Minimal vote kalau gak mau komen, jangan sider.
Haniyyah baru selesai memasak untuk makan malam nanti. Di saat yang bersamaan, Mu'taz juga baru tiba di rumah dengan suasana hati yang kusut. Haniyyah baru ingin menyalami, tapi Mu'taz lebih dulu memeluknya. Haniyyah sempat mematung sesaat, lalu kemudian mengusap pelan punggung Mu'taz. "Ada apa?"
Mu'taz melonggarkan pelukan dan menatap Haniyyah. "Saya bingung."
Haniyyah mengernyit. "Bingung kenapa?" tanyanya.
Mu'taz menghela napas berat. "Pak Jazlan sakit dan hampir pingsan di kantor, jadi saya menawarkan diri ingin mengantarnya ke rumah sakit. Awalnya beliau menolak, tapi saya tetap membawanya ke rumah sakit, beliau juga sempat pingsan di perjalanan. Sampai di rumah sakit, beliau sadar dan langsung ingin pulang. Saya mengatakan setidaknya tunggu sampai cairan infusnya habis baru boleh pulang, tapi beliau malah mengatakan kalau saya bukan siapa-siapa dan tidak berhak melarangnya. Saya merasa sedih setelah itu dan tiba-tiba menangis, padahal saya bukan orang yang gampang menangis, apalagi di depan orang asing," ungkapnya panjang lebar.
"Sedih karena beliau bilang kalau kamu bukan siapa-siapanya?" tanya Haniyyah dan Mu'taz mengangguk pelan. Haniyyah berpikir sejenak, lalu melanjutkan, "Jangan-jangan ... beliau yang selama ini kamu cari."
Kedua alis Mu'taz bertaut, ia menatap penuh tanya pada Haniyyah. "Maksudmu?"
"Ayahmu ... mungkin saja pak Jazlan itu ayahmu, kalian juga memiliki nama belakang yang sama, kan?"
Mu'taz terdiam, lalu menggeleng ragu. "Tidak mungkin ... nama itu pasti hanya kebetulan."
Haniyyah memegang tangan Mu'taz. "Kamu menangis saat dia mengatakan kamu bukan siapa-siapanya, kamu juga pernah mengatakan kalau kamu merasa sudah lama mengenalnya walaupun kalian baru pertama kali bertemu. Bukankah itu sudah jelas?"
"Tidak, bisa saja karena saya tidak pernah mendapatkan figur ayah dalam hidup, makanya saya merasa seperti itu," gumam Mu'taz, tak yakin.
***
Keesokan harinya, Mu'taz tampak kebingungan. Ia baru menyadari bahwa dompetnya hilang. Ia mencari-cari di dalam tas, saku jas, dan celana yang ia pakai kemarin, tetapi tidak ada. Haniyyah sampai ikut mencari, namun mereka tetap tidak menemukan benda pipih itu di rumah. Mu'taz bahkan mendatangi kantor di hari libur hanya untuk mencari dompetnya yang hilang. Padahal mereka hendak pergi ke supermarket hari ini untuk belanja bulanan, tapi dompet Mu'taz malah hilang.
Haniyyah mengusap pundak suaminya. "Hari ini belanja pakai uang saya dulu. Kita harus tetap belanja karena bahan-bahan di dapur sudah hampir habis."
Mu'taz menghela napas frustasi. "Maaf ...."
"Tidak apa-apa," sahut Haniyyah sambil beranjak keluar rumah lebih dulu.
Saat mereka berdua hendak masuk ke mobil, dari luar tiba-tiba datang satu unit mobil lagi. Dari dalam mobil tersebut, Jazlan turun. Haniyyah dan Mu'taz saling tatap, kenapa Jazlan tiba-tiba datang ke rumah mereka? Pria itu berjalan mendekati Mu'taz, lalu mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Kemarin jatuh di rumah sakit."
Mu'taz tersenyum senang, akhirnya dompet itu kembali padanya. "Terima kasih, Pak. Saya pikir, saya tidak akan bisa menemukannya lagi."
Jazlan mengangguk. "Saya sekalian ingin meminta maaf atas sikap saya kemarin."
"Tidak apa-apa, Pak. Tidak perlu dipermasalahkan," balas Mu'taz.
"Tapi saya merasa kalau saya sudah keterlaluan sampai Anda menangis, jadi saya meminta maaf,_ ujar Jazlan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haniyyah An-Najma
Fiksi PenggemarHaniyyah An-Najma, putri seorang duda konglomerat bernama Junaid samadi. Walau berasal dari keluarga kaya, Haniyyah memilih untuk tinggal sendiri di sebuah rumah yang terletak di tengah-tengah hutan pinus karena ingin lebih fokus beribadah dan jauh...