Hallo!
Aku kembali ~Kayaknya udah setahun aku hiatus nulis dan pembacaku sepertinya sudah banyak yang hilang, mau nangis banget jujur :)
I bring my new story here, hope you like it!
Karena ini pertama kalinya aku nulis lagi setelah hiatus lama banget, jadi aku perlu belajar menyesuaikan lagi, banyak tanda baca dan pengaturan cara penulisan yang aku lupa 💔
Di tengah-tengah tanah subur yang luas, berdiri sepetak rumah kayu bernuansa vintage yang terawat. Di dalamnya, tinggal seorang gadis jelita. Sang ayah -Junaid samadi- sengaja membeli lahan seluas lima hektar untuk ditinggali putrinya sendiri. Akses menuju rumah tersebut juga cukup jauh, mesti melewati hutan pinus sejauh satu kilo meter dari gerbang masuk utama. Tidak ada tetangga atau rumah lain di sana, gadis itu benar-benar tinggal sendirian.
Pertanyaannya, mengapa ia mau tinggal sendirian dan jauh dari keluarga? Hal tersebut karena keinginannya sendiri. Setelah menyelesaikan pendidikan akhirnya di perguruan tinggi, ia ingin hidup menyendiri di tempat sunyi agar lebih fokus beribadah dan mendekatkan diri pada sang ilahi. Pekerjaan sehari-harinya ialah menulis buku, hingga tak perlu baginya bepergian keluar rumah untuk bekerja.
Gadis itu diberi nama Haniyyah ranaya an-najma. Parasnya begitu menawan. Kulitnya sawo matang, hidungnya mancung dan kecil, matanya bulat besar dan kelopaknya dihiasi bulu mata lentik, serta bibir yang penuh. Saat ini, usianya 24 tahun dan belum pernah tersentuh oleh pria asing.
***
Mu'taz ahmed ibrahim, nama lengkap yang tertulis di papan namanya. Seorang pekerja baru di rumah Junaidi samadi. Ia sudah berjalan sejauh 700 meter melewati pohon-pohon pinus yang tinggi menjulang. Dalam hati ia menggerutu, kalau saja ia tahu jarak dari gerbang utama menuju rumah itu sangat jauh, ia tidak akan meninggalkan mobilnya di depan gerbang. Ingin kembali pun percuma karena ia sudah berjalan sangat jauh. Ia pun memutuskan untuk terus melangkah maju, meskipun hari sudah semakin gelap.
Langkahnya semakin cepat kala melihat cahaya lampu yang berpijar dari sebuah rumah. Tidak salah lagi, itu pasti rumah putri Junaid samadi yang Mu'taz sendiri tidak tahu namanya karena ia baru seminggu bekerja. Ia ditugaskan oleh Junaid untuk memeriksa keadaan putrinya.
Tepat setelah ia sampai di depan rumah bernuansa kayu tersebut, tiba-tiba gerimis turun dan listrik di rumah tersebut mendadak padam. Mu'taz memutuskan untuk berteduh di teras. Dan tak lama kemudian, ponsel miliknya bergetar, ada panggilan masuk dari sang majikan.
"Hallo, Tuan?"
"Kamu sudah melihat Haniyyah?" tanya Junaid dari telepon.
Haniyyah ... ternyata itu namanya. Mu'taz bergumam dalam hati. "Belum, Tuan. Saya baru saja sampai di depan rumahnya dan tiba-tiba hujan," sahutnya kemudian.
"Apa di sana mati lampu?"
"Iya, Tuan."
"Haniyyah sangat takut gelap. Ketuk saja pintunya, katakan kalau kamu orang suruhan saya, lalu cek listrik dalam rumahnya. Ingat, jangan berbicara yang tidak penting apalagi sampai menyentuhnya. Tiap sudut rumah itu ada CCTV, gerak-gerikmu akan terlihat," titah Junaid.
"Baik, Tuan."
Setelah Junaid memutus panggilan, Mu'taz langsung mengetuk pintu rumah Haniyyah. Tiga kali ia mengetuk pintu sembari mengucap salam, barulah pintu terbuka dan tampaklah perempuan memakai abaya dan jilbab serba hitam. Mu'taz menunduk hormat. "Saya orang suruhan Tuan Junaid, saya diminta untuk mengecek keadaan Nona sekaligus mengecek listrik karena tadi lampunya tiba-tiba mati."
Haniyyah diam saja, ia segera menyingkir dari ambang pintu dan mempersilakan Mu'taz masuk ke dalam rumah. Mu'taz sempat melirik sekilas, wajah perempuan itu tampak ketakutan. Ia pasti panik karena tiba-tiba mati lampu.
Mu'taz segera mengecek apakah ada kerusakan pada listriknya atau tidak. Ternyata tidak ada yang rusak atau korslet, hanya tuas on-off yang turun sehingga menyebabkan seluruh lampu di rumah tersebut padam. Setelah lampu menyala, Mu'taz kembali ke ruang tamu, suasananya begitu sunyi dan hanya ada suara hujan yang kian deras di luar. Ia melirik jam tangannya, hampir jam tujuh malam dan ia belum salat magrib.
Mu'taz masih memiliki wudu, ia pun langsung melaksanakan salat di ruang salat yang dekat dengan ruang tamu. Sudah ada sajadah juga yang terhampar di sana. Haniyyah menyiapkannya saat Mu'taz sedang mengecek listrik tadi.
***
Setengah jam kemudian, hujan belum juga reda. Mu'taz duduk di sofa dengan secangkir teh di atas meja. Teh itu sudah dingin dan masih tersisa setengah gelas. Mu'taz menolehkan kepalanya saat Haniyyah kembali datang sambil membawa sepiring makanan dan segelas air, kemudian meletakkannya di atas meja. Matanya melirik ke arah teh yang belum habis.
"Tehnya tidak enak?" tanya Haniyyah.
"Enak, Nona," sahut Mu'taz langsung.
"Kenapa tidak dihabiskan?"
Mu'taz diam sejenak, sejak tadi ia hanya memainkan ponsel dan lupa meminumnya sampai akhirnya teh itu menjadi dingin. "Ah, akan saya habiskan."
Haniyyah segera berlalu dari sana. Sedangkan Mu'taz masih terpaku usai berbicara dengannya. Ia mengusap kasar wajahnya yang tiba-tiba terasa panas. Ini pertama kalinya ia mengagumi kecantikan seorang perempuan. Ekspresi datar tanpa senyuman itu telah memikat hatinya dalam sekali pandang.
Junaid kembali menghubungi Mu'taz karena ia belum juga kembali ke rumah. Mu'taz juga tidak mungkin berjalan kaki dan menerobos derasnya hujan di malam hari. Akhirnya, Junaid mengutus orang untuk menjemput Mu'taz pulang. Mu'taz masih duduk di ruang tamu, makanan dan minuman yang disajikan Haniyyah sudah ia habiskan, ia tidak ingin gadis itu tersinggung jika makanannya atau minumannya tidak dimakan.
15 menit berlalu, sebuah mobil datang dan berhenti di pekarangan rumah Haniyyah. Seorang pria berusia sekitar 40 tahunan keluar dari mobil tersebut. Mu'taz yang mengenal orang tersebut segera bergegas keluar rumah. Pria berpayung hitam itu menyerahkan satu payung lagi untuk Mu'taz gunakan. Sebelum masuk mobil, Mu'taz menatap kembali rumah Haniyyah, ada rasa tidak rela dalam hatinya meninggalkan gadis itu sendirian. Namun, Mu'taz tidak bisa berbuat apa-apa karena Junaid memintanya agar segera pulang.
Dari balik jendela kamar, Haniyyah menatap mobil yang ditumpangi Mu'taz kian melaju menjauhi pekarangan rumahnya. Ia beranjak dari jendela, hendak mencuci piring bekas makan Mu'taz. Namun, sampainya di ruang tamu ia tidak menemukan piring maupun gelas kotor di meja. Ia pun melangkah ke dapur, ternyata gelas dan piring tadi sudah dicuci dan tersusun rapi di rak. Haniyyah berjalan ke dekat wastafel dan menemukan catatan kecil yang tertempel di dinding.
Terima kasih untuk teh dan makanannya, Nona. Semuanya enak dan ... Nona Haniyyah sangat cantik.
Haniyyah meremas kertas notes tersebut. "Dia pasti pekerja baru."
4 Sept 2024
Gimana? Lanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Haniyyah An-Najma
FanfictionHaniyyah An-Najma, putri seorang duda konglomerat bernama Junaid samadi. Walau berasal dari keluarga kaya, Haniyyah memilih untuk tinggal sendiri di sebuah rumah yang terletak di tengah-tengah hutan pinus karena ingin lebih fokus beribadah dan jauh...