25.

47.2K 4.4K 3.2K
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

"Karena tentangmu. saya tidak mau berbagi dengan laki-laki lain, meskipun hanya sehelai rambutmu."

—Biantara Ghazi El-Fatih—

Cahaya mentari perlahan-lahan menerobos masuk lewat jendela besar kamar penginapan, menambahkan pantulan emas di permukaan danau yang indah dilihat dari sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cahaya mentari perlahan-lahan menerobos masuk lewat jendela besar kamar penginapan, menambahkan pantulan emas di permukaan danau yang indah dilihat dari sana.

Ghazi menggeliat pelan, terganggu oleh cahaya silau itu, sebelum akhirnya membuka matanya yang semula sipit menjadi lebar. Ia meregangkan tubuhnya dengan lembut, sambil mencari sosok istrinya.

"Sayang..." panggilnya dengan lembut.

Zana  tampak bergegas dari kamar mandi dengan wajah masih segar, segera menghampiri suaminya sambil berusaha merapikan hijabnya. "Eh iya Mas, kenapa? Mas butuh sesuatu? Atau ada yang sakit, pusing?" tanyanya penuh kekhawatiran, matanya mencari tahu ada apa.

Ghazi tersenyum lebar, terpancar kebahagiaan mendapati kepedulian dari istrinya, terlebih ia sedang sakit. Jika biasanya hanya bisa merawat diri sendiri, sekarang sudah ada yang merawat. "Mas nggak papa, cuma pusing sedikit dan lapar, Sayang. Ada makanan, nggak?" tanya Ghazi sambil mengelus perutnya yang mulai berbunyi.

"Yah, nggak ada makanan, Mas," jawab Zana sambil melirik jam dinding. "Kalau nunggu makanan dari sini masih nanti jam delapan, tapi ini baru jam enam. Aku beliin ya, di depan kayaknya ada warung. Mas mau apa?"

"Sak kersane sampeyan mawon, Sayang," jawab Ghazi lirih, sambil matanya terpejam karena tiba-tiba pusing di kepalanya menggelayut.

Kening Zana berkerut, dia tidak sepenuhnya mengerti bahasa Jawa yang dipakai Ghazi, apalagi saat Ghazi mengucapkannya lirih. "Aku nggak ngerti Mas Ghazi bilang apa, tapi tadi aku dengar rawon. Mas Ghazi pasti minta dibeliin rawon."

"Ya udah Mas, aku beliin makanan dulu ya," ujar Zana hendak pergi. Namun, Ghazi menggenggam tangannya, membuat jantung Zana berdebar. "Kenapa, Mas?"

Ghazi tersenyum lembut, mengangkat tubuhnya sedikit untuk meraih helai rambut Zana yang keluar dari hijabnya. "Rambutmu kelihatan, Sayang."

"Eh, iya." Zana tersenyum malu, segera merapikan hijabnya. "Mas, rambutku yang keluar dari hijab 'kan cuma beberapa helai, kenapa Mas rela bangun, menahan pusing, hanya untuk membetulkan hijabku?" tanyanya kemudian.

"Karena tentangmu. saya tidak mau berbagi dengan laki-laki lain, meskipun hanya sehelai rambutmu, Sayang. Saya tidak rela," jawabnya lembut. "Dan kamu harus tahu, saya bertanggung jawab atas kamu, dari ujung kepala sampai ujung kaki, termasuk sehelai rambutmu yang terlihat itu."

Suara Ghazi yang mengalun, meluluhkan setiap sudut hati Zana. Zana merasakan detak jantungnya yang memburu. Jawaban Ghazi itu seperti angin ribut yang datang tiba-tiba, menghancurkan perisai yang dibangunnya.

Lentera HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang