12. TUHAN, AKU TIDAK INGIN BERPISAH DENGAN MEREKA

9 1 0
                                    

Happy Reading!

###

Ruang yang terang. Ruang yang bersih. Ruang yang wangi. Aku merasa begitu nyaman saat tidur di salah satu kamar rumah itu. Semalaman aku tidur sangat nyenyak. Paginya, mereka membiarkanku ikut sarapan di satu meja yang sama.

Lauknya macam-macam, tidak hanya tahu dan tempe, ataupun daging ayam yang gosong. Nyaman sekali tinggal bersama mereka. Wajah seram Om Brewok hanyalah topeng, karena sebenarnya hatinya sangatlah lembut. Aku merasakannya sendiri.

Seharusnya pagi itu aku pergi. Namun, Om Brewok tiba-tiba mencegahku. Meminta aku menceritakan semua yang terjadi saat di rumah Bunda. Saat itu aku masih kecil, tentu rasanya sulit untuk berbohong.

Dengan polos, aku menyetujui permintaannya. Aku benar-benar menceritakan semuanya pada Om Brewok, juga Ibu Rini.

Bunda yang tidak mengakuiku. Bunda yang membiarkanku tidur di gudang yang kotor. Bunda yang hanya memberikanku makan seadanya. Juga Bunda yang memukuliku hingga lebam. Dan Bunda yang meninggalkanku di depan gapura gang.

Semuanya aku ceritakan seraya tersenyum. Aku punya alasan. Tidak ingin membuat mereka khawatir. Terlihat Ibu Rini yang menangis sejak aku mulai bercerita, sedangkan Om Brewok hanya diam. Menyimak.

Lalu tanpa diduga, Om Brewok mengatakan sesuatu hal yang mampu membuatku terkejut.

***

"Kamu tinggal di sini saja."

Itu yang Om Brewok katakan padaku satu minggu yang lalu. Karena keputusannya, aku kembali menangis hebat. Benar-benar keluarga titisan malaikat.

Beberapa kali aku berkunjung ke makam Nenek bersama Ibu Rini. Menyampaikan segala rinduku padanya, sekaligus meminta maaf karena pernah hampir menyerah di hari itu. Tidak lupa juga aku menceritakan tentang Ibu Rini dan Om Brewok yang sudah menerimaku dengan sangat baik.

Di malam hari, aku biasa menawarkan diri ke Om Brewok untuk memijat. Hanya balasan kecil dariku karena mereka sudah menampungku yang bukan siapa-siapa. Aku sangat senang saat Om Brewok menerima tawaranku. Aku tahu dia sangat kelelahan setelah bekerja seharian.

Sesekali Om Brewok melemparkan candaan padaku. Aku tidak pernah menduga, bahwa Om Brewok benar-benar ramah. Selama tinggal di rumah itu, aku merasa sangat bahagia. Tawaku terus hadir tanpa jeda. Bolehkah aku terus tinggal di sini bersama mereka?

Aku tahu permintaanku ini sangat egois, tetapi ... bisakah?

Siang ini aku sedang sibuk membantu Om Brewok memperbaiki kaki kursi yang patah. Tidak ada paksaan, aku senang membantunya. Om Brewok pernah cerita padaku, tentang anaknya yang sudah tiada.

Aku tahu. Dulu aku berteman dengan anaknya, meskipun jarang bermain bersama. Namun, aku tahu dia. Namanya Tino. Saat itu, kami masih berusia tujuh tahun. Ya, kami seumuran. Hari itu Tino dikabarkan masuk rumah sakit karena demam berdarah, lalu beberapa hari kemudian Tino dinyatakan meninggal.

Aku dan Nenek pergi melayat, meskipun aku tidak berani melihat jasadnya secara langsung. Saat itu, Om Brewok belum punya brewok setebal sekarang dan tidak semenakutkan sekarang.

Om Brewok mengizinkanku tinggal di sini mungkin karena teringat dengan mendiang Tino. Dia sangat beruntung karena memiliki mereka yang penuh dengan cinta dan kasih sayang.

"Tegar, pakunya ambilkan!" pinta Om Brewok.

Paku itu berada tepat di sampingku. Kuambil satu dan kuberikan padanya. Tidak ada hentinya Om Brewok mengajakku mengobrol. Rasanya damai sekali.

Kehadiran seseorang membuat aktivitas kami terhenti. Seseorang yang sangat kukenal. Seseorang yang sangat kukagumi pada awalnya. Seseorang yang membuatku merasakan sakit. Seseorang yang telah membuangku pada hari itu.

"Bunda?"

Mataku tidak pernah lepas dari wajahnya. Terkejut. Entah ekspresi seperti apa yang harus kutunjukkan di depannya. Aku senang, tetapi juga takut. Mengingat kejadian terakhirku bersama Bunda yang teramat menyesakkan.

Aku bangkit dengan perlahan, begitupun dengan Om Brewok. Bunda mengucapkan salam, sopan sekali. Tidak seperti Bunda yang biasanya. Om Brewok maju, menghadapi Bunda seraya berusaha menyembunyikanku di belakang tubuh besarnya.

"Kamu ini Reina, 'kan? Anaknya Nenek Mel. Mau apa kamu ke sini?"

Suara keras Om Brewok memulai percakapan lebih dulu. Ibu Rini yang tadi berada di dalam rumah pun keluar setelah mendengar suaranya.

Kemunculan Ibu Rini membuat perdebatan tidak bisa dihindari. Aku ketakutan, meremas baju Om Brewok dengan sangat kuat. Bunda bilang ingin menjemputku. Aku pernah berharap bahwa suatu hari nanti Bunda akan kembali menjemputku, tetapi ... saat hari itu datang, kenapa aku merasa tidak senang sama sekali?

"Buat apa kamu menjemputnya lagi?" tanya Ibu Rini, "setelah kamu buang dia di depan sana dengan luka dan lebam di sekujur tubuhnya, kamu ingin membawanya lagi?"

"Mbak, saya berhak membawanya bersama saya."

"Berhak untuk kamu pukuli maksudmu? Orang tua macam apa yang tega menyakiti darah dagingnya sendiri?!"

Dari balik tubuh Om Brewok, kulihat Bunda terus-terusan melirik ke arahku. Aku bingung. Tatapan matanya berbeda. Rasanya seperti ada yang aneh. Perlahan kulepaskan genggamanku dan menghampiri Bunda. Meskipun Om Brewok berusaha mencegahku, aku tetap melakukannya.

Tepat di depannya, aku bertanya dengan suara yang sedikit gemetar. Tentang maksud kehadirannya dan alasan kenapa menjemputku dengan tiba-tiba. Aku ingin tahu.

"Kamu harus ikut sama saya!" pintanya. Aku diam seraya terus menatapnya, meminta penjelasan lebih. "Nayla sakit."

Kalimat kedua itu sontak membuat kedua mataku membulat. Nayla sakit. Perasaan cemas seketika menghampiriku. Aku menoleh ke Om Brewok dan Ibu Rini secara bergantian. Mereka kompak menggeleng, tidak mengizinkanku ikut dengan Bunda.

"Aku akan ikut Bunda," ucapku membuat keputusan.

Ibu Rini terlihat sangat tidak setuju. Aku melihatnya terus menggeleng. Om Brewok menahan Ibu Rini yang hendak menghampiriku. Mata kami bertemu. "Tegar, kamu yakin?" tanya Om Brewok.

"Iya, Om," jawabku tanpa pikir panjang. Aku menghampiri Ibu Rini yang sudah menangis karenaku. "Maaf, Bu, aku harus pergi. Nayla itu adikku, dia sakit. Terima kasih sudah menjagaku selama seminggu ini. Om Brewok, Ibu Rini, terima kasih banyak!"

Tuhan, mereka berdua bukan orang tua kandungku. Namun, kenapa rasanya sakit sekali?

Air mataku ikut terjatuh saat Ibu Rini mendekapku dengan hangat. Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin pergi. Namun, aku harus apa? Aku mengerti dengan tatapan Bunda itu. Bunda benar-benar sedang meminta tolong padaku. Meskipun aku tidak tahu penyakit apa yang diderita Nayla, aku tetap cemas.

Ibu Rini mengambilkan tas berisi pakaianku. Sebelum pergi, mereka juga memberikan kecupan di keningku. "Datang lagi kapan pun kamu mau."

Tuhan, aku sungguh tidak ingin berpisah dengan mereka.

###

Cirebon, 8 September 2024

Yang Tak Kumengerti [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang