Happy Reading!
###
Pukul 06.00, Kamar Asrama.
Suasana benar-benar berisik. Seprai kasur yang masih berantakan. Bantal-bantal tergeletak bukan pada tempatnya. Kacau. Aku tersenyum, kemudian tertawa saat mendengar celetukan teman sekamarku yang sedang kesal karena jas miliknya sobek tanpa diduga. Dengan ekspresi wajah kesal seraya memanyunkan bibir membuatnya terlihat lucu.
Di kamar asrama ini, aku tidaklah tinggal sendirian. Ada dua siswa lainnya yang menjadi teman sekamarku. Ruangan ini cukup luas. Terdapat tiga buah kasur single yang empuk, lemari pakaian untuk masing-masing siswa, televisi, dan satu kamar mandi di dalam. Ruangan ini juga ber-AC dan memiliki wifi di kamar masing-masing.
Pandu Pratama dan Kai Pamungkas. Mereka adalah teman sekamarku. Jika dilihat dari parasnya, mereka berdua sama-sama tampan. Pantas menjadi rebutan para siswi. Namun, nyatanya itu tidak pernah terjadi. Sifat tengil dan serampangan mereka membuat para siswi memilih untuk menghindar. Ya, mereka juga sangat berisik.
Bagaimana denganku?
Namaku Tegar Assyifa. Usia 18 tahun. Penghuni kamar paling normal di antara kedua lainnya. Jujur saja, saat pertama kali bertemu mereka, rasanya sangat tidak nyaman. Yang biasa mereka lakukan hanyalah berdebat dan terus berdebat. Mereka melakukannya setiap malam, layaknya sebuah ritual sebelum tidur. Di saat perdebatan terjadi, maka akulah yang harus menghentikannya. Karena itu juga, aku mendapatkan kasur yang tengah.
Awalnya aku memang sangat tertekan, tidak betah dengan semua kebisingan yang mereka perbuat. Namun, semakin lama aku tinggal, aku semakin memahami keduanya. Sejak saat itu, aku berpikir bahwa berisik tidak selalu buruk.
Berkat mereka, aku semakin mengenal diriku. Menerima diriku. Memahami banyak hal. Pertemanan. Persahabatan. Kehangatan. Juga kekeluargaan. Hadirnya mereka membuatku terbebas dari yang namanya kesepian.
Kesepian itu ... sangat menakutkan.
10 tahun yang lalu, lebih tepatnya saat aku masih menjadi seorang bocah berusia 8 tahun. Bocah yang tinggal di sebuah kontrakan kecil bersama Nenek. Memakai pakaian yang itu-itu saja, dan makan dengan lauk seadanya. Tidak sekolah. Hanya bisa membantu Nenek bekerja di rumah produksi kerupuk warna-warni. Dan di waktu itulah, saat di mana masih ada banyak hal yang tak kumengerti.
***
"Ini, Nek." Aku memberikan sebaskom kerupuk kering kepada Nenek.
Kerupuk itu baru saja kuangkat setelah dijemur dua hari yang lalu. Nenek menerimanya seraya tersenyum dan berterima kasih.
Aku duduk di samping Nenek, membantu menjeburkan kerupuk-kerupuk itu ke wajan besar berisi minyak panas. Namun, karena kecerobohanku, minyak itu memercik ke arahku. Kata 'aduh' pun keluar dari mulutku.
Nenek begitu pengertian. Dia segera mengecek tanganku dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Tatapan matanya begitu teduh.
Dua minggu setelahnya, Nenek meninggal.
Banyak tetangga yang melayat, melihat jasad Nenek sebelum dikebumikan. Wajar saja, nenekku terkenal sangat baik semasa hidupnya. Dengan kaus polos dan celana pendek selutut, aku menyaksikan Nenek yang mulai diturunkan ke liang kuburan.
Air mata terus menderas. Raungan. Wajah yang kacau. Ibu-ibu pemilik kontrakan yang Nenek dan aku tempati terus berusaha menenangkanku. Memelukku. Mataku terus memandang batu nisan bertuliskan nama 'Melani binti Joko' milik Nenek. Rasanya dadaku sakit dan sesak.
Namaku Tegar Assyifa. Usia 8 tahun.
Satu minggu setelah kematian Nenek, aku kembali ke rumah produksi kerupuk dan melanjutkan kerjaku di bagian pengemasan. Duduk di antara para Ibu-Ibu. Mendengarkan berbagai gosip.
Pukul 15.30, aku pulang. Namun sebelum itu, aku mampir ke warung yang menjual lauk-pauk lebih dulu. Nasi, tempe, dan tahu. Jumlahnya Rp10.000, setengah dari penghasilanku.
Setelahnya, aku bergegas ke rumah. Langkahku terhenti saat melihat Ibu Kontrakan yang sudah duduk di bangku yang ada di depan rumah. Dengan plastik hitam yang kugenggam di tangan kecilku, aku menghampirinya. Mengucap salam.
Aku bertanya padanya, tentang apa tujuannya datang menemuiku. Dia mulai menjelaskannya. Selama ini, Nenek sudah menunggak uang sewa selama 3 bulan. Meskipun kalimat dan nadanya terdengar sangat lembut, tetapi aku masih dapat memahaminya. Ya, aku ... diusir.
"Lalu, aku akan tinggal di mana, Bu?" tanyaku dengan wajah polos.
Dia menjawab, "Ibu tau panti asuhan yang bagus."
Panti asuhan. Dia mengatakannya. Aku harus menjawab apa sekarang? Tidak bisa, mulutku bungkam. Selagi berdebat dengan pikiranku, dia mengatakan sesuatu yang lainnya.
"Ibumu masih hidup, kamu tidak mau coba menemuinya?"
Dia berbicara soal Bunda. Aku mendongak, menatapnya lekat seakan bertanya, "Di mana?"
Secarik kertas bertuliskan sebuah alamat rumah kini tersodor di depanku. Dia mengatakan bahwa itu adalah alamat rumah Bunda. Aku mengambilnya dengan ragu. Setelah itu, dia pamit pergi.
Segera aku masuk ke rumah. Nasi dan lauk yang kubeli tadi kutaruh di atas lantai yang beralaskan tikar berbahan karet. Sedangkan aku pergi ke kamar untuk mencari sesuatu.
Saat Ibu Kontrakan mengatakan bahwa Bunda masih hidup, tentu aku sangat senang. Dulu, Nenek memang tidak pernah mengatakan bahwa Bunda sudah meninggal. Nenek hanya mengatakan bahwa Bunda sedang pergi.
Nenek juga pernah memberitahu wajah Bunda padaku lewat sebuah foto. Ketemu! Berhasil. Benar, ini foto Bunda. Di dalam foto itu ada Bunda, Nenek, dan juga Ayah. Aku tidak tahu di mana Ayah. Kata Nenek, Ayah pergi saat Bunda mengandungku. Aku tidak bisa menyimpulkan apakah Ayah adalah seorang yang baik atau bukan. Yang pasti, Nenek tidak pernah mengatakan bahwa Ayah adalah orang yang jahat.
Aku menatap foto itu seraya tersenyum senang. Begitu aku membaliknya, sebuah alamat tertulis di belakang foto yang sedang kupegang. Aku menyelaraskannya dengan alamat yang Ibu Kontrakan berikan padaku. Sama!
Nenek, sebentar lagi aku akan bertemu Bunda! Aku terus menjerit dalam hati. Ibu Kontrakan tadi tidak mengatakan bahwa aku juga akan bertemu dengan Ayah. Tidak apa, setelah bertemu Bunda, aku akan bertanya banyak hal tentang Ayah.
Suatu hari nanti, aku juga akan bertemu dengan Ayah.
Foto itu kupeluk sangat erat. Kebahagiaan sedang menyerangku saat ini. Rasanya sangat melegakan, bahkan air mataku pun sampai tumpah.
Aku menyimpan kembali foto itu di dalam laci. Lalu pergi ke depan, memakan nasi bungkus dengan lauk tahu-tempe yang kubeli saat pulang dari kerja tadi. Perasaan yang diselimuti kebahagiaan membuat rasa makanan sederhana itu terasa sangat lezat.
Malam ini, aku akan tidur lebih cepat. Lalu besoknya langsung pamit dan pergi ke rumah Bunda. Benar-benar tidak sabar. Andai Nenek ada di sampingku sekarang. Melihatku bahagia seperti ini, pasti dia akan memelukku erat. Sayang.
Tuhan, sampaikan salamku untuk Nenek. Katakan bahwa aku merindukannya.
Pukul 19.30, aku sudah berbaring di kasurku. Terus menatap foto itu dengan senyum yang tak kunjung pudar.
Satu pertanyaan tiba-tiba mengganggu pikiranku. Jika Nenek sudah tahu di mana rumah Bunda, kenapa Nenek tidak pernah mengajakku ke sana?
Akhirnya datang juga. Satu hal yang tak kumengerti.
###
Cirebon, 28 Agustus 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Tak Kumengerti [TELAH TERBIT]
Teen Fiction10 tahun yang lalu, lebih tepatnya saat aku masih menjadi seorang bocah berusia 8 tahun. Bocah yang tinggal di sebuah kontrakan kecil bersama sang Nenek. Memakai pakaian yang itu-itu saja, dan makan dengan lauk seadanya. Tidak sekolah. Hanya bisa me...