too hot

238 14 1
                                    

ASA POV

Gue mulai mendiamkan dan menjauhi Raisa saat tau dia mantannya Rami. Gue dan teman-teman tongkrongan gue memiliki aturan yang tidak tertulis bahwa kami tidak boleh mencicipi makanan yang sama. Ternyata mendiamkan Raisa bukan solusi, harusnya gue memblokir semua akses komunikasi Dengannya. Dia berani mendatangi tempat kerja gue saat semua pesan dan panggilannya gue abaikan.

"Oh hai. Tumben kesini nggak ngabarin gue dulu ?" Tanya gue dengan ramah menghampirinya untuk memintanya duduk di kursi ruang tamu.

"Gimana mau kasih kabar? Loe aja nggak angkat telepon gue Sha"

"Oh ya? Sorry banget, seminggu ini kerjaan gue lagi banyak-banyaknya. Cuma sempat pegang handphone kantor. Loe sengaja Dateng kesini? Mau minum atau makan sesuatu? Biar gue minta pesankan ke sekretaris gue"

"Nggak. Gue lagi ada kerjaan didekat sini, jadi gue mampir aja, nggak apa-apa kan?"

"Sebenernya gue mau ngomong to the point dan meluruskan sesuatu aja sama loe" gue menunggu Raisa untuk meneruskan kalimatnya. " Actually some of my friends say you are a good man who's not the same as the image you showed".

"So, mereka bilang apa tentang gue emangnya?"

" Mereka kebanyakan kenal loe di klub, tapi pas Hangover loe banyak menolong mereka. Loe yang sangat ramah dan sangat menghormati perempuan. Loe baik hati, green plag, humble,. Saking banyaknya gue nggak bisa ingat semua apa aja yang teman-teman gue ceritakan".

"Jadi letak yang mau diluruskan yang mana? Gue yakin bukan cuma yang baik-baik aja yang loe denger".

Raisa tersenyum masam, seolah tebakan gur benar.

"Ya ,tentu. Pasha yang tukang ghosting. Pasha yang susah diajak komitmen, Pasha yang cuma butuh teman kencan doang karena LDR sama tunangannya. Sejujurnya setelah denger semua rumor tentang loe dari teman-teman gue. Gue udah pengen kenal sama loe. Hanya untuk membuktikan apakah omongan mereka bener atau nggak, and God bless us.. karena kita nggak sengaja ketemu di kafe. Dari cara loe bukain pintu buat gue aja, itu udh menjadi penilaian pertama"

"Ayolah.. yang kayak gitu cuma basic manners. Sudah seharusnya semua orang melakukannya"

"Tapi, setelah beberapa lama ternyata ghosting juga pada akhirnya. Gue kesini ingin membuktikan, loe tipe yang mana bad boy kah, atau anak baik-baik yabg cuma keren-kerenan doank. Soalnya cowok kalo ga bajingan yang belok" jawabnya

"Cara membuktikannya?"

"Gampang" dia mengeluarkan ponselnya, scrolling sebentar, sebelum akhirnya menayangkan video dengan volume yang dibesarkan agar gue bisa mendengar suaranya. Kalian bisa menebak jenis video apa yang dia putarkan?  Yap, video yang akan membuat semua pria tertarik menontonnya.

"Bisa matiin ga? Ini kantor"

"Kenapa? Engga menarik ya? Diliat donk, cuma gini doank. Loe beneran ga belok kan Sha?" Dia semakin menunjukkan layar ponselnya ke depan gue. Gue sudah setengah panik karena khawatir suaranya Terdengar sampai ke luar. Terlanjur kesal gue ambil handphonenya dan mematikan video tersebut.

"Loe tau tempat donk" gue mengatakan itu dengan suara kesal. Emosi gue sudah terlanjur terpancing. "Kenapa? Panas, karena selama ini nggak gue respon ? Loe kesini mau jawaban kan? Kenapa gue gak FWB-an atau one night stand sama teman-teman loe?"

"Karena gue anak Haram, Puas?"  Raisa terdiam mendengar itu.

"Gue nggak melakukannya karena gue nggak mau makin banyak anak yang lahirnya senasib sama gue, dan kalo lor berharap mendekati gue karena gue anak semata wayang di keluarga Brawijaya, please don't expect too much. Loe gabakalan dapet apapun kecuali aib"

Dia makin diam. Gue mengatur nafas menenangkan diri.

"Sha, sorry gue nggak maksud untu.."

Gue mengembalikan ponselnya " sekarang udah bisa menilai kan ,gue kategori yang mana ? Bisa tinggalkan tempat ini? Ini masih jam kerja. Loe tau pintu keluarnya dimana?"

Dia bangkit dan meninggalkan ruangan. Gue yakin kepergiannya kali ini tidak akan membuatnya balik lagi.

Hal yang membuat suasana memanas sebenarnya bukan hanya obrolan gue dengan Raisa, gue sudah terbiasa dengan topik anak haram dari kecil, tapi yang bikin panas adalah videonya. Gue masih sangat sangat normal sebagai pria. Setelah Raisa pergi, gue keluar ruangan dengan kondisi pipi dan telinga yang agak memerah. Entah Xaviera mendengar atau tidak, tapi dia sempat tidak sengaja menatap gue dengan tatapan yang sulit didefinisikan.

"Ada telepon untuk anda" Xaviera mengatakan itu dengan ragu

" Dari siapa?"

"Saya sudah menanyakannya, namun beliau nggak mengatakan dan meminta langsung dihubungkan saja. Apa anda berkenan menjawabnya?"

Hari yang sudah buruk karena kedatangan Raisa , makin buruk ketika gue mengenali suara si penelepon "ini saya.." katanya pertama. Membuat gue menghela nafas panjang karena mengalami lonjakan emosi yang begitu cepat.

"Ada yang bisa saya bantu?" Xaviera pergi dengan alasan ada kepentingan di ruang arsip.

"Kemaren om sama oma mu berkunjung dari Surabaya mau ketemu kamu katanya. Kapan kamu punya waktu luang Sha?" Mungkin kamu bisa menemui dan menyapa mereka sebelum mereka pulang?"

"Saya rasa itu bukan bagian job-desc saya"

"Papa minta kamu menemuinya sebagai cucu, bukan sebagai plan manager" gue tertawa mencibir mendengar kalimat tersebut bisa keluar dari mulut seorang Andrew.

"Cucu? Kalaupun dia memilikinya, dia sudah kehilangannya sejak empati belass tahun lalu"

"Usia kamu udah terlalu dewasa untuk bersikap kekanak-kanakan kayak sekarang, Raffa, kamu boleh tidak menganggap ssya sebagai ayah, tapi nenek kamu tetap orang yang melahirkan dan membesarkan ibu kamu".

"Dan memanggil cucunya dengan sebutan anak haram di pertemuan pertama? Apa sosok seperti itu panatas dipanggil nenek? Ini masih jam kerja, nggak baik membahas hal lain, saya tutup teleponnya" Gue memutuskan panggilan itu secara sepihak.

Penolakan yang gue terima waktu pertemuan pertama gue dan nenek dsri pihak ibu, bekas lukanya tak pernah kering sampai sekarang. Pikiran gue kembali menarik semua hal tentang ibu.

Xaviera sudah kembali dsri ruang arsip, gue menyadari dia sama sekali tidak terlibat dengan apa yang gue alami, tapi sorot mata teduhnya tak menciptakan ketenangan apapun. Melihatnya sering kali membuat gue merasa membencinya, juga merindukannya secara bersamaan.

"Ini dokumen yang anda minta dari divisi.."

"Bisa kamu bekerja setengah hari untuk hari ini? Pekerjaan kamu akan saya handle sendiri dan kamu bisa pulang lebih awal"

"Pulang? Pekerjaan saya banyak yang perlu diselesaikan"

" Pulang sekarang, saya bilang saya bisa handle pekerjaan kamu"

"Kalau begitu saya hanya akan meng-input data timeline"

" Saya nggak mau melihat kamu dikantor, apa perlu saya katakan sejelas itu? Kalau pekerjaan kamu bisa kamu bawa pulang silakan bawa semuanya!" Gue mengatakan itu dengan agak keras, Xaviera segera membereskan barang-barangnya dsn berpamitan. Sepertinya dia akan mengerti kalau gue emang lagi butuh waktu untuk sendiri.

To be continued

The Improptu Secretary [RORASA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang