Vote dan komennya jangan lupa!
Setelah Mu'taz benar-benar pulih, akad nikah pun dilangsungkan dan disaksikan oleh seluruh penghuni rumah Junaid kecuali Hasrina karena ia sedang mengurus bisnis kosmetiknya di luar kota. Tidak ada pesta meriah walaupun Junaid seorang konglomerat terkenal karena Haniyyah menginginkan pernikahan yang khidmat dan privat.
Demi masa depan putrinya, Junaid menyerahkan salah satu cabang perusahannya untuk dikelola oleh Mu'taz. Walau sang menantu awalnya menolak karena pendidikannya hanya tamat SMA, Junaid tetap memaksa Mu'taz untuk menerimanya. Ia tidak ingin putrinya hidup kekurangan karena selama belum menikah, apa pun yang Haniyyah inginkan selalu bisa ia penuhi.
Kini, sepasang suami istri itu tengah berada dalam satu kamar. Lebih tepatnya kamar Haniyyah saat masih tinggal bersama ayahnya. Melihat Mu'taz hanya duduk diam di sisi tempat tidur, Haniyyah pun menghampirinya. Ia duduk sangat dekat di samping pria yang sudah sah menjadi suaminya. Namun, begitu ia duduk, Mu'taz seketika bergeser dan membuat jarak sekitar dua jengkal di antara mereka. Haniyyah bergeser mendekat, namun lagi-lagi Mu'taz membuat jarak. Haniyyah menatap ke arah Mu'taz sambil mengernyit heran. "Kenapa kamu menjauh?"
"Kamu kenapa mendekat terus?" Mu'taz balik bertanya.
"Salah kalau saya dekat-dekat?"
"Tidak."
"Lalu, kenapa menjauh begitu?"
Mu'taz diam, apa dia jujur saja kalau Haniyyah mendekat jantungnya terasa seperti ingin meledak? Tidak, ia terlalu malu untuk mengatakannya. Bahunya kini sudah menyentuh sandaran kasur hingga tidak bisa bergeser lagi. Sementara Haniyyah semakin heran melihat tingkah Mu'taz yang demikian itu. Ia pun beranjak naik ke kasur, lalu merebahkan diri seraya menarik selimut guna menutupi tubuhnya. Pada akhirnya malam pengantin mereka terlewatkan begitu saja dan Mu'taz tidak tidur satu kasur dengan Haniyyah, ia malah tidur di sofa.
Menjelang subuh, Haniyyah bangun lebih dulu. Tak dia dapati keberadaan Mu'taz di sampingnya. Ia menoleh ke sana kemari dan menemukan suaminya masih tertidur lelap di sofa. Ia meremas kain selimut, berusaha untuk tidak bersedih apalagi sampai menangis di pagi pertamanya setelah menikah. Ia beranjak, hendak mempersiapkan diri untuk salat subuh karena azan baru saja berkumandang.
Kini Haniyyah sudah berbalut mukena putih, bersiap untuk salat. Mu'taz juga sudah bangun dan sedang berwudu. Keduanya kemudian salat subuh berdua.
***
Mu'taz yang hanya lulusan SMA dipaksa mengelola cabang perusahaan konstruksi milik Junaid. Tanggung jawab yang terlalu berat karena Mu'taz sama sekali belum berpengalaman dalam bidang bisnis perusahaan. Ia cukup kewalahan mempelajari semuanya dalam waktu yang sangat singkat. Dalam hati ia takut kinerjanya malah akan merusak citra sang ayah mertua karena memiliki menantu yang tidak becus. Namun, mengingat ada perempuan yang sudah menjadi tanggung jawabnya untuk dinafkahi, Mu'taz membuang ketakutan itu jauh-jauh dan berusaha yakin bahwa ia pasti bisa.
Pagi ini, Mu'taz tengah sarapan bersama Haniyyah. Dipikir-pikir, empat hari setelah menikah Haniyyah tidak begitu banyak bicara, sama seperti sebelum mereka menikah. Mu'taz melirik jam, masih ada waktu sepuluh menit sebelum ia berangkat. Ditatapnya Haniyyah yang tengah membereskan peralatan makan mereka. "Bagaimana perasaanmu hari ini?"
Yang ditanya berhenti sejenak dari aktivitasnya, lalu menoleh ke arah si penanya. "Biasa saja."
Mu'taz tersenyum kikuk, ekspresi datar itu masih sama seperti sebelum mereka menikah. Mu'taz membayangkan, alangkah indahnya jika gadis itu tersenyum padanya. Mu'taz menghela napas seraya berdiri, hendak membantu Haniyyah membawa piring kotor mereka ke dapur. "Biar saya saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Haniyyah An-Najma
FanfictionHaniyyah An-Najma, putri seorang duda konglomerat bernama Junaid samadi. Walau berasal dari keluarga kaya, Haniyyah memilih untuk tinggal sendiri di sebuah rumah yang terletak di tengah-tengah hutan pinus karena ingin lebih fokus beribadah dan jauh...