11. TUHAN, AKU INGIN BUNDA SEPERTINYA

9 1 0
                                    

Happy Reading!

###

Suara berisik dari pengunjung kantin tidak mengacaukan pikiranku sama sekali. Masa lalu itu benar-benar membekas dalam diriku. Derita dan air mata. Berapa kali aku menangis? Berapa kali aku tertawa? Berapa kali aku menderita? Dan berapa kali aku bahagia?

Namaku Tegar Assyifa, usia 18 tahun.

Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat aku masih berusia delapan tahun. Setelah Bunda meninggalkanku sendirian di depan gapura, aku hanya bisa menangis. Aku sangat lemas. Berkali-kali aku menjerit dalam hati, memanggil Nenek agar mau menjemputku. Aku menyerah.

Namun, seseorang kembali mendekapku. Tubuhku yang luruh di atas tanah, lemah. Aku menangis hebat dalam dekapannya. Sosok wanita yang selama ini berjasa untukku dan Nenek. Beliau membawaku pulang ke rumahnya. Memberiku makan. Membiarkanku istirahat. Sosoknya benar-benar seperti malaikat.

Di sana aku benar-benar diperhatikan. Aku ingin Bunda yang sepertinya. Wanita yang baik dan penuh kasih sayang. Ibu Kontrakan, alias Ibu Rini.

***

Aku terbangun dari tidurku. Jam dinding menunjukkan pukul 16.00. Berkali-kali kukerjapkan mata. Belek yang menempel di mata pun kusapu dengan tanganku. Kuregangkan tubuhku. Ah, sakit.

Sungguh, rasanya semua tulangku sudah benar-benar remuk. Seluruh tubuhku sakit. Beberapa lebam juga terlihat di lengan dan kakiku.

"Tegar, kamu sudah bangun?"

Suara seseorang berhasil membuyarkan lamunanku. Aku melihat sosoknya, malaikatku. Aku menunduk dengan perasaan bersalah karena telah merepotkannya. Ibu Kontrakan, alias Ibu Rini. Beliau yang menenangkanku saat di depan tadi.

"Bagaimana sekarang? Jangan paksakan dirimu, istirahat saja dulu, ya," ucapnya dengan lembut. Tidak ada respons yang bisa kuberikan selain mengangguk. "Maafkan Ibu karena sudah membuatmu seperti ini. Seharusnya Ibu tidak membiarkanmu pergi ke rumah bundamu."

Mataku menatap wajahnya, kemudian menggeleng cepat. "Tidak, tolong jangan katakan itu. Aku senang karena bisa melihat Bunda."

Kulihat air mata itu terjun. Ibu Rini menangis untukku. "Tapi, Tegar, kondisimu jadi seperti ini. Lebam dan penuh luka," rintihnya di sela tangis.

Suaranya begitu serak. Aku merasakannya, Ibu Rini tidak sedang berbohong. Ibu Rini benar-benar menangis untukku. Hatinya sangat lembut. Tuhan, aku ingin Bunda sepertinya.

"Aku akan baik-baik saja, Bu. Ini karena kesalahanku sendiri," balasku seraya tersenyum, meyakinkannya bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Kulihat tangisnya semakin deras. Aku bingung. Kedua tangannya dia rentangkan, lalu membawaku dalam dekapan. Hangat sekali. Kurasakan elusan lembut di kepalaku. Tuhan, mudahlahkan segala urusan Ibu Rini. Limpahkanlah kebahagiaan untuknya. Hatinya sangat baik.

"Kamu sangat tegar, seperti namamu. Nenek Mel pasti sangat bangga padamu, Tegar."

Kecupan kecil mendarat di keningku. Aku sempat terdiam, memikirkan sesuatu. Pantaskah aku menerima semua kebaikan hatinya? Sedangkan aku bukanlah siapa-siapa. Air mataku kembali luruh.

Aku tidak setegar itu, Bu. Keadaan saja yang memaksaku untuk tetap kuat.

Aku menangis hebat dalam dekapannya. Menumpahkan segala rasa sakit yang tertahan dalam hati. Aku ingin mengeluarkan semuanya, tanpa tersisa. Rasanya sangat sesak. Aku ingin lega.

Suara seseorang membuatku melepaskan pelukan lebih dulu. Seorang pria dengan tatapan tajam terus menatap ke arahku. Ditambah dengan brewok di wajahnya membuatku semakin takut. Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajahnya.

"Kenapa dia di sini?" tanyanya dengan suara keras.

Aku takut, tetapi Ibu Rini kembali memelukku. Mencoba melindungiku dari Om Brewok---suami Ibu Rini---tadi. Aku hanya diam, tidak berani bersuara sedikit pun. Perdebatan antara Ibu Rini dan suaminya benar-benar membuatku takut.

Om Brewok tidak menerimaku, ingin aku segera angkat kaki dari rumah mereka. Namun, Ibu Rini tetap membelaku. Apa yang harus kulakukan? Kenapa kehadiranku selalu memicu berdebatan?

Perdebatan itu akhirnya selesai. Om Brewok mengalah dan membiarkanku tinggal di rumah mereka, meskipun hanya untuk semalam. Aku tidak ingin menyebut Om Brewok orang jahat. Sejak dulu, Om Brewok memang dikenal memiliki suara yang besar.

Setiap bicara, orang-orang akan menduga bahwa dia sedang bertengkar, tetapi nyatanya tidak. Om Brewok hanya terlihat jahat, karena faktanya dia sangat mencintai Ibu Rini. Tidak pernah ada kekerasan. Berbeda dengan Ayah yang pernah memukul Bunda.

Hari itu, aku akhirnya bermalam di sana. Tidur di kasur yang nyaman, tidak ada nyamuk, tidak gelap. Setelah sekian lama, aku bisa tidur dengan nyenyak.

###

Cirebon, 7 September 2024

Yang Tak Kumengerti [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang