan sia-sia. Mereka terlalu banyak. Terlalu kuat. Mereka membantingku ke lantai dengan kasar, tubuhku ditekan ke bawah seperti anjing liar yang hendak disembelih. Lutut keras menancap di punggungku, menghancurkan tulang rusukku, membuatku susah bernapas. Pistol di tanganku terlempar jauh, menjadi besi tua yang tak ada gunanya lagi.

“Di mana kau sembunyikan buktinya?” Suara seorang dari mereka memuntahkan kebencian, mendekati kepalaku. Aku tetap diam. Tak akan kuberi mereka sepotong pun nyawa yang tersisa.

Mereka merengsek maju, menghancurkan segala yang ada di kamar ini. Langkah sepatu mereka terdengar seperti palu yang memaku peti matiku. Setiap sudut mereka obrak-abrik dengan ganas, hingga akhirnya papan lantai longgar itu terungkap. Salah satu dari mereka menyeringai puas saat mengangkat amplop yang kusembunyikan. Seolah baru saja memenangkan perang, seolah baru saja menaklukkan kebenaran.

Aku menatap kosong. Mereka sudah mendapatkannya. Kebenaran kini di tangan mereka. Yang bisa kulakukan hanyalah berharap neraka mereka belum sempurna.

Mereka menyeretku keluar dari kamar yang kini tak lagi berarti. Jalanan Yogyakarta yang sunyi adalah saksi bisu kekejian ini. Mereka memaksaku masuk ke dalam mobil hitam yang terparkir di jalan gelap. Ketika pintu mobil terbuka, udara malam yang dingin memukul tulangku, tetapi ketakutan yang menggenggamku jauh lebih menusuk, lebih mencekik.

Aku tau ke mana mereka akan membawaku. Aku tau apa yang menantiku. Tapi di tengah kegelapan yang menghancurkan ini, satu hal tetap kukuh: mereka mungkin bisa mengoyak tubuhku, tetapi kebenaran yang kutulis ini akan terus hidup, menghantui mereka yang bersembunyi di balik topeng busuk. Neraka yang mereka ciptakan hanya akan menelan mereka sendiri.

Saat mobil mulai menjauh, aku menatap keluar jendela, meninggalkan rumah tua itu. Kota ini tetap bisu, tetap menjadi saksi kebusukan yang berlapis-lapis. Dan aku, aku hanya bisa berharap suaraku akan tetap menggema, bahkan ketika tubuhku sudah tak lagi bernyawa.

NAMAKU LAUT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang