Vote dan komen jangan lupaaa!
Setelah kejadian kemarin, Haniyyah jadi lebih banyak diam dan menjaga jarak. Pagi ini, ia sedang membuat sarapan seperti biasa. Tak berselang lama, Mu'taz juga masuk ke dapur dan menghampirinya. Haniyyah tidak tergubris sama sekali, ia menyibukkan diri dengan memasak dan mengabaikan kehadiran Mu'taz.
Mu'taz menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Sepertinya Haniyyah masih marah karena kejadian semalam. Selepas salat subuh tadi, Haniyyah juga enggan menyalaminya. Mu'taz menghela napas pelan. "Yang tadi malam itu refleks, bukan berarti saya tidak suka. Saya begitu karena baru pertama kali dicium perempuan," ungkapnya jujur.
"Tidak perlu dibahas," balas Haniyyah.
"Saya hanya tidak ingin kamu salah paham dan bersikap dingin seperti sekarang."
Haniyyah berhenti mengaduk masakan dan menoleh ke arah Mu'taz. "Bersikap dingin?"
Mu'taz mengangguk. "Bahkan selesai salat tadi kamu langsung beranjak dan kita tidak salaman. Jangan seperti itu lagi, saya benar-benar minta maaf," ucapnya sambil menarik telinganya sendiri, merasa bersalah.
"Iya," sahut Haniyyah singkat, lalu kembali sibuk dengan tumisan brokoli yang ia buat. "Tunggu di meja makan, ini sebentar lagi selesai."
Mu'taz menghela napas pelan, Haniyyah bahkan tidak bilang kalau ia memaafkannya. Mu'taz beranjak meninggalkan dapur dengan perasaan yang masih galau. Setelah sarapan pun Haniyyah langsung bergegas kembali ke dapur. Dengan langkah lesu, Mu'taz beranjak dan melangkah keluar rumah. Namun, baru saja kakinya menapak di lantai teras, sebelah lengannya ditarik dan membuat Mu'taz menoleh ke belakang secara otomatis.
"Bekal makan siang," ujar Haniyyah sambil menyerahkan tas bekal pada Mu'taz.
Menerima bekal tersebut. "Terima kasih," ucap Mu'taz, senang.
Haniyyah hanya mengangguk, lalu menyalami dan mencium tangan Mu'taz.
Mu'taz tersenyum, hatinya yang tadi galau dan kusut kini kembali berbunga-bunga. Ia melangkah ke arah mobilnya tanpa bisa berhenti tersenyum. Bahagia sekali dia pagi ini karena mendapat bekal makan siang dari sang istri. Mu'taz meletakkan bekal dan tas kantornya di kursi samping kemudi, lalu menoleh ke belakang, Haniyyah masih berdiri di ambang pintu. Mu'taz terdorong untuk kembali melangkah mendekati gadisnya itu. Yang didatangi tampak kebingungan. Mu'taz berhenti tepat di hadapan Haniyyah, lalu tanpa aba-aba langsung mendaratkan kecupan di kening istrinya.
Haniyyah yang mendapat kecupan secara tiba-tiba pun sempat terkejut dan mematung sesaat. Satu kecupan lagi di pipinya membuat kedua mata Haniyyah membulat sempurna. Saat ia sadar dari keterpakuan, Mu'taz sudah masuk ke dalam mobil. Lelaki itu melambaikan tangannya sambil tersenyum sebelum menjalankan mobilnya menjauhi pekarangan rumah.
***
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Hujan kembali mengguyur bumi dan membuat pemadaman arus listrik kembali terjadi. Haniyyah yang sudah hampir terlelap kembali terbangun karena napasnya sesak. Mu'taz segera menghidupkan lampu portabel sebagai penerangan sementara. Jantungnya sejak tadi berdebar kencang karena ini pertama kalinya mereka tidur di kasur yang sama setelah menikah.
Haniyyah perlahan melepas jilbab yang menutupi rambutnya, lalu melepas ikatan rambut sehingga rambutnya yang hitam legam dan lurus itu tergerai bebas. Ia melirik ke arah Mu'taz yang tengah berbaring terlentang dan memandang langit-langit kamar. "Ada yang ingin saya katakan."
Mu'taz mengalihkan pandangan ke arah Haniyyah. "Apa itu?"
"Ini agak memalukan ...," gumam Haniyyah.
"Kalau itu tentang masa lalu, tidak perlu menceritakannya kalau malu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Haniyyah An-Najma
FanfictionHaniyyah An-Najma, putri seorang duda konglomerat bernama Junaid samadi. Walau berasal dari keluarga kaya, Haniyyah memilih untuk tinggal sendiri di sebuah rumah yang terletak di tengah-tengah hutan pinus karena ingin lebih fokus beribadah dan jauh...