Bagian 05

156 46 7
                                    

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN YA!





Di halaman rumah Junaid, pengeroyokan tengah terjadi dan disaksikan oleh Junaid sendiri. Dirinya memerintahkan anak buahnya untuk menghajar Mu'taz habis-habisan usai Mu'taz mengatakan ingin menikahi Haniyyah tanpa mendengar penjelasannya dulu. Junaid menganggap Mu'taz tidak tahu diri karena ingin menikahi putri majikannya sendiri. Tubuh Mu'taz yang tergeletak tak berdaya masih ditendang dan diinjak tanpa ampun. Ia pingsan usai dihajar belasan pekerja Junaid yang lain.

"Berhenti!"

Seruan itu membuat belasan orang yang mengeroyok Mu'taz terhenti, sekaligus mengejutkan Junaid. Haniyyah berlari dari pintu gerbang, lalu memecah gerombolan orang yang mengerubungi Mu'taz. Kedua manik cokelatnya terbelalak melihat Mu'taz yang sudah tak sadarkan diri dengan wajah berlumuran darah. Ia menatap nyalang satu per satu orang di sana, termasuk ayahnya sendiri. "Apa yang sudah kalian lakukan?!"

"Nak? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Junaid yang masih heran, ini pertama kalinya Haniyyah datang sendiri ke rumahnya.

"Ayah yang menyuruh mereka semua?" tanya Haniyyah balik.

"Iya, dia pantas mendapatkannya. Anak yang tidak tahu asal usul orang tuanya, berani-beraninya mau menikahi putriku," ujar Junaid seraya berdiri dari duduknya. "Sudah untung dipekerjakan di sini dengan gaji yang tinggi, dia malah tidak tahu diri."

"Bawa dia ke rumah sakit!" ujar Haniyyah, tubuhnya sudah gemetar melihat banyaknya darah yang keluar dari hidung dan mulut Mu'taz. Ia menoleh ke arah ayahnya yang masih berdiri tak peduli. "Bawa dia ke rumah sakit, Ayah!"

Junaid berdecak, lalu memerintahkan pekerja lainnya untuk mengangkat tubuh Mu'taz dan membawanya ke rumah sakit. Haniyyah juga hendak ikut, tapi Junaid menarik lengannya. "Kenapa kamu jadi seperti ini, Haniyyah? Matamu tidak pernah melihat Ayah dengan amarah seperti itu."

"Aku ...." Haniyyah menunjuk dirinya sendiri. "Aku yang meminta Mu'taz untuk menikahiku. Aku yang memintanya sendiri, Ayah."

Tampak jelas keterkejutan di wajah Junaid samadi. "Apa maksudmu, Nak?"

"Aku meminta Mu'taz untuk menikah denganku, menjadi suamiku. Ayah tidak seharusnya menyuruh orang untuk menghajar Mu'taz karena dia tidak bersalah. Dia hanya menyampaikan apa yang aku katakan semalam."

"Semalam?" beo Junaid, lagi-lagi ia terkejut. Otaknya memanas, apa yang telah Mu'taz lakukan bersama putrinya semalam? Pikirannya langsung tertuju ke arah negatif.

Namun, sebelum sang ayah berpikir terlalu jauh, Haniyyah langsung menjelaskan kejadian semalam, di mana ia hampir satu jam menangis dalam gelap dengan napas yang kian sesak. Beruntung Mu'taz datang dan menemaninya. Kalau tidak, Haniyyah mungkin akan pingsan seperti sebelum-sebelumnya. Selama ini ayahnya hanya tahu kalau ia takut gelap, ayahnya tidak tahu kalau Haniyyah benar-benar fobia dan bisa kehabisan napas kalau terus-terusan berada dalam kegelapan. Tentang Haniyyah yang sering pingsan saat lampu tiba-tiba mati, ayahnya baru tahu sekarang setelah Haniyyah menjelaskan semuanya.

Junaid mengusap wajahnya kasar. Mu'taz sudah menyelamatkan nyawa putrinya, tapi ia malah membalas dengan menyuruh anak buahnya menghajar Mu'taz sampai tak berdaya. Ia benar-benar merasa bersalah sekarang.

"Aku risi dengan kedatangannya karena dia masih muda. Tidak seperti pekerja sebelumnya yang usianya tidak jauh berbeda dari Ayah. Terlebih semalam, niatnya memang baik dan aku merasa terbantu. Tapi itu melanggar syari'at karena kami hanya berduaan dalam rumah yang di mana status kami berdua adalah orang asing. Jadi, lebih baik Ayah nikahkan aku dengannya agar tidak terjadi fitnah lagi. Ayah tentu masih mengingat tuduhan Hasrina padaku dan Mu'taz, kan? Itu baru Hasrina, aku tidak mau mendengar fitnah lagi."

Haniyyah An-NajmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang