prolog

14 2 0
                                    

Issa terbangun dengan perasaan yang aneh, seolah-olah dunia yang dikenalnya telah lenyap. Dia berusaha membuka mata, tetapi kelopak matanya terasa berat, seperti diikat oleh rantai tak terlihat. Bau antiseptik yang tajam menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma darah yang mengering. Di telinganya, terdengar suara mesin yang berdengung monoton, memecah kesunyian yang mencekam.

Perlahan, dia berhasil membuka matanya, dan apa yang dilihatnya membuat jantungnya berdebar keras. Dia berada di sebuah ruangan kecil, dindingnya berwarna putih pudar, tetapi ada noda kecokelatan di beberapa tempat, seakan-akan darah telah menodai cat yang mengelupas. Lampu neon di langit-langit berkedip-kedip, memancarkan cahaya yang redup dan dingin.

Issa mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa berat. Saat tangannya meraba wajahnya, dia merasakan sesuatu yang aneh—perban yang tebal menutupi hampir separuh wajahnya. Saat jari-jarinya menyentuh perban itu, rasa sakit yang tajam menusuk dari baliknya, membuat Issa tersentak. Perban itu basah dan lengket, seperti baru saja digunakan untuk menutupi luka yang belum sembuh.

Dengan gemetar, Issa memandang sekeliling ruangan, mencari tahu di mana dia berada. Di sudut ruangan, dia melihat sebuah cermin yang retak. Perlahan-lahan, dengan tubuh yang masih terasa lemah, dia memaksakan diri untuk bangkit dan berjalan menuju cermin itu.

Apa yang dilihatnya di cermin membuatnya tersentak dan hampir jatuh. Wajahnya—wajah yang dulu dikenalnya dengan baik—kini hancur. Sebagian besar wajahnya ditutupi perban, hanya menyisakan satu mata yang terlihat, penuh ketakutan dan kebingungan. Di bawah perban, darah merembes keluar, membentuk noda gelap yang mengalir lambat ke lehernya. Bekas jahitan yang kasar terlihat di beberapa tempat, menunjukkan operasi yang dilakukan dengan kasar dan tidak hati-hati.

"Ini... ini bukan aku..." Issa berbisik, suaranya serak dan hampir tidak terdengar. "Apa yang telah dia lakukan padaku?"

Di saat Issa tenggelam dalam kepanikan dan ketakutan, pintu ruangan terbuka dengan suara yang berderit, membuatnya tersentak dan menoleh cepat. Seorang pria muda masuk—dokter yang bertanggung jawab atas semua ini. Dia tinggi, dengan rambutnya yang berwarna hitam legam dan wajah yang terlihat tenang, hampir terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menghancurkan hidup seseorang.

Jungkook...

Namanya adalah Dr. Jungkook, dan meskipun penampilannya seperti seorang dokter yang sopan dan profesional, ada sesuatu yang sangat salah dengan caranya tersenyum—senyum yang terlalu lebar, dengan mata yang dingin dan tanpa emosi.

"Bagaimana perasaanmu hari ini, Issa?" tanya Dr. Jungkook dengan suara lembut yang menakutkan. "Kita sudah membuat kemajuan besar, bukan?"

Issa tidak bisa berkata apa-apa. Tubuhnya gemetar, dan dia hanya bisa mundur, menjauh dari pria itu. Tapi Dr. Jungkook tidak berhenti. Dia mendekat, menatap wajah Issa dengan tatapan yang seakan-akan dia sedang mengagumi hasil karyanya.

"Kamu seharusnya bersyukur, Issa. Kamu adalah bagian dari sesuatu yang besar. Sesuatu yang... revolusioner," katanya, tangannya bergerak untuk menyentuh perban di wajah Issa. Tapi Issa segera menepis tangan itu dengan sisa-sisa kekuatannya.

"Tidak... jangan sentuh aku!" Issa berteriak, suaranya pecah oleh rasa sakit dan ketakutan. Pun sakit di hatinya karena merasa ditipu hingga titik terburuk.

Dr. Jungkook hanya tersenyum lebih lebar. "Tenang, tenang... Semua ini demi kebaikanmu, demi kebaikan kita semua. Setelah semua ini selesai, kamu akan menjadi orang yang baru. Kita semua akan menjadi orang yang baru."

Issa ingin melarikan diri, tapi tubuhnya terlalu lemah. Dia hanya bisa memandang pria itu dengan mata penuh ketakutan, berharap ada seseorang yang akan datang untuk menyelamatkannya dari mimpi buruk ini.

"Apakah kamu tahu," Dr. Jungkook melanjutkan, suaranya hampir seperti sedang bercakap-cakap dengan seorang teman, "betapa banyak orang yang ingin ada di posisimu? Kamu istimewa, Issa. Sangat istimewa."

Issa tidak bisa mendengarkan lebih jauh. Kata-kata pria itu hanya menambah rasa takutnya. Dia berusaha memalingkan wajah, tapi rasa sakit yang tajam membuatnya terdiam. Di dalam dirinya, hanya ada satu pikiran yang terus berputar—bagaimana caranya keluar dari tempat ini? Bagaimana caranya menghentikan kegilaan ini?

Jungkook...

Pria yang di cintainya sudah mati.










issaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang