●tujuh

10 4 3
                                    

𖥔 ݁ ˖༄

Sudah hampir dua minggu ini Marisa benar-benar berhenti mengganggu Jingga di sekolah.

Tapi tetap saja Jingga menjadi sorotan dan sepertinya banyak yg tak suka karena belakangan ini ia semakin dekat dengan Langit.  Banyak yg biacara tak enak di belakang Jingga. Namun ia ingat ucapan Langit untuk jangan menanggapi mereka.

Menarik perhatian, mading sekolah sepertinya memberikan info terbaru kegiatan yang akan di adakan di sana. Jingga tertarik untuk melihatnya. Ternyata kegiatan camp sekolah yang akan di adakan sebulan lagi dan hanya di peruntukkan untuk kelas 11 yang ingin ikut.

Itu artinya Jingga boleh mengikutinya, bukan?

"Eh, ini yang namanya Jingga nggak, sih? Yang kabarnya deket sama Langit itu"

Jingga mendengar murid lain—yang saat itu melihat mading juga—sedang membicarakannya. Namun Jingga masa bodoh, ia pura-pira tak mendengar sembari menyimak info mading yang lainnya.

"Sok cantik banget dia"

"Langit mending sama Marisa lah anjir terawat. Lah ini buluk"

"Iya lah. Buluk gini pasti pake pelet buat deketin si Langit"

"Kalo gue jadi Langit gue bakal jadiin dia babu, sih"

Dan akhirnya Jingga tak tahan mendengarnya, ia segera berlari dari sana meninggalkan mereka.

𖥔 ݁ ˖༄

Di toilet sekolah Jingga menangis sesenggukan. Ia melihat wajahnya yang sudah basah karena air mata di kaca wastafel. Seburuk itukah dia di mata orang-orang? Kenapa sepertinya ia tak di ijinkan untuk berteman dengan siapapun?

"Hai kamu nangis ya"

Suara itu membuat Jingga menoleh. Ia mendapati seorang gadis yang terlihat polos memperhatikannya.

"Ng-nggak kok. Cuma kelilipan"
Jingga berusaha mengulas senyum, meski matanya masih memanas.

"Kenalin aku Ona. Murid baru. Kamu siapa?"

Jingga seolah ragu namun ia mengulurkan jabatan tangan Ona itu.

"Jingga"

"Oh halo Jingga salken ya. Aku pindahan dari Bandung. Tapi aku sebenernya nggak suka pindah kesini. Mama Ona yang maksa, tau"

Ona oversharing, dengan semangatnya memperkenalkan diri namun Jingga hanya membalasnya dengan senyuman.

"Yaudah aku duluan ya"

Jingga mengakhiri obrolan. Lagipula sangat tidak nyaman jika mereka harus mengobrol di toilet.

Namun Ona mengikuti Jingga sampai keluar dari toilet. Mereka berjalan beriringan.

"Btw aku dari kelas sebelas F. Kalo kamu?"

Seperti halnya anak kecil, Ona terus bertanya.

Jujur Jingga merasa tidak nyaman. Selain mereka baru bertemu, kenapa Ona sangat menghujaminya dengan banyak pertanyaan?

"S-sama aku sebelas juga. Tapi C"

Gugup Jingga menjawab. Ia takut Ona hanya ingin berniat jahat seperti orang-orang di sekitarnya.

Anxiety nya tiba-tiba kambuh. Tangannya berkeringat dan jantungnya berdegup kencang tiba-tiba. Jingga merasa cemas di ikuti orang baru seperti ini.

"K-kamu bisa gausah ikutin aku terus nggak?"

Napas Jingga tersengal-sengal. Ia benar-bemar trauma dengan orang asing.

"Oh maaf. Iya Ona nggak bakal ikutin kamu lagi kok"

Jingga tersenyum kemudian segera pergi. Ia memegangi dadanya yang terasa nyeri.

Sementara Ona disana melambaikan tangan saat Jingga menjauh dari belokan koridor.

"SALAM KENAL YA. BESOK KETEMU LAGI" ujarnya lantang

𖥔 ݁ ˖༄

Jingga sekarang berada di UKS untuk menenangkan dirinya. Ia terus mengatur napasnya agar kembali normal. Namun dadanya masih sesak dan terasa sangat sakit.

Tak lama suara pintu UKS terbuka membuat Jingga mengalihkan pandangan. Ternyata itu Langit.

"Jingga? Lo ngapain?"

"Nggak kok. Nggak papa"

Jingga tersenyum. Tapi Langit tau gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Lelaki itu meletakkan minyak urut di meja lalu duduk di samping Jingga.

"Kamu kok bisa kesini?" tanya Jingga

"Iya barusan abis ngurut kakinya temen gue. Keseleo dia abis basket. Kamu nggak papa? Mananya yang sakit?"

"Cuma sesek aja kok. Nggak papa"
Jingga merasa napasnya masih tersengal-sengal. Dan Langit bisa melihat tangan Jingga yang gemetar.

"Gue tau anxiety lo kambuh kan? Gue pernah juga soalnya. Tarik napas dulu, ya. Pelan-pelan keluarin"

Langit menyuruh Jingga untuk mengontrol pernapasan beberapa kali. Namun tetap saja dada Jingga terasa nyeri.

"Sakit..."

Jingga merintih, meremat ujung seragamnya kuat. Matanya berkaca-kaca dan napasnya masih tak beraturan. Dadanya sangat sakit seperti ditusuk ribuan jarum di dalam sana. Ia sampai lemas merasakan semua ini.

Langit langsung memeluk Jingga. Langit bisa merasakan badan gadis itu bergetar.

"Lo nggak sendirian kok. Tenang ya"

Langit mengelus punggung Jingga untuk menenangkannya.

Beberapa saat kemudian, Jingga merasa bahwa di pikirannya yang semula abstrak kini perlahan tenang. Sedikit demi sedikit napasnya mulai teratur kembali.

Dan baru kali ini anxiety nya mereda karena orang lain di dekatnya.

𖥔 ݁ ˖༄

doain ini bisa sampe tamat ya gaiss, soalnya aku bosenan 😭🤙

btw aku pengen bikin cerita baru lagi :v

SENYUMAN JINGGA 《on going》Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang