Bab 3 (Jejak Bayangan)

44 9 0
                                    

Hari-hari di Jeju berlalu dalam rutinitas yang damai namun membosankan. Setiap pagi, Sooji bangun saat fajar, membantu Hyunsik dan Minjeong menyiapkan restoran untuk menyambut pengunjung. Pekerjaan di restoran, meskipun jauh dari kemewahan dunia fesyen yang dulu ia kenal, memberikan Sooji pengalihan dari pikiran-pikirannya yang kelam. Di sela-sela kesibukan melayani pelanggan, Sooji menemukan sedikit ketenangan dalam hiruk-pikuk kegiatan restoran yang sederhana.

Namun, ketika malam tiba, kesunyian kembali menghantui. Suara ombak yang biasanya menenangkan kini terasa seperti latar belakang yang mengingatkannya pada keheningan saat Sunjae menghembuskan napas terakhir di hadapannya. Setiap kali Sooji memejamkan mata, bayangan Sunjae muncul dalam mimpinya-wajahnya, suaranya, dan terutama darah yang mengalir dari tubuhnya, mengotori lantai yang dulu bersih dan elegan di butiknya.

Pada suatu malam yang dingin, Sooji memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pantai setelah restoran tutup. Langit malam Jeju dipenuhi bintang-bintang, dan suara ombak mengiringi setiap langkahnya di atas pasir yang lembut. Di kejauhan, dia bisa melihat kapal-kapal nelayan dengan lampu-lampu kecil yang berkelip seperti bintang di lautan. Pemandangan itu seharusnya menenangkan, tapi dalam hatinya, Sooji merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia lepaskan.

Sooji berhenti sejenak, memandang ke laut yang gelap, mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya. "Mengapa, Sunjae?" bisiknya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak. "Mengapa kau harus pergi seperti itu?"

Tak ada jawaban, hanya kesunyian malam yang menyelimuti dirinya. Air mata mengalir tanpa ia sadari, membasahi pipinya yang dingin. Di saat-saat seperti ini, Sooji merasa sangat sendirian, meskipun ia dikelilingi oleh orang-orang yang peduli padanya. Rasa bersalah itu terlalu dalam, menghancurkan setiap upaya untuk menemukan kedamaian.

Di tengah keterpurukannya, Sooji mendengar suara langkah mendekat. Ia berbalik, menemukan Hyunsik berdiri tak jauh darinya, menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran. Hyunsik tahu, lebih dari siapa pun, betapa rapuhnya adiknya sejak tragedi itu terjadi. Tanpa banyak bicara, Hyunsik mendekati Sooji dan meletakkan tangannya di bahunya, memberikan dukungan yang diam-diam namun penuh makna.

"Sooji, kau tidak perlu menanggung semua ini sendirian," ucap Hyunsik dengan suara lembut namun tegas. "Aku tahu ini sulit, tapi kami ada di sini untukmu. Aku dan Minjeong akan selalu berada di sisimu, apa pun yang terjadi."

Sooji mengangguk pelan, tapi tak bisa menyembunyikan kesedihannya. "Aku hanya... merasa sangat bersalah, Oppa. Jika saja aku tidak menolak Sunjae hari itu, mungkin dia masih hidup."

"Kematian Sunjae bukan salahmu, Sooji. Kau tidak bisa mengendalikan perasaan orang lain. Sunjae memilih jalannya sendiri, dan itu bukan tanggung jawabmu," kata Hyunsik, mencoba membuat Sooji mengerti. "Yang perlu kau lakukan sekarang adalah belajar memaafkan dirimu sendiri."

Sooji tahu bahwa Hyunsik benar, tapi perasaan bersalah itu begitu mendarah daging hingga sulit untuk dilepaskan. Mereka berdiri di sana selama beberapa waktu, hanya mendengarkan suara ombak dan merasakan angin malam yang sejuk. Dalam hati, Sooji menyadari bahwa proses penyembuhan ini tidak akan mudah atau cepat. Namun, dengan kehadiran Hyunsik dan Minjeong, setidaknya dia tidak perlu melewatinya sendirian.

Hari-hari berikutnya, Sooji berusaha membuka diri sedikit demi sedikit. Ia mulai berbicara lebih banyak dengan Minjeong di dapur, berbagi cerita tentang masa lalunya sebagai desainer, dan tentang momen-momen indah yang pernah ia alami di Seoul. Meskipun pembicaraan ini sering kali berakhir dengan Sooji yang tiba-tiba terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri, Minjeong selalu tahu kapan harus berhenti dan memberi Sooji ruang untuk bernapas.

Di waktu-waktu luangnya, Sooji mulai menulis. Ia menumpahkan semua perasaannya di atas kertas-rasa bersalah, kesedihan, dan kenangan-kenangan tentang Sunjae. Menulis menjadi cara baginya untuk mengeluarkan emosi yang selama ini terpendam. Dalam tulisannya, Sooji mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi, mencari penjelasan yang bisa memberinya kedamaian.

Sooji juga mulai mengeksplorasi keindahan Pulau Jeju lebih jauh. Dia menemukan bahwa pulau ini memiliki banyak tempat yang mempesona-dari tebing-tebing tinggi yang menantang lautan, ladang-ladang bunga liar yang berwarna-warni, hingga hutan-hutan yang rimbun dengan suara-suara alam yang menenangkan. Setiap tempat yang ia kunjungi memberikan Sooji sedikit ketenangan, meskipun perasaan kehilangan itu masih menghantui setiap langkahnya.

Namun, tak peduli seberapa jauh dia mencoba melarikan diri, Sooji tahu bahwa bayangan Sunjae selalu ada di sana, menunggu saat yang tepat untuk kembali menghantui pikirannya. Dan meskipun ia telah melakukan segala cara untuk melupakan, setiap malam, ketika dunia terlelap, bayangan itu kembali hadir, membuatnya terjaga dalam ketakutan dan kesedihan yang tak pernah sepenuhnya hilang.

Sooji menyadari bahwa perjalanan menuju penyembuhan ini akan panjang dan penuh dengan liku-liku. Tapi dia juga tahu bahwa selama dia masih memiliki orang-orang yang peduli padanya, seperti Hyunsik dan Minjeong, dia memiliki kekuatan untuk terus melangkah, meskipun langkah-langkah itu terasa berat dan penuh keraguan.

Dalam benaknya, Sooji berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah. Dia akan berjuang, sedikit demi sedikit, hingga suatu hari nanti, mungkin, dia bisa menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.

Echoes of a Forgotten Melody (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang