episode 8: dokter?

3 0 0
                                    

Hari itu, setelah momen indah yang kulalui dengan Jungkook saat matahari terbenam, aku merasa bahagia dan penuh harapan. Rasanya seperti segala kekhawatiran yang sebelumnya menghantuiku mulai sirna dalam kehangatan perasaan ini. Aku tahu bahwa aku harus berbagi kebahagiaan ini dengan seseorang yang selalu ada untukku—Luna.

Luna sudah seperti saudara bagiku, seseorang yang selalu bisa kuandalkan. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil ponsel dari saku dan menekan nomor Luna. Aku ingin dia menjadi orang pertama yang tahu tentang hubungan baruku dengan Jungkook. Ketika panggilan tersambung, aku bisa merasakan antusiasme yang tak terbendung dalam suaraku.

"Luna, kamu nggak akan percaya!" seruku, hampir tidak bisa menahan kegembiraan yang meluap dari dalam diriku.

"Ada apa, Issa?" jawabnya dengan nada penasaran di ujung sana. Aku bisa membayangkan ekspresi wajahnya yang terkejut dan penasaran.

"Jungkook dan aku... kita akhirnya resmi pacaran!" ucapku dengan penuh antusiasme. Kalimat itu meluncur begitu saja, seakan-akan aku sudah menunggunya sejak lama.

Namun, keheningan tiba-tiba mengisi ruang di antara kami. Luna tidak langsung merespons, dan untuk sesaat aku merasa cemas. Apa dia tidak bahagia mendengar kabar ini? Atau mungkin ada sesuatu yang lain yang membuatnya ragu untuk merespons?

"Luna? Kamu masih di sana?" tanyaku, mencoba memecah keheningan yang terasa janggal.

"Aku... aku di sini, Issa," akhirnya Luna menjawab. Suaranya terdengar agak gugup dan ragu. "Selamat ya... aku senang mendengarnya."

Aku tersenyum, walaupun ada sedikit rasa tidak nyaman yang tak kumengerti. "Terima kasih, Luna. Aku tahu kamu selalu mendukungku."

"Ya, tentu saja. Kamu tahu aku selalu mendukungmu," katanya, meski aku bisa menangkap nada kekhawatiran yang terselip di balik kata-katanya.

Obrolan kami terus berlanjut, mulai dari bagaimana hubungan kami berkembang hingga hal-hal kecil yang terjadi di kedai. Aku menceritakan betapa bahagianya aku dengan Jungkook dan bagaimana dia membuatku merasa spesial. Namun, meskipun aku berusaha keras untuk tetap optimis, ada sesuatu di dalam diriku yang merasakan kegelisahan yang tidak bisa kuabaikan.

"Kedai kamu masih buka?" tanya Luna, mungkin mencoba mengalihkan pembicaraan dari topik yang membuatnya merasa tidak nyaman.

"Tinggal beberapa menit lagi sebelum tutup," jawabku sambil melirik jam dinding. "Jungkook sekarang lagi bantu di kasir, jadi aku punya waktu untuk ngobrol."

"Oh, baguslah... Tapi, Issa, kamu harus tetap hati-hati ya," katanya, suaranya penuh perhatian. "Aku cuma ingin kamu bahagia."

"Aku tahu, Luna. Aku juga ingin begitu." Aku menghela napas pelan, merasakan berat dari ucapan Luna. Dia selalu peduli padaku, tetapi kekhawatirannya kali ini terasa lebih dalam dari biasanya. "Tapi aku benar-benar merasa bahagia dengan Jungkook."

"Kalau kamu merasa bahagia, itu yang terpenting," jawab Luna, meskipun nadanya terdengar sedikit ragu. "Tapi jangan lupa, Issa, selalu waspada. Kadang-kadang, orang yang terlihat baik bisa saja menyimpan sesuatu."

Aku tertawa kecil, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang perlahan menyusup. "Kamu terlalu khawatir, Luna. Aku percaya pada Jungkook."

"Aku tahu... Tapi tetap saja," dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Hanya jaga dirimu baik-baik, oke?"

"Selalu," jawabku, meskipun ada sesuatu di dalam diriku yang merasa goyah. Aku tidak ingin Luna terus merasa khawatir, jadi aku berusaha meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja. Setelah beberapa basa-basi lagi, kami mengakhiri percakapan dan aku menutup telepon dengan perasaan campur aduk.

Aku menatap ponselku sejenak sebelum memasukkannya kembali ke dalam saku. Kata-kata Luna terngiang di telingaku, membuatku berpikir sejenak. Tapi aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Jungkook telah menunjukkan betapa dia peduli padaku, dan aku tidak ingin merusak hubungan ini dengan rasa curiga yang tidak berdasar.

Aku menghela napas panjang dan kembali ke meja kasir di mana Jungkook sedang berdiri. Senyum hangatnya menyambutku, membuat perasaan gelisah yang sempat muncul perlahan memudar. Tapi kemudian, aku merasakan kehadiran orang lain di dalam kedai.

Mataku beralih ke pintu, dan di sana berdiri seorang pemuda yang tidak asing—Yeonjun. Aku sempat terkejut melihatnya di sini lagi, terutama setelah pertemuan sebelumnya yang membuatku merasa tidak nyaman. Kali ini, dia datang sendiri, tanpa teman-temannya yang suka membuat keributan. Meski begitu, suasana di dalam kedai tiba-tiba terasa tegang.

Jungkook dan Yeonjun saling menatap, diam-diam. Ada sesuatu di antara mereka yang tidak bisa kupahami, sesuatu yang membuatku merasa tidak nyaman. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi keheningan di antara mereka terasa seperti percakapan yang tidak terucapkan. Aku bingung, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Untuk memecah suasana yang tegang, aku akhirnya bertanya dengan suara yang berusaha terdengar normal, "Mau pesan apa?"

Yeonjun mengalihkan pandangannya dari Jungkook dan menatapku sejenak sebelum menjawab dengan singkat, menyebutkan pesanannya tanpa banyak bicara. Aku bergegas menyiapkan pesanan sambil berusaha mengabaikan perasaan aneh yang menjalar di dadaku. Tapi aku tidak bisa mengabaikan tatapan mereka yang seolah terus beradu, menimbulkan ketegangan yang sulit dijelaskan.

Ketika pesanannya selesai, aku menyerahkannya dengan senyum kecil. "Ini pesanannya."

Yeonjun mengambil minuman itu, tapi sebelum dia pergi, aku tidak sengaja mendengar dia berbisik pelan kepada Jungkook. Sebuah kalimat yang membuat tubuhku seketika kaku.

"Selamat tinggal, dokter."

Aku menatap Yeonjun yang berjalan keluar tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan aku dan Jungkook di dalam kedai yang kini terasa sangat sunyi. Jungkook tetap berdiri di tempatnya, wajahnya tetap tenang seperti biasa, tapi matanya... Matanya menyiratkan sesuatu yang tidak bisa kuartikan.

"Siapa itu?" tanyaku, berusaha terdengar biasa saja meskipun jantungku berdetak kencang.

Jungkook mengangkat bahu sedikit, senyumnya kembali seperti biasa. "Hanya seorang anak sekolah. Jangan pikirkan."

Aku mengangguk pelan, meskipun kata-kata Yeonjun tadi masih terngiang di telingaku. "dokter."? Mengapa dia memanggil Jungkook dengan panggilan itu? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam pikiranku, tetapi aku memutuskan untuk menepisnya.

Namun, perasaan gelisah itu sulit diabaikan, meskipun aku berusaha keras meyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya baik-baik saja. Aku melirik Jungkook sekali lagi, melihatnya kembali sibuk dengan pekerjaannya di kasir, seolah tidak ada yang terjadi.

Aku mencoba meyakinkan diriku untuk tidak khawatir. Tapi bisakah aku benar-benar melakukannya? Bagaimanapun juga, kehadiran Yeonjun dan bisikannya tadi telah membuka sesuatu yang tidak bisa kututup begitu saja. Tapi untuk saat ini, aku hanya bisa berharap bahwa perasaanku salah dan bahwa semuanya akan baik-baik saja.




bersambung...

issaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang