14. PRIA YANG SAMA SEPERTI DALAM FOTO

12 1 0
                                    

Happy Reading!

###

Masih di tempat yang sama, yaitu Kantin Sekolah. Makananku sudah habis, begitupun dengan minumnya. Murid yang lainnya juga sudah banyak yang kembali ke kamar untuk segera bersiap, terutama para perempuan.

Aku masih belum beranjak dari tempat karena masih menunggu Pandu dan Kai yang kembali mengambil makanan untuk kedua kalinya. Tidak apa, selagi lauk masih banyak, di sini masih diperbolehkan untuk mengambil. Namun, dengan catatan, harus dihabiskan alias tidak dibuang.

Di sini terpasang beberapa CCTV sebagai saksinya. Jika ada murid yang ketahuan membuang makanan, besoknya akan mendapatkan surat peringatan. Dan murid yang melanggar akan mendapatkan 10 poin kenakalan.

Karena itu, banyak dari mereka yang lebih memilih untuk mengambil secukupnya. Namun, lagi-lagi berbeda dengan Pandu dan Kai. Perut mereka benar-benar dalam, meskipun sudah makan banyak, aku yakin satu jam ke depan mereka akan mencari camilan lagi.

Tring!

Notifikasi pesan dari ponselku berbunyi. Aku mengambil benda pipih itu dari dalam saku kemejaku. Nama kontak 'Ayah' terlihat di layar ponselku. Aku membuka dan membaca pesan singkat tersebut.

Ayah : [Foto]

Ayah : [Kami siap berangkat :D]

Senyumku kembali mengembang. Ayah mengirimkan sebuah foto yang menampilkan dirinya dan keluarganya. Mereka kompak berpose dengan menunjukkan dua jarinya di depan kamera.

Tidak ingin membuat Ayah menunggu, aku mengirimkan sebuah balasan untuknya. Sederhana, hanya stiker bergambar karakter anime yang sedang mengacungkan kedua ibu jarinya.

Aku menghela napas pelan, kemudian kembali memasukkan ponselku ke saku kemeja seperti semula. Jujur, aku juga sudah tidak sabar untuk bertemu dengan mereka. Semuanya.

***

30 menit perjalanan sudah kami tempuh. Rumah Sakit Permata Indah, begitulah yang tertulis di depan bangunan besar itu. Bunda memarkirkan mobilnya dengan rapi, lalu mengajakku untuk segera turun.

Masih dengan mata sembap dan hidung yang memerah karena menangis tadi, aku mengikuti ke mana Bunda pergi. Mataku tidak hentinya melihat sekitar. Ramai. Aku sempat terkejut saat mengetahui bahwa aku hampir saja menabrak tong sampah yang ada di samping pintu kamar rawat. Namun, beruntungnya itu tidak benar-benar terjadi. Aku berhasil berhenti saat menyadarinya.

Sesekali aku berlari, mengejar Bunda yang terus melangkah dengan sangat cepat. Kami berhenti di depan pintu lift, masuk, dan menunggu hingga lift berhenti di lantai yang kami tuju. Kepalaku seketika pening saat lift mulai berjalan, kurasakan tubuhku seakan melayang. Sungguh, ini adalah pertama kalinya aku menaiki lift. Rasanya aneh, tapi menyenangkan.

Di dalam lift, kami tidak hanya berdua, ada dua orang lainnya yang kebetulan ingin pergi ke lantai yang sama. Saat sampai, lift berhenti dan membuka pintu. Lagi-lagi aku harus berlari untuk mengejar langkah cepat Bunda.

Tidak jauh, kami akhirnya sampai di tempat tujuan. Sebuah pintu bercat putih sudah tampak di depan mataku. Bunda membukanya dan menyuruhku untuk segera masuk. Mataku sigap menyoroti setiap sudut ruangan tersebut.

Mataku terhenti di salah satu titik. Seseorang yang tengah tertidur di atas ranjang rumah sakit. Selang infus menempel di punggung tangannya. Di ruangan ini hanya ada satu ranjang.

"Nay ...."

"Bicara dengannya sebelum suami saya datang," ucap Bunda. Aku menatapnya bingung. "Hibur dia. Saya akan tunggu di depan."

Aku memanggil Bunda yang hendak pergi lagi. "Kenapa tidak menunggu di sini saja?" tanyaku.

Bunda tidak langsung menjawab. Dengkusan kasar terdengar di telingaku. Bunda menatapku seraya mengerutkan alisnya. "Kamu harus tetap berperan sebagai hantu."

Hanya itu, setelahnya Bunda benar-benar pergi keluar dari kamar inap. Aku mengerti maksud Bunda. Seperti yang Bunda katakan, aku harus tetap menjadi hantu. Hantu itu tidak terlihat. Karena itu, Bunda tidak ingin Nay melihatnya saat aku muncul. Nay akan berpikir bahwa aku datang benar-benar datang sendiri, tanpa sesiapa pun yang tahu. Itu akan semakin meyakinkan Nay bahwa aku benar-benar bukan manusia.

Aku semakin mendekat ke ranjang, lalu duduk di kursi tunggu yang tersedia di sampingnya. Dia masih tidur, wajahnya tenang sekali. Tanganku berusaha menggenggam tangannya, meskipun ragu, aku tetap melakukannya.

Jari-jarinya bergerak secara perlahan. Sontak aku melepaskannya. Kulihat Nay sudah bangun dari tidurnya, tetapi aku justru menundukkan kepalaku. Berusaha menyembunyikan wajahku darinya.

"Kakak." Suara lemah itu keluar dari mulutnya. Hatiku tersentuh, rasanya ingin sekali menangis. Tanpa kusadar, aku sudah berada dalam dekapannya. "Kakak ke mana saja?"

Dia memelukku sangat erat. Aku merasakannya, dia menangis. Cukup lama aku terdiam, akhirnya kuberanikan diri untuk membalas pelukannya. Air mataku juga ikut terjatuh. Aku sangat merindukannya, benar-benar sangat merindukannya.

Kuhapus air mataku sesaat sebelum pelukan kami terlepas, sedangkan Nay masih saja menangis dengan kehadiranku. Aku mengusap air matanya yang semakin menderas, lalu tersenyum untuk menenangkannya.

"Jangan pergi dan hadir seenaknya dong," rajuknya di sela tangis. Nay mengubah posisi duduknya agar tepat menghadap ke arahku. "Aku kesepian tanpa Kakak. Kenapa Kakak pergi tiba-tiba? Apa karena Mama? Apa yang sudah Mama lakukan sama Kakak? Cerita semuanya."

Sempat terkejut dengan pertanyaan yang Nay layangkan, tetapi aku akhirnya tersenyum dan menggeleng. Ingat kata Bunda bahwa aku harus tetap menjadi 'hantu'.

"Mamamu tidak bisa melihatku, Nay. Dia tidak melakukan apa pun. Aku yang pergi sendiri," jawabku seraya menahan senyum dengan susah payah. Tatapan Nay bingung, seolah meminta penjelasan lebih. "Hantu itu tidak terlihat, Nay."

"Tapi, kenapa aku bisa melihat Kakak?"

"Itu artinya kamu istimewa."

"Terus, Kakak pergi ke mana selama ini?"

Terdiam cukup lama, memikirkan jawaban yang tepat. Aku kembali menjawab, "Seperti yang pernah kamu katakan saat itu, gudang itu kotor dan tidak layak untuk ditempati. Aku sudah dapat tempat baru yang lebih layak, Nay."

"Jadi, Kakak tidak akan pernah tinggal di gudang itu lagi?"

"Mungkin." Aku hanya menjawab sebisaku.

Sebenarnya aku juga tidak tahu bagaimana nasibku setelah ini. Bunda belum bilang akan membiarkanku tinggal di gudang itu lagi, 'kan? Namun, meskipun aku kembali ke sana, tetap tidak boleh berhubungan lagi dengan Nay. Jadi, lebih baik aku mengatakannya dari sekarang.

"Kamu tidak boleh kembali ke gudang itu lagi. Percuma, kamu tidak akan pernah bisa menemukanku lagi."

"Bagaimana caranya agar kita bisa bertemu lagi?" Nay kembali menangis.

"Mintalah kepada Tuhan, Nay. Saat Tuhan menjawab, bukan hal yang mustahil untuk kita bisa bertemu kembali."

Nay terlihat mengangguk. Aku menyuruhnya untuk kembali istirahat. Dia ingin aku mengelus kepalanya seperti saat di gudang hari itu. Tangannya menggenggam tanganku dengan lembut.

Matanya mulai kembali terpejam. Akhirnya dia tertidur. Genggaman tangannya kulepaskan dengan perlahan. Sudah cukup lama aku berada di ruangan ini, mungkin Bunda sudah bosan menungguku di luar sana.

Aku bergegas keluar dari ruangan. Tepat setelah membuka pintu itu, aku terdiam di tempat. Melihat Bunda dan seorang pria lainnya yang juga menatapku. Wajah itu, aku mengenalinya. Persis seperti seorang pria yang ada di dalam foto keluargaku.

Nenek, Bunda, dan dia. Ayah.

###

Cirebon, 10 September 2024

Yang Tak Kumengerti [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang