episode 10: pria hilang

5 1 0
                                    

Aku terbangun dalam keadaan basah oleh keringat. Kamar yang biasanya terasa nyaman kini seperti mencekik, membuat napasku sesak dan dada terasa berat. Kegelapan malam yang biasa menenangkanku berubah menjadi bayangan-bayangan mengerikan yang menghantui pikiranku. Mimpi itu, sekali lagi, datang dengan kekejaman yang sama. Kali ini lebih nyata, lebih memukau hingga aku merasa seperti tenggelam dalam neraka tanpa jalan keluar.

Aku mencoba mengatur napasku, menarik dan menghembuskannya dalam-dalam, namun jantungku tetap berdetak kencang seolah ingin melompat keluar dari dadaku. Ada sesuatu yang begitu jahat dalam mimpi itu, sesuatu yang membuatku merasa tak berdaya. Bayangan dokter dengan masker dan penutup kepala itu masih terbayang jelas di pikiranku. Wajahnya tertutup rapat, tapi aku bisa merasakan niat jahat di balik matanya yang tersembunyi. Ia mendekat dengan jarum suntik di tangannya, dan aku bisa merasakan dinginnya ujung logam itu sebelum akhirnya aku terbangun dengan jantung yang berdegup keras.

"Mimpi buruk... lagi," bisikku pada diri sendiri. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Lebih nyata, lebih mengancam. Aku mengusap wajahku yang basah oleh keringat dan meraih botol air di samping tempat tidur, meneguk isinya dengan rakus. Tapi, bahkan air dingin yang biasa menenangkanku pun tak mampu mengusir rasa takut ini. Pikiranku terus berputar-putar, bertanya-tanya, mengapa mimpi itu terus datang? Apakah ini sekadar mimpi buruk atau ada sesuatu yang lebih besar yang berusaha memperingatkanku?

Aku berusaha memejamkan mata lagi, berharap bisa tidur kembali. Tapi, meski lelah, pikiran dan tubuhku menolak untuk beristirahat. Aku hanya bisa terbaring di sana, mendengarkan detak jantungku yang perlahan mulai tenang. Akhirnya, dengan tubuh yang masih gemetar, aku kembali terlelap, meski tidurku jauh dari nyenyak.

Pagi itu, ketika aku bangun, tubuhku terasa berat, seolah seluruh energi dalam diriku telah terkuras. Aku merangkak keluar dari tempat tidur dengan susah payah, mencoba mengumpulkan tenaga yang tersisa untuk menjalani hari. Tapi, bayangan wajah pucat yang kulihat di cermin hanya memperburuk suasana hatiku. Kulitku tampak lebih pucat dari biasanya, mataku sembab dengan lingkaran hitam yang jelas terlihat. Aku tahu bahwa aku tidak akan mampu menjaga kedai dalam kondisi seperti ini.

Dengan tangan gemetar, aku meraih ponsel dan mengirim pesan singkat pada Jungkook, memberitahunya bahwa aku tidak akan membuka kedai hari ini. Tubuhku terlalu lemas, terlalu sakit untuk bisa bekerja. Pesan balasan dari Jungkook datang dengan cepat, menandakan betapa pedulinya dia padaku.

Aku akan menengok setelah pekerjaan selesai. Istirahat yang cukup, Issa.

Membaca pesannya, aku merasa sedikit lega, meski bayangan mimpi buruk tadi malam masih menggantung di benakku. Aku tahu Jungkook selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik. Tapi kali ini, ketenangan yang biasanya kurasakan ketika bersamanya tidak cukup untuk menghilangkan rasa gelisah yang menggerogoti.

Mencoba mengalihkan pikiranku dari mimpi itu, aku membuka sosial media yang sudah lama tidak kuakses. Aku mulai menggulirkan layar, membaca berbagai berita tanpa minat yang jelas. Namun, sebuah headline membuat jariku terhenti. Judulnya berbunyi, "Pria Ini Hilang Sejak Seminggu yang Lalu". Aku tidak bisa berpaling dari foto yang terpampang di sana. Wajah itu—aku mengenalnya. Jantungku kembali berdegup kencang saat mengenali pria itu. Bukankah dia pria yang datang ke kedai minggu lalu? Pria yang duduk diam di pojok ruangan, menatapku dengan tatapan yang begitu dalam.

Aku mulai merasa pusing. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Apakah ini kebetulan belaka, atau ada sesuatu yang lebih menyeramkan yang sedang terjadi? Aku mencoba membaca lebih lanjut, tetapi sebelum bisa membuka lebih banyak informasi, teleponku berdering. Nama Luna muncul di layar, dan aku tahu, kali ini dia pasti akan mengomeliku lagi dengan kekhawatirannya.

Aku menghela napas panjang sebelum mengangkat telepon. "Hai, Luna," sapaku, mencoba terdengar ceria meski kepalaku terasa berat.

"Hai, Issa. Bagaimana kabarmu?" tanya Luna dengan nada yang hangat dan penuh perhatian.

"Aku... kurang sehat hari ini. Aku memutuskan untuk istirahat di rumah," jawabku sejujurnya.

"Oh, astaga! Kamu baik-baik saja? Ada yang bisa aku bantu?" Suara Luna terdengar khawatir, dan meskipun aku menghargai perhatiannya, kali ini kekhawatirannya terasa sedikit berlebihan.

"Ngga, aku baik-baik saja kok. Cuma kecapekan mungkin," aku mencoba menenangkannya, berharap dia tidak membahas apa pun yang bisa membuat kepalaku semakin pusing.

Luna menghela napas panjang, dan aku bisa mendengar ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Issa, aku tahu ini mungkin terdengar berlebihan, tapi aku benar-benar khawatir sama kamu. Apalagi setelah kamu cerita soal mimpi buruk itu dan tentang Jungkook. Aku cuma nggak mau kamu terjebak dalam situasi yang salah."

Aku memotong ucapannya dengan cepat. "Luna, aku tahu kamu peduli, dan aku menghargai itu. Tapi aku sudah dewasa dan tahu apa yang aku lakukan. Jungkook itu orang yang baik. Kamu mungkin cuma terlalu khawatir. Aku yakin semuanya baik-baik saja."

Luna terdiam, mungkin menyadari bahwa kali ini aku tidak ingin mendengar lebih lanjut kekhawatirannya. Aku merasa sedikit bersalah, tapi aku juga mulai jengkel dengan kekhawatirannya yang berlebihan. Setelah beberapa detik, dia akhirnya berkata, "Baiklah, Issa. Aku cuma ingin kamu berhati-hati."

"Iya, terima kasih, Luna," jawabku, mencoba terdengar tenang meskipun sebenarnya hatiku mulai merasa sedikit tertekan. Setelah mengakhiri percakapan, aku meletakkan ponsel dan menghela napas panjang.

Luna selalu memiliki intuisi yang tajam, dan biasanya aku mempercayainya. Tapi kali ini, aku tidak bisa. Bukankah Jungkook selalu baik padaku? Mengapa Luna tidak bisa melihat itu? Dia terlalu banyak berpikir, terlalu banyak mencemaskan hal-hal yang tidak perlu. Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis semua pikiran buruk yang perlahan-lahan mulai merayap masuk ke dalam benakku.




bersambung...

issaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang