Happy Reading!
###
Masih di tempat yang sama, yaitu Kamar Asrama. Keributan kini sudah reda, mereka sedang bersiap. Sibuk dengan penampilannya masing-masing.
Aku menatap jam dinding. Pukul 06.10.
Sebenarnya masih ada banyak waktu sebelum acara dimulai pukul 09.30. Namun, mereka sudah benar-benar mempersiapkan diri. Mereka sangat bersemangat.
Ah, lagi-lagi aku lupa.
Benar. Aku sedang mengenang masa lalu. Masa di mana aku bertemu Bunda untuk pertama kalinya. Sayangnya pertemuan itu tidak seindah skenario yang kubuat dalam khayalan.
Aku masih sangat mengingatnya. Tatapan Bunda. Ekspresi Bunda. Juga dorongan Bunda. Aku masih mengingat bagaimana rasanya terbang lalu jatuh terbanting karena harapanku sendiri.
Bunda mengatakannya dengan tegas. Saat itu aku benar-benar tidak diakui. Hatiku remuk, hancur berkeping-keping.
Keputusasaan hendak menghampiriku. Menguasai jiwaku yang sedang terpuruk saat itu. Namun, seseorang lagi-lagi menenangkanku. Aku mendengarnya. Suara Nenek.
***
"Tegar, cucu Nenek, ingat satu hal ini, ya, Sayang. Kalau kamu sedang putus asa, jangan menyerah. Yakini dalam hati bahwa Tuhan selalu ada untukmu."
Suara Nenek tiba-tiba menggema di telingaku. Aku tersadar. Benar kata Nenek.
Pukul 13.00, aku kembali menekan bel.
Setelah merenung beberapa jam di depan rumah, menimbang dan berpikir. Aku memantapkan hati untuk kembali mencoba. Tuhan selalu ada di sisiku.
Bel sudah kutekan beberapa kali, tetapi Bunda belum muncul juga. Kini kelima kalinya aku menekan bel. Kulihat Bunda keluar dari rumah dan menghampiriku. Senyumku kembali tampak, meskipun aku yakin bahwa Bunda tidak akan peduli dengan itu.
Bunda sudah ada di depanku, lagi. Tatapannya masih sama, menyorot tajam. Bagaimanapun aku masihlah bocah berusia delapan tahun. Jika ditatap seperti itu, pastilah ada rasa takut.
"Izinkan aku tinggal di sini, Bunda."
Kalimat itu meluncur dengan sendirinya. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Tidak ada hal lain yang kupikirkan selain 'aku harus menemukan tempat untuk tinggal'.
"Aku akan lakukan apa pun," lanjutku, "tidak masalah kalau Bunda tidak mengakuiku."
Aku terus menatapnya dengan dada yang semakin berdebar. Tatapan Bunda semakin menakutkan. Kulihat Bunda mengecek ponselnya. Entah apa yang Bunda lihat.
Namun tepat setelahnya, Bunda kembali menatapku. Membuka pagar tinggi itu, lalu menarik tanganku untuk masuk. Sakit.
Bunda menutup kembali pagar rumahnya. Menarik tanganku dan membawaku ke suatu tempat. Sampai saat ini, Bunda belum juga mengatakan apa pun. Saat itu aku sangat panik hingga terus merintih dengan memanggilnya. Cengkeraman Bunda di lenganku sangat kuat. Benar-benar sakit.
Sebuah pintu terbuka, menampakkan ruangan yang dipenuhi oleh tumpukan barang. Bunda menyeret dan melemparku ke dalam ruangan tersebut. Gudang. Aku terbatuk sekaligus bersin beberapa kali saat merasakan debu masuk ke hidungku.
"Tetap di sini," kata Bunda, "jangan pernah berani menampakkan dirimu di depan suami dan anak saya. Paham?"
Suara blam! terdengar sangat keras saat Bunda menutup pintu. Tepat setelah mengatakan kalimat tadi. Aku mencoba membuka pintu itu, tidak bisa. Bunda mengunciku dari luar.
Di ruangan yang penuh debu itu, aku menangis. Tubuhku merosot, duduk sembari bersandar pada pintu yang terkunci.
Rasa takutku belum juga menghilang. Tatapan tajam Bunda masih terus membayangiku. Gudang yang kotor. Gudang yang berantakan. Gudang yang gelap. Sepi. Aku sendirian.
Nenek, aku takut.
Debu yang beterbangan. Sudut-sudut yang dipenuhi jaring laba-laba. Beberapa barang yang tidak teratur penempatannya. Ruangan ini sangat kacau. Tangisku semakin deras saat beberapa kecoa muncul dan berlalu di depanku.
Menangis dan terus menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan. Terlalu lelah, aku tertidur. Entah berapa lama mataku terpejam, ruangan menjadi semakin gelap saat aku terbangun.
Perutku bergejolak saat itu juga. Benar, aku belum makan apa pun sejak siang tadi. Aku sangat lapar. Kupaksakan diriku untuk bangun. Kakiku terasa sangat lemas. Kepalaku pusing.
Suara pintu terbuka membuatku sontak menoleh. Bunda muncul dari baliknya. Membawa sepiring nasi dan segelas minum di kedua tangannya. Aku melihatnya, Bunda menaruh itu di atas lantai (yang masih kotor).
"Saya bukan pembunuh," ucap Bunda seraya menatapku sekilas, lalu kembali keluar dan mengunci pintu seperti semula.
Aku tidak mengerti dengan maksud Bunda, tetapi aku bersyukur karena masih bisa makan hari ini. Nasi, tahu, dan tempe, serta segelas air putih. Tidak peduli apa lauknya. Ini adalah makanan yang biasa kumakan. Nikmat sekali.
Nenek, Bunda orang yang baik.
Perutku akhirnya kenyang. Senyumku kembali mengembang. Aku bangun dari tempat, lalu menghampiri jendela kecil yang tertutup oleh tumpukan barang. Satu per satu kupindahkan barang itu. Tentunya dengan hati-hati.
Jendela kecil itu akhirnya terbebas. Aku melihatnya, mengintip ke luar. Sebuah taman kecil yang dipenuhi oleh berbagai macam bunga. Ada beberapa pohon besar juga. Salah satu pohon besar itu terdapat satu ayunan papan. Aku ingin mencoba ayunan itu. Pasti menyenangkan.
Tidak, taman itu tidak sama seperti taman yang kulihat saat di depan. Mungkin itu taman yang ada di belakang rumah. Indah sekali.
Kulihat langit sudah berubah warna. Tidak lagi terang. Gelap. Tanpa sadar aku tertidur hingga malam hari. Namun meskipun aku baru bangun, aku tetap menguap. Aku masih mengantuk.
Piring kotor dan gelas kosong yang tadi, kupindahkan ke atas meja yang sudah usang. Kubersihkan lantai yang berdebu dengan sapu yang baru saja kutemukan. Gagang sapu itu patah menjadi dua, jadi aku membersihkannya dengan berjongkok.
Debu-debu itu kusingkirkan hingga ke sudut ruang. Tikar kecil yang tergulung di atas meja itu kuambil dan kubentangkan. Tikar itu akan menjadi tempat tidurku.
Akhirnya aku bisa bernapas lega. Meskipun bau debu masih belum hilang, setidaknya aku masih bisa tidur di tempat itu.
Aku mulai berbaring, menjadikan tas yang kubawa sebagai bantal. Entah apa yang akan aku hadapi esok hari. Cukup. Hari ini aku sudah cukup. Lelah. Aku hanya ingin istirahat. Bunda sudah berbaik hati memberikanku tempat untuk tinggal. Bahkan memberiku makan dan minum juga.
Di gudang yang berdebu, pengap, dan gelap ini aku tinggal. Dingin. Kupejamkan mataku, memaksa diriku untuk segera terlelap.
***
Pukul 06.11, Balkon Kamar Asrama.
Nenek apa kabar? Nenek lihat? Aku sudah besar. Foto ini masih kusimpan sampai sekarang. Nenek sangat cantik di foto ini. Indah.
Embusan angin pagi yang masih bersih. Sejuk dan segar. Hari ini cuacanya cerah. Semoga saja. Aku mengingatnya. Di gudang itu ada banyak hal yang aku lalui. Kesulitan dan hal yang menyenangkan pun. Semuanya tersusun rapi dalam otakku. Menjadi sebuah kenangan masa lalu. Di masa itu, banyak hal yang ingin kuketahui. Ya, banyak hal. Menuntaskan semua pertanyaan yang tak kumengerti.
###
Cirebon, 30 Agustus 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Tak Kumengerti [TELAH TERBIT]
Teen Fiction10 tahun yang lalu, lebih tepatnya saat aku masih menjadi seorang bocah berusia 8 tahun. Bocah yang tinggal di sebuah kontrakan kecil bersama sang Nenek. Memakai pakaian yang itu-itu saja, dan makan dengan lauk seadanya. Tidak sekolah. Hanya bisa me...