#Chapter 06 - Burger

282 58 10
                                    

Di divisi brand development, suasananya terasa sibuk dan penuh energi. Milan, sebagai Manajer brand development, berdiri di sudut ruangan, memimpin rapat mingguan tim yang sedang membahas strategi pengembangan produk baru dengan nada yang tegas dan penuh wibawa.

Selama beberapa hari berikutnya, Lavina menjalani rutinitasnya dengan tekun, mencoba untuk membangun hubungan baik dengan rekan-rekannya dan memahami bagaimana segala sesuatu berjalan.

Namun, seiring waktu, Lavina mulai memperhatikan sesuatu yang aneh. Meskipun Milan tampak seperti orang yang tidak peduli, dia sering kali melakukan hal-hal kecil yang menunjukkan kepedulian.

Terkadang, dia memberikan tips dan saran yang berguna tentang pekerjaan mereka, dan pada kesempatan lain, dia tampak memperhatikan jika seseorang tampak kelelahan atau stres. Meskipun Milan jarang menunjukkan perasaannya secara langsung, Lavina dapat merasakan bahwa ada sisi lain dari dirinya yang lebih perhatian dan penuh empati daripada yang diperlihatkan.

Suatu sore, Lavina duduk di meja kerjanya, merapikan dokumen-dokumen yang menumpuk. Dia baru saja menyadari bahwa salah satu presentasi penting yang harus dia kerjakan tampaknya tidak berjalan sesuai rencana.

Lavina merasa frustasi dan memutuskan untuk mencari Milan dan meminta bantuannya. Dia menemukan Milan di ruang kerjanya, terlihat sibuk dengan laporan-laporan yang tersebar di meja.

"Bu Milan, apakah Anda punya waktu sebentar? Saya mengalami sedikit kesulitan dengan presentasi ini dan saya benar-benar membutuhkan bantuan Anda."

Milan mengangkat wajahnya dari dokumen-dokumen dan menatap Lavina. Kali ini, dia tidak hanya memberi senyuman kecil tetapi juga menunjukkan ketulusan dalam tatapannya. "Tentu, mari kita lihat apa yang bisa kita perbaiki."

Lavina merasa lega dan mereka mulai bekerja bersama untuk menyempurnakan presentasinya.

Selama proses tersebut, Lavina merasakan ketulusan dalam setiap saran dan bimbingan yang diberikan Milan. Meskipun dia tetap terlihat serius, Lavina dapat merasakan bahwa Milan benar-benar peduli terhadap hasil kerja timnya dan ingin memastikan bahwa setiap orang sukses dalam tugas mereka.

Saat mereka selesai, Lavina merasa berterima kasih dan terkesan dengan dedikasi Milan. "Terima kasih banyak, bu Milan. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan tanpa bantuan Anda."

Milan hanya mengangguk, dengan sedikit senyuman. "Sama-sama. Kita semua ada di sini untuk saling mendukung. Jika kamu butuh bantuan di lain waktu, jangan ragu untuk bertanya."

Lavina mengangguk dan pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Dia semakin penasaran dengan sisi lain dari Milan yang tidak terlihat oleh banyak orang.

Sementara itu, Milan juga merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Lavina. Dia melihat dedikasi dan ketulusan dalam bekerja dan mulai menghargai kehadirannya di tim mereka.

× × × × × × × × ×

Keesokan harinya, ketika Lavina baru saja sampai di kantor, suasana di kantor terasa berbeda saat dia melihat Stella dan Bastian sedang berdebat dengan sengit di area pantry.

Stella, dengan rambut pendeknya yang rapi dan gaya berpakaian profesional, mengerutkan dahi.

"Gue bilang, kalau lo terus makan burger doang, lama-lama lo kayak babi! Coba deh sekali-sekali makan yang sehat, makan salad gitu!"

"Tapi salad itu kayak... sayur mati! Yang ada gue jadi kambing malah. Biarin aja gue makan burger, yang penting gue happy!" Balas Bastian sambil tetap menikmati sarapan burgernya

Lavina mendekat dengan senyum di wajahnya. "Hai hai, masih pagi lho kalian sudah ribut aja"

Bastian bergeming "Itu tuh si nenek lampir, makanan gue aja dijulidin."

"Gue sebagai teman yang baik tuh memberi saran ogeb, masih muda rawat tubuh dengan asupan makanan yang sehat. Kalau udah tua nanti baru tau rasa lo!" Ucap Stella

"Eh, ini gue beli juga pake duit gue, bukan duit lo. Lagian, kenapa lo peduli banget sih sama makanan gue? Itu namanya campur tangan. Tuhan sang pemilik segalanya aja merestui gue untuk memakan ini, lha kenapa situ yang ribet!" Sahut Bastian

Lavina nyengir melihat interaksi mereka. "Stella, Bastian, kalian itu kayak anjing sama kucing deh. Selalu aja ribut."

"Iya gue yang kucing, dia yang anjing" Ucap Stella

"Lo kucing juga kucing garong!" Balas Bastian

Stella menghela nafas dengan dramatis, "Gue tuh cuma pengen Bastian merubah pola makannya, biar dia sehat! Hampir tiap hari makan junk food terus, tapi dia keras kepala kalau dikasih tahu!"

Bastian melirik Lavina sambil mengangkat bahu. "Dan gue cuma pengen makan apa yang gue mau. Apa salahnya?"

"Terserah capek gue ngomong sama orang ogeb" Ucap Stella

Bastian si cowok narsis pun mulai menyeringai, dan memberikan tatapan menggoda ke Stella

"Wait, wait, wait!! Tadi lo bilang pengen gue sehat, dan lo bahkan mencampuri urusan perut gue. Hmmm... jangan bilang lo perhatian gini karena suka ya sama gue??"

"Haa?!! Teori ketololan apa yang kau ucapkan?!" Stella terkejut dengan tingkat narsisme temannya itu

"Ya gue tau sih, pesona gue emang ga bisa diabaikan. Tapi gimana ya, maaf sebelumnya. Padahal gue udah cukup jaga jarak sama lo, karena emang gue ga mau aja ada hubungan lebih dengan teman satu tim, khawatir awkward ntar kalau putus kan jadi ga profesional." Jelas Bastian percaya diri

Stella yang sudah muak pun langsung mendekat ke arah Bastian, dengan tersenyum manis memegang tangan Bastian yang sedang menggenggam burgernya, lalu "Bastian.. daripada lo menyebar fitnah berkepanjangan.. lebih baik, makan tuh omong kosong lo" Stella langsung memasukkan paksa sisa seluruh burger ke dalam mulut Bastian

"Kuwrangw awjwar bwanget siw anjjr!!" Gerutu Bastian dengan mulut penuh makanan















To be continued . . .

• • • • • • • × × × × × × × × × • • • • • • •
















Chapter kali ini agak pendek ya..

Capek soalnya lihat Stella dan Bastian berantem mulu wkwk

Jangan lupa Vote, Comment, dan Follow!! 🤗

Thanks for reading💗

Awas! Jatuh Cinta  ||  #MilkLoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang