Bab 14.

28 10 16
                                    

teman-teman, jangan sungkan juga untuk mengkritik jika ada kesalahan yang aku perbuat, mohon bantuannya teman-teman, terima kasih❤️💫.

Happy Reading...

Pagi ini, Alessandra menyempatkan waktu untuk berkunjung ke tempat tinggal terakhir sang ayah. Sedikit bercerita tentang kesehariannya arah berbagai bahagia yang sedang menghampirinya.

Setelah membuat bekal untuk ketiga adeknya, Alessandra langsung bersiap serapi mungkin untuk bertemu cinta pertamanya yang sudah beda alam, namun kasih sayangnya masih terasa nyata.

Letak pemakamannya pun tidak terlalu jauh dari rumah Alessandra, itu cukup memudahkan untuk berkunjung kapan saja.

Angin pagi ini terasa sejuk saat menerpa kulitnya. Saling menggesekkan telapak tangan agar tercipta rasa hangat yang tidak seberapa. Beruntungnya Alessandra menggunakan jaket yang sedikit tebal, jadi angin dingin itu tidak membuat tubuhnya kedinginan.

Setelah sampai, Alessandra langsung berjongkok di hadapan makan sang ayah, tempat istirahat terkahir nya. Memandang hangat batu nisan itu seolah itu wajah sang ayah.

"Ayah, tau nggak?… Aku udah resmi punya Abang lho, Yah. Aku seneng banget bisa ngerasain sosok Abang walaupun cuman Abang boongan. Orang yang jadi Abang aku juga baik, Yah. Ganteng juga. Hehe," ceritanya dengan tangan yang sedia mengelus pelan batu nisan itu tanpa henti.

"Terus Yah, Ruby temen aku, Rambutnya nggak pernah panjang. Keyla juga kelakuannya makin aneh, Mona doang yang nggak berubah, dia tetep sama kaya yang dulu-dulu Ayah kenal," lanjut menceritakan tentang sahabat-sahabatnya.

"Tapi, meskipun kelakuan mereka aneh dan lucu, Alessa tetep seneng bisa sahabatan sama mereka. Mereka baik banget, Yah. Nemenin dan support terus apa yang Alessandra lakuin." 

"Kabar ibu juga baik, Regina tetep sama juteknya kaya dulu, sekarang malah jadi agak pendiem. Ardian juga tetep sama gengsian nggak berubah, cuman tinggi badannya aja yang mau nyusul aku. Kalo Ragarja, makin besar makin mirip Ayah tau. Ayah-kan suka manja sama ibu, Ragarja manjanya sama aku, Yah." Lanjutnya menceritakan kabar dari saudara-saudari serta ibunya.

Alessandra bercerita tanpa melihatkan raut sedih sedikitpun, hanya ada tawa dan canda yang dilayangkan olehnya pada makam sang Ayah.

Dengan tangan Alessandra yang masih setia mengusap batu nisan itu, tiba-tiba saja tatapan Alessandra menyendu, menyorot kerinduan yang sulit untuk disalurkan secara utuh.

Jauh di lubuk hatinya ingin berteriak dengan lantang jika dirinya masih membutuhkan sosok ayah. Tapi kenapa semesta begitu tega merebut kepala keluarga dari pelukan keluarga sederhana Seperti keluarga nya?

Namun, tidak ada gunanya juga protes pada semesta tentang ketidak adilan. Semua sudah berjalan di porosnya masing-masing. Datang dan perginya seseorang sudah tertulis di takdirnya masing-masing.

"Semoga ayah selalu baik ya, di sana. Aku doakan dari sini," ucap Alessandra yang atensinya beralih melihat ke jam tangan yang di gunakannya.

"Ayah, udahan dulu ya curhatnya. Nanti aku datang lagi sambil bawa temen buat nyapa Ayah, biar makin rame." Alessandra menyudahi sesi curhatan itu pada makam sang ayah.

Segera beranjak dan pergi dari sana. Sedih pasti, di tinggalkan oleh cinta pertama untuk selamanya. Tapi Alessandra mencoba untuk bangkit dan berdamai dengan keadaan di masa lampau.

Dirinya harus bisa menjadi kuat untuk Adek-adeknya. Harus bisa menjadi penyemangat kala Adek-adeknya sedang di liputi kegelisahan.

Namun Alessandra tidak sekuat itu jika diserang secara bersamaan, dari segala sisi yang mengoyaknya secara perlahan. Ada kalanya menangis, mengeluh bahkan sampai menyakiti fisik. Alessandra hanya manusia biasa yang mencoba bertahan demi keluarga.

Alessandra's Journey [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang