[03] hutang budi dari kakak

289 50 3
                                    

Semua keluarga Sherbian diwajibkan memasuki pondok pesantren setelah lulus sekolah dasar. Dari sang kakak tertua sampai si bungsu pun tidak terkecuali.

Hanya Bian saja yang bertahan hanya sampai satu bulan di pondok pesantren. Itupun saat di jenjang memasuki sekolah menengah atas. Berbeda dari saudaranya yang memang sedari masuk menengah pertama.

Dengan penuh keterpaksaan Bian meminta pada ayahnya agar di pulangkan. Sedikit mengancam jika tidak di kabulkan akan mogok untuk tidak melanjutkan sekolah lagi.

Sang ayah sampai bingung harus menghadapi anaknya yang satu itu seperti apa. Dia tidak dapat berbuat banyak untuk keinginan Bian. Terlebih keluar dari pondok pesantren yang sudah di tempuh para kakak-kakaknya.

"Tidak bisa ,Bu. Pesanan jahit kita sedang menumpuk, kalau Bian saat ini menolak lagi untuk masuk pondok, siapa yang mau mengurus anak nakal itu?"

Sang ibu termenung sejenak, memikirkan ucapan suaminya. Mereka memiliki usaha menjahit yang sudah di rintis dari sebelum memiliki anak. Dan sekarang berhasil untuk membiayai anak-anak mereka sampai kuliah dan memasuki pondok pesantren.

Tentu biaya yang di keluarkan berlipat sebab mereka mempunyai enam orang anak sekaligus. Keduanya pontang panting untuk membiayai mereka semua. Dan sukurnya, usaha yang di rintis mencukupi kebutuhan.

Masalahnya, sekarang ada pada anak kelima mereka. Sherbian Athalla yang lahir saat usaha mereka sedang terlibat krisis. Dan saat ini membutuhkan banyak kerja keras lagi untuk membangkitkan seperti semula.

Hal itulah yang menyebabkan kedua orang tua Bian uring-uringan, karena anak mereka memaksa untuk keluar dari pondok.

Yang artinya tidak ada yang mengawasi Bian. Mereka disibukkan dengan pesanan, ketiga kakak yang lain pun sibuk dengan bangku kuliah yang sedang di ampu.

"Apa Safik kita pulangkan juga ya, Yah?"

Usulan dari ibu membuat sang suami terkejut, namun sempat di pikirkan dalam-dalam. Memang itu lah cara satu-satunya yang ada di pikiran keduanya untuk saat ini.

"Tapi kan Safik sudah lama di pondok. Sayang kalau harus pulang di pertengahan seperti ini,"

"Terus Ayah mau bagaimana lagi. Bian itu tidak bisa di tinggal di rumah sendiri. Apalagi di sekolah biasa yang tidak sama pondok. Ibu takut dia salah pergaulan,"

Pada akhirnya, keduanya memutuskan untuk memulangkan Bian dengan kakak terakhirnya sekaligus. Namanya Safik Ardhiyasa, kakak keempat dari Bian. Terpaut tiga tahun dengan adiknya.

"Tidak apa-apa kan, Fik. Kamu harus menyelesaikan ngajimu sampai sini?"

"Hm, lagi pula nanti Safik bisa ngaji sama pak ustadz di masjid komplek kan, Yah,"

Pemikiran dari Safik sangat berbeda dengan adiknya. Mereka bahkan tidak terpaut jauh usianya, tetapi jalan pikiran keduanya berbeda. Kedewasaan dari Safik yang membuat orang tua mereka bernapas lega.

Namun, dari sisi Bian merupakan sebuah ketidak beruntungan. Sebab hal ini akan menjadi sesuatu hutang budi yang terus di ungkit. Jikalau dirinya tiba-tiba durhaka pada kakaknya itu.

Bian mengusap rambutnya kasar, perasaannya kini campur aduk. Selepas memukul Safik beberapa saat lalu, ada perasaan bersalah dalam relungnya. Ingin meminta maaf, namun wajah kakaknya itu terlihat muak saat berhadapan dengannya.

Hingga menjelang dua puluh empat jam, Bian dan Safik tidak juga bertegur sapa.

Hal itu disadari oleh Sadewa. Salah satu kakak kembar Bian yang paling peka terhadap suasana hubungan kakak beradik ini. Dia melihat seberapa canggungnya jarak antara Safik dan Bian.

210 Hari Untuk Bian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang