Happy Reading!
###
Hari kembali berganti. Pagi kembali hadir. Semalam aku hampir tidak bisa tidur. Aku masih meringkuk dalam baringan. Kepalaku dipenuhi oleh kejadian semalam. Entah bagaimana nasibku setelah ini. Aku pasrah.
Daun pintu yang bergerak membuatku sontak terbangun. Mataku terus tertuju ke pintu tersebut. Perasaan gelisah semakin menghampiriku.
"Tidak ada apa-apa di sini."
Aku mendengar suara Bunda. Tidak, Bunda tidak datang sendirian. Suara seorang pria dan anak kecil juga ikut terdengar olehku.
Aku harus apa?
Sembunyi!
Dengan cepat aku berpindah tempat. Kolong meja yang tertutup beberapa sofa di depannya adalah tempat persembunyianku. Tepat setelah itu, pintu terbuka.
"Kemarin aku lihat dia di sini, Mama," kata gadis kecil yang semalam berhasil menemukanku. Aku menelan ludahku susah payah. Rasanya sakit.
"Mungkin kamu salah lihat, Sayang. Di sini tidak ada apa-apa." Kini giliran suara seorang pria.
Perasaan takut semakin besar. Aku tidak berani untuk mengintip barang sedikit pun. Jangankan mengintip, bergerak sedikit saja aku takut.
Suara langkah kaki seseorang terdengar semakin mendekat. Detak jantungku semakin kacau. Tuhan, selamatkan aku!
"Lihat, tidak ada apa-apa, 'kan?"
"Tapi, Mama, aku lihat dengan jelas, kok."
"Sayang, mungkinkah kamu melihat hantu?"
"Tidak mungkin, Papa. Percaya padaku."
Mereka masih di sana. Aku harus sabar menunggu hingga mereka semua pergi. Jemari tanganku saling bertautan, gugup. Cepat pergi! Cepat pergi! Aku terus bergumam dalam hati.
Cukup lama mereka berbincang, akhirnya aku bisa bernapas lega kembali. Suara langkah kaki itu mulai menjauh dan samar. Hening. Mereka semua sudah pergi.
Tuhan, terima kasih.
Kuletakkan tanganku di dada, merasakan debaran jantung yang belum berhenti juga. Mereka sudah pergi, tetapi nasibku masih belum pasti. Bunda mengetahui bahwa anaknya melihatku ada di gudang ini.
Saat bertatap muka dengan Bunda, apa yang akan kukatakan?
Saat bertatap muka dengan Bunda, apa yang akan Bunda katakan?
Aku takut.
Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya kembali, mencoba untuk tenang. Mengusir segala kegelisahanku. Mengusir segala cemasku. Mengusir segala ketakutanku.
Setelahnya, aku mengangguk untuk meyakinkan diri. Perlahan bangkit dan keluar dari tempat persembunyian. Baru saja aku bisa bernapas lega, mataku membulat sempurna saat melihatnya. Bunda.
"Bunda," gumamku pelan.
Wajah Bunda terlihat sangat datar. Tatapan matanya kosong. Perasaan takut yang tadi telah pergi, perlahan mereka mulai kembali.
Dengan langkah gontai aku menghampiri Bunda. Tatapan mataku tidak bisa lepas dari sosoknya. Kurasakan mataku memanas, menahan tangis.
Aku berdiri tepat di depan Bunda. Tidak bisa menatap matanya, takut. Aku terus menunduk seraya meremas jari-jariku.
"Kamu tau kesalahanmu, 'kan?" tanya Bunda.
Suaranya pelan, tetapi juga tidak lembut. Tidak ada emosi yang terkandung di dalamnya. Datar seperti tidak berperasaan.
Tubuhku luruh di tempat. Perlahan aku membungkuk. Kedua tanganku kuulurkan ke depan, mencoba meraih kaki Bunda. Aku bersujud di depannya, mencium kakinya. Tangisku kini mulai menderas. Sesak.
"Maafkan aku, Bunda," rintihku di sela tangis.
Tidak ada respons. Bunda benar-benar marah padaku, ya?
"Jangan usir aku, Bunda," lanjutku, "apa pun akan aku lakukan. Apa pun!"
Bunda masih bungkam. Ketakutanku semakin besar. Air mata mengalir tanpa henti, aku meraung. Kuberanikan diri untuk mendongak, melihat wajah Bunda. Terkejut, Bunda menangis. Kenapa?
Dalam sekejap, tubuhku terjatuh. Bunda menendangku dengan keras. Sakit sekali.
Tidak ada kata-kata bentakan, Bunda hanya mengatakan, "Kerjakan semuanya tanpa sarapan."
Hanya itu, lalu Bunda pergi seraya mengusap air matanya. Pintu gudang itu kembali dikunci oleh Bunda. Aku masih terdiam di tempat, berusaha menenangkan diri. Berkali-kali mengusap air mataku, tetapi tidak kunjung kering.
Dadaku terasa sangat sakit. Menyesakkan. Aku tidak bisa membayangkan hidupku jika Bunda benar-benar mengusirku dari sini. Ke mana aku akan pergi? Ke mana aku akan pulang?
Tuhan, jangan pisahkan aku dengan Bunda. Tidak apa dipenuhi rasa sakit, setidaknya aku masih bisa bangkit.
***
Balkon kamar asrama. Suara cempreng lewat panggilan telepon itu masih saja terdengar di telingaku. Dia terus mengoceh ini dan itu dengan penuh semangat. Mengatakan bahwa dia tidak sabar bertemu denganku.
Dia juga mengatakan bahwa dia sangat merindukanku. Ya, aku tahu.
Aku juga sama rindunya.
###
Cirebon, 2 September 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Tak Kumengerti [TELAH TERBIT]
Fiksi Remaja10 tahun yang lalu, lebih tepatnya saat aku masih menjadi seorang bocah berusia 8 tahun. Bocah yang tinggal di sebuah kontrakan kecil bersama sang Nenek. Memakai pakaian yang itu-itu saja, dan makan dengan lauk seadanya. Tidak sekolah. Hanya bisa me...