Hujan deras yang mengguyur Seoul malam itu seakan menjadi cerminan hati Bae Sooji yang sedang berduka. Hujan yang seolah tak ada habisnya, deras dan dingin, membasahi setiap sudut jalanan Gangnam yang biasanya penuh dengan cahaya dan keramaian. Malam ini, semuanya terasa kelabu.
Sooji duduk di sudut kamar tidurnya, memeluk lutut, matanya tertuju pada jendela yang berkabut. Di luar sana, lampu-lampu jalan memantulkan cahaya redup yang tertelan oleh hujan. Kepalanya penuh dengan bayangan yang tak mau hilang, kenangan pahit yang berulang kali merasuki pikirannya tanpa henti.
Bayangan Sunjae, sahabat yang begitu dikenalnya sejak kecil, kembali memenuhi benaknya. Senyum Sunjae yang selalu hangat kini tergantikan dengan tatapan penuh luka, detik-detik terakhir sebelum ia memutuskan untuk melompat dari gedung tempat mereka berdiri. Suara tubuhnya yang jatuh dengan keras, darah yang menggenang di mana-mana, dan Sooji yang hanya bisa terdiam terpaku, tak mampu bergerak, tak mampu berteriak. Peristiwa itu terus berulang dalam mimpinya, dalam pikirannya, menghantui setiap waktu.
Sooji merasa dunia seolah runtuh di sekelilingnya sejak malam itu. Kariernya sebagai desainer yang sedang berada di puncak, butik yang selalu dipenuhi pesanan dari para selebritas, semua terasa tak berarti lagi. Ia berhenti bekerja, menutup butiknya, dan mengurung diri di apartemennya yang mewah. Tidak ada lagi desain baru, tidak ada lagi karya yang membuatnya bersemangat. Hanya rasa bersalah dan keputusasaan yang semakin menenggelamkannya dalam gelap.
Setiap kali Sooji menutup mata, yang terlihat hanyalah wajah Sunjae. Suara Sunjae yang berbisik lembut namun penuh kepedihan, "Mengapa kau menolak cintaku, Sooji?" Pertanyaan yang tak terjawab, yang terus menerus menggema dalam kepalanya. Setiap malam, Sooji terbangun dengan keringat dingin, napasnya tersengal, berusaha melepaskan diri dari mimpi buruk yang seolah tak berujung.
Sooji teringat pada malam itu-malam yang merubah segalanya menjadi mimpi buruk. Malam ketika Im Sunjae, sahabat terbaiknya, melangkah ke dalam hidupnya untuk yang terakhir kali. Sunjae adalah teman dekat, teman yang selalu ada di sisinya sejak masa sekolah. Namun, perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan perlahan-lahan tumbuh dalam diri Sunjae, dan pada malam yang menentukan itu, Sunjae mengungkapkan cintanya. Sooji, yang tak pernah menyangka bahwa perasaan Sunjae begitu dalam, dengan lembut menolak cinta tersebut, merasa tak sanggup membalasnya dengan cara yang diharapkan.
"Maafkan aku, Sunjae... Aku tidak bisa," kata Sooji saat itu, mencoba mempertahankan kehangatan persahabatan mereka, tanpa menyadari betapa dalam luka yang akan ditimbulkannya.
Namun, penolakan Sooji menghancurkan Sunjae. Dengan air mata yang mengalir di pipinya, Sunjae tersenyum pahit sebelum akhirnya melakukan tindakan yang tak pernah bisa Sooji lupakan. Di depan mata Sooji, Sunjae mengakhiri hidupnya, menyisakan darah yang menggenang di lantai, dan meninggalkan luka yang tak akan pernah sembuh di hati Sooji. Malam-malam Sooji pun dipenuhi oleh kecemasan.
Dia sering terbangun dengan keringat dingin, napas tersengal, mencoba melepaskan diri dari lingkaran mimpi buruk yang seolah tak berujung. Setiap pagi yang datang tidak memberikan kelegaan. Siang hari hanya terasa seperti lanjutan dari malam yang menyiksa. Apartemen kecilnya di tengah kota Seoul yang dulu penuh dengan kehidupan kini berubah menjadi tempat yang penuh dengan bayangan dan kenangan yang menyesakkan. Butiknya, yang dulu menjadi tempat ia menuangkan kreativitas dan ambisinya, sekarang terasa hampa. Setiap pakaian yang ia rancang hanya menjadi pengingat akan luka di hatinya-luka yang semakin lama semakin dalam.
Kakak laki-lakinya, Bae Hyunsik, dan kakak iparnya, Minjeong, telah berulang kali mencoba membujuk Sooji untuk keluar dari keterpurukannya. Mereka adalah orang-orang yang paling mengerti Sooji, yang paling memahami betapa berat beban yang ia pikul. Mereka datang ke apartemennya hampir setiap hari, menemaninya, berbicara dengan lembut, dan mencoba membawa senyuman kembali ke wajahnya yang muram. Namun, semua usaha mereka terasa sia-sia. Luka di hati Sooji terlalu dalam, terlalu menyakitkan untuk diobati hanya dengan kata-kata atau kehadiran mereka.
Sooji seringkali hanya duduk diam, menatap kosong ke arah luar jendela. Dia mendengarkan, tapi tak pernah benar-benar meresapi. Kata-kata mereka hanya melewati telinganya tanpa meninggalkan jejak. Setiap kali mereka pergi, kesepian kembali menyelimuti apartemennya, dan bayangan Sunjae kembali menghantuinya.
Akhirnya, setelah berminggu-minggu mencoba dengan cara yang lembut, Hyunsik membuat keputusan tegas. Ia tahu bahwa jika dibiarkan, Sooji akan semakin tenggelam dalam kesedihannya, dan dia tidak bisa membiarkan adiknya hancur. Suatu malam, setelah berbicara panjang dengan Minjeong, Hyunsik datang ke apartemen Sooji dengan keputusan yang bulat.
"Jeju," kata Hyunsik dengan suara lembut namun tegas, menatap adiknya yang duduk diam di sofa. "Kau butuh perubahan suasana, Sooji. Tempat ini hanya akan membuatmu semakin tenggelam dalam kesedihan. Ayo ikut kami ke Jeju. Udara di sana segar, tenang. Kami punya restoran kecil di sana. Kau bisa membantu kami, menghabiskan waktu di tempat yang jauh dari semua ini."
Sooji terdiam mendengar kata-kata Hyunsik. Jeju terasa seperti tempat yang jauh, sangat berbeda dari hiruk-pikuk Seoul yang sudah menjadi bagian dari dirinya. Tapi ada sesuatu dalam suara Hyunsik yang membuat Sooji ragu. Mungkin karena dia tahu bahwa kakaknya hanya menginginkan yang terbaik untuknya, atau mungkin karena dia merasa tak ada lagi yang bisa ia lakukan di Seoul, tak ada lagi yang bisa ia kejar.
Minjeong yang duduk di sebelah Hyunsik, menatap Sooji dengan penuh pengertian. "Sooji," katanya lembut, "kami hanya ingin melihatmu bahagia lagi. Kami akan selalu ada di sisimu. Jeju bisa menjadi awal yang baru, tempat di mana kau bisa melepaskan semua ini. Kami ingin kau ikut, tapi kami tidak akan memaksamu."
Ada keheningan yang panjang di ruangan itu. Sooji merasa pikirannya terbagi antara keinginan untuk tetap bertahan di tempat yang ia kenal dan dorongan untuk melarikan diri dari semua yang menyakitkan. Tapi perlahan, bayangan Sunjae yang terus menghantuinya terasa semakin berat, dan keinginan untuk melepaskan diri dari semuanya semakin kuat.
Akhirnya, Sooji mengangguk pelan. Ia tidak tahu apakah keputusan ini akan membawa perubahan, tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ada harapan untuk menemukan kembali bagian dari dirinya yang hilang.
Dengan keputusan itu, Sooji mulai mempersiapkan dirinya untuk meninggalkan Seoul, meninggalkan butiknya, meninggalkan semua kenangan yang menyakitkan. Dalam hatinya, dia berharap bahwa di bawah langit Pulau Jeju, dia bisa menemukan kembali kedamaian yang telah lama hilang. Namun, dia juga tahu bahwa perjalanan menuju penyembuhan tidak akan mudah, dan bayangan Sunjae mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang.
-----------------------------***----------------------------
"Hai semuanya! Ini karya pertamaku, jadi mohon maaf kalau masih banyak kekurangan. Semoga kalian enjoy membacanya ya!"🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes of a Forgotten Melody (END)
RomanceSinopsis Bagaimana seorang desainer ternama yang hidupnya hancur akibat tragedi pribadi bisa menemukan kembali kebahagiaan dan cinta? Bae Sooji, seorang desainer sukses dengan kehidupan glamor di Gangnam, menghadapi trauma mendalam setelah sahabatny...