𖥔 ݁ ˖༄
Hanya ditemani senter sebagai penerangan, Jingga dan Marisa berjalan menyusuri hutan. Sekitar sepuluh menit berlalu, yang mereka temukan hanya satu bendera.
"Ck. Capek ah kalo gini terus! Lagian kenapa, sih, Pak Widad nyuruh kita nge camp cuma cari bendera?! Kurang kerjaan aja!"
Marisa tiba-tiba menghentikan langkahnya
Jingga mencoba menyentuh pundak Marisa berniat untuk menenangkan, namun ia segera urungkan.
"Lo juga dari tadi diem mulu! Usahain gimana kek cari lagi benderanya!"
Penerangan yang minim membuat mereka kesulitan. Padahal yang menemukan satu bendera itu juga Jingga. Marisa tadi hanya melihat saat Jingga berusaha menggapai benderanya di ranting pohon.
"Iya, Sa, ini aku juga sambil cari kok"
Marisa melengos melihat wajah Jingga yang sok polos itu. Namun saat akan melangkah lagi, Marisa terpeleset hingga ujung celananya terangkat sedikit membuat kakinya akhirnya tergores.
"Awhh"
Ringis Marisa melihat darah mengalir di garis lukanya.
Jingga yang emngetahui hal itu segera membuka tas dan mengeluarkan kotak obat. Ia sengaja membawa untuk keadaan darurat seperti ini.
"Duduk dulu, Sa. Aku obatin"
Jingga memapah tubuh Marisa untuk duduk di tanah.
Marisa merasa tak enak sendiri. Banyak perlakuan buruk yang Marisa berikan pada Jingga. Tapi Jingga masih mau menolong saat ia sedang terluka seperti ini.
Saat Jingga fokus mengobati luka, Marisa malah fokus syal yang Jingga pakai di leher.
Dari bahannya saja Marisa tau ini syal mahal dan mana mungkin Jingga mampu membelinya. Tapi tunggu. Ini, kan, syal yang di pakai Langit tadi.Langit melarang Marisa meminjam tapi lelaki itu malah memberikannya pada Jingga??
Marisa berusaha menahan amarahnya disana. Dan sedetik kemudian, Marisa memiliki rencana bagaimana bisa menyingkirkan Jingga dari hidupnya. Mungkin untuk selamanya?
"Pasti besok bakal sembuh kok"
Jingga menempelkan plaster kemudian meletakkan obatnya lagi ke dalam kotak.
"Makasi," ucap Marisa terpaksa dengan nada jutek.
Marisa kemudian mengambil senter. Mereka akan melanjutkan mencari benderanya lagi.
Namun saat senter itu Marisa arahkan ke depan, ada dua jalan di depannya.
Namun di sisi kanan terpampang tanda peringatan yang sangat jelas. Mungkin ini yang dimaksud Pak Widad tadi.Marisa tersenyum licik, ia punya rencana.
"Kayaknya kita harus mencar deh. Lo kanan, gue kiri"
Saran Marisa yang sudah jelas di tolak oleh Jingga.
"Tapi jalur kanan, kan, nggak boleh di lewatin kata Pak Widad"
"Ck. Polos banget, sih, lo? Udahlah nurut aja. Bisa aja disana malah banyak bendera. Lo, kan, jadi bisa cepet balik ke tenda"
Jingga sempat ragu namun akhirnya ia mengiyakan saran Marisa itu.
𖥔 ݁ ˖༄
Langit, Gio, dan Aidan memilih duduk sejenak. Mereka malah belum mendapat satupun bendera.
"Balik lagi aja yuk ke tenda. Nyerah gue"
Gio mengeluh. Punggungnya terasa encok karena di tengah jalan tadi Aidan memaksa Gio untuk menggendong bocah tengil itu.
"Jangan nyerah lah, Gi. Sayang hadiahnya loh"
Kata Aidan"Halah palingan juga cuma dapet jajan ama okky jelly drink," balas Gio malas
"Eh Lang! Lo kenapa, sih, dari tadi diem aja? Kesambet poci lu?"
Aidan menepuk pundak Langit yang sedikit terkejut.
"Nggak kok. Gue cuma kepikiran Jingga. Kok firasat gue nggak enak ya"
"Jingga sama Marisa nggak, sih, kelompoknya?" Gio meyakinkan
"Makanya gue khawatir"
Tak lama suara gemuruh petir terdengar. Malam semakin gelap dan mungkin beberapa saat lagi akan hujan.
𖥔 ݁ ˖༄
Jingga terus menyusuri hutan yang makin rimbun dengan semak-semak dan rerumputan liar. Beberapa kali Jingga meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tak salah jalan. Namun ini sudah kesekian kali Jingga kembali ke titik awal, ke tempat pohon beringin besar ini.
Suara gemuruh terdengar mengerikan dengan cahaya kilatnya. Jingga kemudian memilih duduk dengan memeluk lutut. Ia ketakutan. Ia tak yakin akan bisa kembali ke tenda.
Kedua tangan Jingga gemetar. Badannya mulai panas dingin karena cemasnya kambuh. Tempat ini sangat mengerikan dan gelap.
"Siapapun tolong..."
𖥔 ݁ ˖༄
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUMAN JINGGA 《on going》
Teen FictionJingga Aura, seorang gadis penjual bunga yang sering mendapat bullyan di sekolah. Ia mengira bahwa tak ada yang istimewa dari kehidupannya. Namun karena pertemuannya dengan Langit, Jingga percaya bahwa kebahagiaan itu ada. /on going/ 01/09/24 📍1-Ji...