Bagian 03

171 40 11
                                    

Sepi banget ....

Jangan lupa vote komen!








Setelah kejadian kemarin, Haniyyah dijemput keesokan harinya oleh Junaid dan dibawa pulang ke kediaman sang ayah. Haniyyah pun bingung, kenapa sang ayah tiba-tiba menjemputnya? Kini, ia sedang berada di ruang kerja sang ayah, ada Mu'taz juga di sana. Lelaki itulah yang datang bersama Junaid saat menjemput Haniyyah tadi. Hening beberapa saat, Junaid mendudukkan diri di samping putri yang sudah lama tidak ia jumpai. "Kemarin Mu'taz mengatakan pada Ayah kalau kamu tidak butuh dikunjungi lagi, kenapa, Nak?" tanyanya pada Haniyyah.

"Aku bukan anak kecil lagi dan bisa menjaga diri sendiri. Ayah tidak perlu repot-repot mengirim orang tiap Minggu ke rumah," jawab Haniyyah.

Junaid menghela napas pelan."Tapi Mu'taz memberi tahu Ayah kalau kemarin kamu jatuh sampai tanganmu terkilir. Kalau Mu'taz kemarin tidak ke sana, Ayah tidak akan tahu kalau kamu terluka."

"Aku baik-baik saja, Ayah. Lain kali aku akan lebih berhati-hati."

"Setelah ini Mu'taz akan mengunjungimu tiga kali dalam seminggu dan ini keputusan mutlak. Ayah tidak ingin kamu kenapa-napa lagi," ujar Junaid pada putrinya, kemudian mengalihkan pandangan ke arah Mu'taz. "Gajimu akan saya naikkan karena jadwal kerjamu bertambah."

Mu'taz mengangguk. "Baik, terima kasih, Tuan."

"Kenapa jadi tiga kali seminggu, Yah? Itu terlalu sering, aku tidak mau!" ujar Haniyyah tak terima. Ia juga kesal karena Mu'taz tidak menolak atau memprotes keputusan tuannya dan justru malah mengiyakan begitu saja perintah tersebut.

Junaid mengusap kepala putrinya. "Ini demi kebaikanmu, Haniyyah."

Haniyyah menggeleng. "Tidak. Aku tidak mau dikunjungi dia," tunjuknya pada Mu'taz.

"Kalau kamu tidak mau diawasi oleh Mu'taz, Ayah akan mencarikan jodoh untukmu. Kamu boleh hidup tanpa pengawasan Ayah kalau kamu sudah menikah. Bagaimana?"

Haniyyah terdiam sambil mengepalkan tangannya. Ia menoleh ke arah Mu'taz dan laki-laki itu langsung menunduk. Haniyyah kembali menatap sang ayah dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Namun, tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Haniyyah segera memalingkan wajahnya, mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh tanpa seizinnya.

"Maaf, Tuan ... kalau putri Anda tidak ingin saya yang mengunjungi, mungkin Tuan bisa mengganti saya dengan orang lain." Mu'taz akhirnya angkat bicara. Sebenarnya ia tidak ingin digantikan oleh siapa pun karena ia senang bila bertemu dengan Haniyyah. Namun, melihat penolakan Haniyyah atas dirinya, Mu'taz jadi merasa sangat tidak diinginkan oleh gadis itu.

Junaid menatap Mu'taz dan Haniyyah bergantian, kemudian menghela napas berat. "Sebenarnya apa yang terjadi di antara kalian kemarin? Selama ini Haniyyah tidak pernah mempermasalahkan tentang pekerja yang saya tunjuk untuk mengunjunginya. Lalu kenapa tiba-tiba sekarang tidak ingin dikunjungi lagi?"

Baik Haniyyah maupun Mu'taz sama-sama bungkam. Mu'taz menunggu Haniyyah mengatakan sesuatu lebih dulu. Namun, sepertinya gadis itu enggan bersuara dan masih memalingkan wajahnya. Mu'taz berdehem pelan, lalu menceritakan kejadian yang sebenarnya perihal Haniyyah yang tidak ingin dipanggil dengan sebutan nona. Mu'taz pikir itu hanya masalah sepele. Namun, ternyata Haniyyah benar-benar tidak suka dengan panggilan itu sampai tidak ingin bertemu dengan Mu'taz lagi.

Setelah mendengar penjelasan Mu'taz mengenai akar permasalahannya, Junaid malah tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Ia tidak menyangka akar masalahnya ternyata hanya karena putrinya tidak ingin dipanggil nona oleh pekerja ayahnya. Sambil mengusap-usap kepala putrinya yang masih dalam keadaan kesal, Junaid berkata, "Maafkan Mu'taz, dia pekerja baru dan tidak tahu kalau kamu tidak suka dipanggil nona seperti anak majikan pada umumnya."

Haniyyah An-NajmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang