episode 5: siapa dia?

2 0 0
                                    

Hari ini terasa berbeda. Biasanya, Jungkook akan mampir ke kedai kopi di sore hari, tapi kali ini dia mengirim pesan singkat bahwa dia tidak bisa datang. Ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri sendiri dengan berpikir bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bagaimanapun, aku sudah terbiasa bekerja sendiri di kedai ini.

Jam menunjukkan pukul empat sore ketika pintu kedai terbuka dengan suara lonceng kecil yang familiar. Aku menoleh dan melihat lima anak SMA masuk dengan langkah yang tidak sopan. Seragam mereka lusuh dan tidak rapi, dengan kemeja yang seharusnya dimasukkan ke dalam celana justru dibiarkan terurai, dasi menggantung lemas, dan topi seragam dipakai dengan sembarangan. Mereka tampak seperti sekelompok berandalan yang baru pulang dari sekolah.

Mereka mendekat ke meja kasir, berbicara keras dan tertawa seolah-olah menguasai tempat ini. Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan rambut dicat pirang, menyeringai padaku dengan senyum yang jelas-jelas tidak tulus.

"Hei, Kak. Kopi yang paling enak di sini apa, ya?" tanyanya dengan nada menggoda.

Tiga temannya yang lain tertawa terbahak-bahak, menambah suasana yang semakin tidak nyaman. Aku menatap mereka dengan tenang, berusaha tidak terpengaruh oleh tingkah mereka. "Kami punya berbagai macam kopi, tergantung selera kalian. Ada yang kuat, ada yang ringan. Mau coba yang mana?"

Pemuda itu tertawa lagi, lalu berkata, "Yang kuat aja, Kak. Biar kayak hati kamu yang pasti kuat ngadepin cowok-cowok ganteng kayak kami."

Aku menahan diri untuk tidak memutar mata. Senyumku tipis, aku menjawab, "Baik, tunggu sebentar." Aku bergegas menuju mesin kopi, merasa lega sejenak bisa menjauh dari meja kasir. Saat aku mulai menyiapkan pesanan mereka, perasaanku sedikit lebih tenang. Namun, perasaan itu tak bertahan lama.

Aku merasa ada yang memperhatikanku. Saat melirik sekilas ke arah meja mereka, mataku bertemu dengan salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan rambut hitam yang tampaknya lebih pendiam dibanding yang lainnya. Tatapannya serius, seolah mencoba mengenali sesuatu dalam diriku.

Aku kembali fokus pada kopi yang sedang kubuat, berpura-pura tidak memperhatikan tatapannya. Tapi pikiranku terusik—apakah aku mengenalinya? Ataukah dia mengenalku? Sesuatu tentang tatapan itu membuatku merasa tidak nyaman, namun aku mencoba mengabaikannya.

Setelah pesanan mereka selesai, aku mengantarkannya ke meja mereka. Mereka masih terus bercanda, suara tawa mereka menggema di seluruh ruangan, membuat suasana kedai terasa lebih sempit. Aku memasang senyum sopan, meskipun di dalam hati aku merasa tidak nyaman.

"Terima kasih, Kak," kata pemuda pirang itu, masih dengan nada menggoda. Matanya berkedip usil ke arahku.

Aku hanya mengangguk dan berbalik, berusaha menghindari tatapan mereka. Di tengah obrolan mereka yang tidak sopan, ponselku bergetar di saku. Nama Jungkook muncul di layar. Aku merasa lega bisa mendengar suaranya di tengah keramaian yang mengganggu ini.

"Hai, Jungkook," sapaku dengan nada hangat setelah mengangkat telepon.

"Hai, Issa. Maaf aku nggak bisa datang hari ini. Ada pekerjaan yang mendadak," suaranya terdengar sedikit kecewa.

"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja di sini. Tapi aku merindukanmu," jawabku, sambil melirik ke arah meja anak-anak SMA itu. Mereka sepertinya terlalu sibuk dengan obrolan mereka untuk memperhatikan percakapanku.

"Aku juga merindukanmu. Besok aku pasti datang," janji Jungkook.

Kami berbicara sebentar lagi, dan aku menutup telepon dengan perasaan lebih tenang. Aku menoleh lagi ke arah meja mereka, dan kali ini aku menangkap pemuda yang diam tadi—yang tampaknya bernama Yeonjun, berdasarkan percakapan teman-temannya—masih menatapku dengan tatapan yang sama, seolah dia sedang melihat seseorang lain dalam diriku.

Ada sesuatu yang aneh dari cara dia memandangku. Tatapannya bukan sekadar penasaran, melainkan seperti orang yang sedang mencoba menghubungkan kenangan lama dengan kenyataan di depannya. Perasaan tidak nyaman itu semakin menguat. Aku merasakan ada sesuatu yang salah, namun tidak tahu apa yang harus kulakukan.

"Kak, tambah satu lagi kopinya, ya!" teriak salah satu anak yang lain, memecah lamunanku.

Aku segera kembali ke belakang meja untuk menyiapkan kopi tambahan, namun tatapan Yeonjun terus membayangiku. Ketika aku menyerahkan kopi tambahan, dia masih menatapku dengan tatapan yang membuat jantungku berdebar lebih cepat. Siapa dia? Mengapa dia menatapku seperti itu? Apakah aku hanya berlebihan, atau ada sesuatu yang benar-benar salah?

Saat mereka akhirnya selesai dan mulai keluar dari kedai, Yeonjun berjalan paling terakhir. Sebelum melangkah keluar, dia sempat menoleh kembali padaku, memberikan satu tatapan terakhir. Tatapan itu... seolah-olah dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi memilih untuk diam. Dan itu justru membuatku semakin gelisah.

Begitu mereka pergi, aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diriku sendiri. Namun, perasaan tidak nyaman itu masih tertinggal. Aku duduk di kursi belakang meja kasir, mencoba melupakan peristiwa tadi. Tapi bayangan Yeonjun dan tatapannya yang aneh tetap menghantui pikiranku. Di sudut hatiku, aku merasa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang mungkin tidak akan mudah dilupakan.




bersambung...

issaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang