1. Bye, Bandung

361 43 5
                                    

"Hanya untuk sekadar bermimpi pun aku tidak diizinkan, apa aku tidak pantas?"

***

Kaluna menatap layar laptop di hadapannya yang menyatakan bahwa ia lolos SNBP di Universitas Indonesia, dengan jurusan impiannya yaitu psikologi. Kaluna bahagia karena ia selangkah lebih dekat dengan cita-citanya, tapi ia belum siap untuk kembali ke kota itu.

Ada luka yang belum kering, bahkan masih menganga.

"Ayo, Kal. Kamu bisa, kamu nggak akan ketemu dia kok. Depok luas, Jakarta luas, Jabodetabek luas. Kamu cuma perlu kuliah yang benar. Raih impian kamu dan fokus." Kaluna menyemangati dirinya sendiri.

Tak lama kemudian, seseorang masuk ke kamar Kaluna dengan suara nyaring yang terdengar. "Kal, ayo bantuin Ibu."

Kaluna langsung menutup laptopnya dengan panik. Tidak, ibunya tidak boleh tahu perihal ini, setidaknya jangan sekarang.

"Kaluna, apa yang kamu sembunyiin dari Ibu? Kenapa kamu buru-buru tutup laptop dan wajahmu panik sekali?" 18 tahun Aira tinggal bersama putrinya itu, sudah jelas ia hafal dengan mimik wajahnya Kaluna.

"Bukan apa-apa." Kaluna beranjak dari kasurnya, ia berusaha mengalihkan perhatian ibunya.
"Jadi apa yang perlu Kaluna bantu, Bu?"

Namun dengan cepat, Aira meraih laptop Kaluna dan segera membuka layarnya. Kebetulan web tadi belum di-close jadi wanita itu bisa membacanya dengan jelas hingga benda yang ada di tangannya ia lempar ke kasur.

Aira langsung mencengkram tangan Kaluna kuat-kuat, dari raut wajah gadis itu bahwa ia kesakitan tetapi lidahnya terasa kelu, hanya untuk sekadar mengaduh pun ia tidak sanggup. Kemudian satu tamparan keras mendarat ke pipi kanannya. Lagi-lagi Kaluna hanya terdiam, seakan hal ini adalah hal lazim yang ia rasakan.

"Anak sialan! Ibu udah berapa kali bilang sama kamu, nggak usah kuliah. Kamu bantu Ibu jualan di pasar. Ibu nggak punya biaya buat kuliahin kamu. Kenapa kamu nggak paham, Kaluna?" Suaranya yang melengking sudah menjadi tanda bahwa Aira marah besar dengan keputusan sepihak yang diambil oleh Kaluna.

Kaluna menyeka air mata yang tiba-tiba terjatuh, ia hanya gadis biasa yang mempunyai mimpi dan ia ingin mewujudkannya menjadi nyata, apa itu salah? Kenapa dengan mudah, ibunya mematahkan mimpi yang Kaluna bangun selama ini?

"Bu, Kaluna lolos jalur prestasi yang artinya biaya kuliah akan lebih murah daripada mereka yang masuk lewat jalur mandiri. Kaluna akan cari beasiswa dan Kaluna akan kerja sambil kuliah nanti. Kaluna nggak akan nyusahin Ibu, tapi Kaluna mohon izinin Kaluna buat meraih apa yang menjadi mimpi Kaluna. Ini untuk masa depan kita, Bu."

Aira masih pada pendiriannya, mau seribu kali pun Kaluna memohon, ia tidak akan mengizinkannya. "Kamu tahu, Kaluna. Seberapa banyak mereka yang sarjana tapi ujung-ujungnya pengangguran, mereka yang sarjana ujung-ujungnya kerja kasar dan kita yang nggak punya apa-apa ini hanya sampah." Aira menatap putrinya itu dengan tajam. "Kuliah hanya untuk membuang-buang waktu, lebih baik kamu bantuin Ibu di pasar. Kamu bantu ibu jualan gado-gado. Kamu nggak butuh kuliah. Paham?"

Dari kecil Kaluna selalu belajar mati-matian walau tanpa les, tanpa bimbel, dan tanpa fasilitas yang memadai. Kaluna selalu berusaha sendiri, berusaha mempertahankan rankingnya agar beasiswanya di sekolah tidak dicabut, berusaha untuk ikut lomba ini dan itu hanya untuk mendapatkan uang tambahan. Kaluna tidak pernah merepotkan Aira, tapi kenapa hanya untuk bermimpi saja, Aira tidak mendukungnya?

"Bu, selama ini Kaluna berusaha untuk menjadi yang terbaik karena ada mimpi yang Kaluna ingin wujudkan. Izinin Kaluna untuk memutus rantai kemiskinan ini, Bu. Kaluna cuma pengin bawa Ibu ke kehidupan yang layak." Kaluna berusaha meraih tangan Aira, tetapi wanita itu langsung menghempasnya.

"Jangan banyak mimpi kamu, Kaluna. Miskin akan tetap miskin selamanya. Terserah kamu, kalau kamu mau kuliah silakan, tapi jangan harap kamu kembali ke rumah ini. Ibu anggap bahwa anak Ibu udah mati. Kamu pergi sekarang juga dari rumah saya." Setelah itu Aira keluar dari kamar Kaluna dengan kemarahan yang sudah memuncak.

Untuk kali ini biarkan Kaluna meraih apa yang menjadi mimpinya. Tujuan Kaluna hanya satu, membuat kehidupan dirinya dan ibunya menjadi lebih baik, tidak terus-terusan berada dalam lembah kemiskinan.

Izinin Kaluna ya, Bu. Maaf kalau kali ini Kaluna menjadi anak durhaka karena membantah perkataan Ibu.

Kaluna mengemasi pakaian seadanya dan barang-barang penting untuk ia bawa ke Depok. Kaluna memutuskan untuk berangkat ke Depok saat ini juga, setidaknya ia masih memiliki sejumlah uang yang ia tabung dari hasil lomba-lomba yang ia ikuti.

Tuhan, izinin Kaluna untuk menjemput mimpiku, dan mudahkanlah.

Selamat tinggal Bandung, nanti kita ketemu lagi.

***

Hai-hai, aku kembali lagi dengan cerita baru.

Cerita ini didedikasikan untuk orang-orang yang mempunyai mimpi besar, tetapi terkalahkan oleh keadaan.

Tetap semangat untuk meraih apa yang menjadi mimpi kalian.

Happy reading.

Gadis yang Memeluk LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang