14. Kenangan Pahit (A)

206 28 5
                                    

Jangan lupa baca Al-Kahfi🤍

Tujuh tahun lalu....

Saskia tersenyum menatap gedung di hadapannya. Dadanya penuh dengan rasa bahagia. Bangunan yang berdiri megah di depannya adalah sekolah barunya. Ya, menempuh pendidikan di ibu kota adalah mimpinya sejak kecil yang kini menjadi nyata.

Masih terekam jelas di ingatannya ketika Pak de dan Bu denya berkunjung ke rumahnya satu bulan lalu.

"Saskia sekarang kelas berapa?"

"Baru kelas sepuluh, Pak De."

"Nggak pengen ngerasain sekolah di Jakarta?"

Saskia yang mendapat pertanyaan itu tentu saja antusias. Ia melirik ibu dan ayahnya yang duduk di sofa samping kanannya.

"Lah itu memang cita-cita Saskia dari kecil, Mas. Dia kan dulu sering nonton sinetron. Kalau sinetron anak sekolahan itu tayang, udah nggak bisa diganggu. Udah langsung berkhayal jadi anak Jakarta dia," cerita ibunya.

"Ibukk...," gerutu Saskia malu namun membuat orang di ruang keluarga itu tertawa.

"Loh bagus dong kalau gitu. Lagi pula sekolah di sana bagus-bagus. Peluang bisa diterima di kampus-kampus ternama juga lebih besar, Nduk."

Saskia kembali melirik orang tuanya. Jujur saja, perbincangan ini membuat keinginannya yang ia kira hanya akan menjadi angan saja kembali menggebu-gebu. Namun tentu saja ini tidak akan terealisasi jika ayah dan ibunya tidak memberi lampu hijau untuknya.

"Izinkan Saskia ikut kami kembali ke Jakarta, Syid. Demi masa depannya yang lebih baik di sana. Apalagi mbak yu mu sering kesepian di rumah," ujar Pak denya yang seolah mewakili ungkapan hatinya.

****

Dan di sinilah ia sekarang. SMA Bina Cendika, salah satu sekolah favorit yang banyak menoreh prestasi baik di bidang akademik maupun non akademik. Bukan perkara mudah untuk bisa bersekolah di sana. Selain uang pangkal yang tidak murah, untuk tes masuknya pun terbilang susah. Namun, ia merasa semua dimudahkan karena pemilik yayasan adalah sahabat karib pak denya.

Ya.. inilah yang dinamakan 'the power of orang dalam'. Ia tidak peduli bagaimana orang lain akan berkomentar. Yang jelas ia merasa bahagia bisa ada di sana, vibes sekolah yang membuatnya seperti masuk ke dalam sinetron yang sering ia tonton. Konyol memang, tapi biarlah, toh ia hanya seorang remaja yang masih mencari jati diri.

Walaupun begitu, ia juga merasa sedih karena harus meninggalkan keluarga dan sekolah lamanya. Ia ingin menangis saat mengingat bagaimana keluarganya terutama ibunya yang menangisi keberangkatannya. Juga teman-teman dan guru-guru yang begitu sedih ketika ia berpamitan.

Ia menarik napas panjang. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan karena ini adalah hari pertamanya di sekolah baru. Ia harus mengumpulkan energi positif agar ia bisa menjalani hari-harinya dengan baik disini.

****

Minggu pertama di sekolah baru berjalan baik. Saskia diperkenalkan dan memperkenalkan diri sebagai murid baru di kelas X-7. Ia juga mendapat teman yang dirasa akan cocok dengannya. Vania, gadis manis yang sedikit cuek dengan keadaan. Bukan sama sekali tidak peduli, hanya saja gadis itu membatasi hal-hal yang tidak penting baginya. Mungkin hal itu juga yang membuat Vania tidak memiliki banyak teman. Hanya Fiko, sahabat Vania sejak SD yang segera juga menjadi akrab dengan Saskia.

Hari itu Saskia izin pulang terlambat pada Bu Denya. Ia pergi ke rumah Vania yang berada tidak jauh dari sekolah untuk mengerjakan tugas bersama Fiko dan Hana, teman lain di kelompoknya. Setelah kurang lebih dua jam, mereka akhirnya pamit pulang. Fiko yang rumahnya hanya berbeda gang dengan Vania, menawarkan untuk mengantar pulang namun Saskia tolak. Selain karena ia memang tidak akan berboncengan dengan laki-laki selain mahramnya, ia juga tidak mau mengambil resiko diseret pulang oleh ayahnya jika Pak Denya melapor ia diantar pulang oleh laki-laki.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Daur Ulang HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang