[05] dia kurang diperhatikan

309 48 2
                                    

Malam itu Bian mengendap-endap masuk ke dalam kamarnya melalui jendela. Jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari, dan dirinya baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah seperti maling.

Mana ada nyali untuk melewati pintu utama, saat merasa dirinya sudah pulang terlarut malam. Terlebih keluarganya pasti akan memarahinya habis-habisan. Bian sudah lelah hanya untuk meladeni mereka.

Maka dengan kesadaran penuh, Bian yang sudah sering masuk ke dalam rumah melewati jendela berhasil dengan tanpa menimbulkan suara. Lampu kamarnya padam, sengaja untuk mengecoh keluarga agar mengira dia sudah tidur.

"Ah, akhirnya sampai dengan selamat,"

"Bian?"

"ASTAGA!"

Karena suara seseorang yang mengejutkannya, Bian melempar helmnya ke arah suara itu berasal. Suara helm yang beradu dengan sesuatu membuatnya tersadar, lemparannya mengenai seseorang.

Lampu kamarnya dia nyalakan guna melihat dari mana suara yang memanggilnya itu berasal. Setelah semua ruangan terang dengan cahaya lampu, baru bisa Bian lihat kalau terdapat Sadewa di atas ranjangnya.

Hidung kakaknya itu berdarah sebab di lempar helm oleh sang adik. Hal itu membuat Bian terkejut, pasalnya lemparannya memang terasa lumayan keras tadi.

"Kak Sadewa kenapa ada di sini?" tanya Bian penasaran, menatap tajam kakaknya itu.

Sadewa meringis sambil menyeka hidungnya yang masih mengeluarkan darah. "Menunggu kamu pulang,"

Bian terkejut mendengar itu, kalau kakaknya sengaja menunggunya pulang, itu berarti keluarganya yang lain sudah tahu bahwa dirinya belum pulang. Dalam hati Bian menyumpah serapah pada kakaknya.

"Kenapa kamu pulang malam sekali?" Sadewa berjalan mendekati adiknya. Menatap penuh khawatir sang adik yang tak memiliki raut bersalah itu.

Bian menarik senyum asimetris, tidak menghiraukan pertanyaan kakaknya. Dia lebih memilih berjalan menjauh untuk membersihkan diri. Meninggalkan Sadewa dengan pertanyaan yang tidak dijawab.

Sadewa hanya menghela napas dengan tingkah laku adiknya. Sudah biasa dirinya di perlakukan seperti itu, Bian memang tidak pernah sopan sebagai adik padanya.

Namun Sadewa tidak membesarkan masalah tersebut. Karena bagaimana pun Bian adakah adiknya, yang harus di maklumi semua tingkah lakunya. Walau itu merepotkannya sekali pun.

"Keluarlah Kak! Aku mau istirahat!" pinta yang lebih muda.

Sang kakak mau tak mau menurut saja, dan pergi dengan perlahan dari kamar adiknya. Meninggalkan Bian yang langsung berbaring di ranjangnya. Tanpa membersihkan diri seperti ucapannya beberapa saat lalu.

Namun, tiba-tiba pintunya di buka kasar dari luar. Serta hentakan suara kaki yang mendekat padanya. Bian terperanjat saat sebuah tangan menarik bajunya untuk berdiri.

Itu ayahnya.

"Sudah berani pulang malam kamu?" sang ayah memandang tajam kedua iris anaknya. Cengkraman tangan pada kerah baju Bian menguat seakan menyalurkan emosinya.

Bian menatap tak takut ayahnya, dia membalas dengan kalimat menantang, "memang ada masalah?"

Candra, ayah dari Bian seakan kehabisan kata-kata mendengar jawaban dari anaknya itu. Tatapannya kian tajam dengan kesabaran yang beliau tahan agar tidak kelepasan memukul sang anak.

"Dosa apa Ayah punya anak tidak bisa di atur seperti mu?!"

Bian tersenyum lebar penuh tatapan getir, "Di sini Bian lah yang penuh dosa! Ayah hanya manusia yang tidak mau memiliki dosa, walau itu dari anaknya sekalipun,"

"Bicara apa kamu!?"

Ucapan Bian semakin lama, membuat Candra kehilangan kesabaran. Kepalan tangannya menguat, mencoba bertahan untuk tidak mencetak tanda kekerasan pada anaknya.

"Ayah kenapa susah-susah memperhatikan Bian? Sibukkan saja hari-hari kalian dengan pesanan jahit itu! Tidak usah menghiraukan anak bernama Sherbian Athalla yang tidak bisa di atur ini!

Dari dulu kalian memang sudah angkat tangan bukan, untuk mengurus ku? Jadi bersikap lah seakan tidak memiliki anak nakal ini, Ayah! Anak-anak Ayah itu penurut semua, kecuali Bian!

Tidak ada perhatian dari kalian untuk anak nakal ini bukan? Jadi tidak usah menganggap Bian ada, Bian itu sampah. Dan sampah bukan bagian dari keluarga kalian!"

"SHERBIAN!?"

Seruan dari sang ibu menggema di dalam kamar itu. Alya, ibu dari Bian masuk ke dalam kamar dan menatap anaknya dengan penuh luka. Di susul Sadewa dan yang lain, sepertinya keributan pagi buta itu membangunkan mereka semua.

"Jangan berucap seperti itu, dia ayahmu. Kami tidak mengajarkan ucapan menyakitkan itu padamu bukan?" lirih Alya dengan suara tercekat. Terkejut dengan kalimat panjang dari anaknya, seakan melukai batinnya yang gagal mendidik anaknya.

Hamdan menatap tajam adiknya, mengeluarkan aura menyeramkan yang membuat sang adik pada akhirnya menunjukkan rasa ketakutan. Sang tertua mendekat, melepas cengkraman tangan ayahnya yang masih berada di kerah adiknya itu.

"Minta maaf atas ucapan mu, Sherbian Athalla!" ujar Hamdan penuh penekanan. Membuat Bian bergetar takut, sebab hanya dengan Hamdan lah ketakutan seorang Bian akan muncul.

"Minta maaf pada Ayah dan Ibu atas semua ucapan yang kamu katakan barusan!?" seru Hamdan kembali, mencengkram kedua bahu adiknya dengan keras.

Pandangan mata Bian bergetar, menatap sang kakak. Rasa takutnya seakan menusuk dalam mendengar bentakan kakaknya. Jarang di bentak dengan keras oleh Hamdan, menjadikan Bian tidak terbiasa.

Bian tidak sengaja bertemu pandang dengan Sadewa. Di tatapnya penuh kebencian sang kakak, karena menurutnya ini semua gara-gara kakak ketiganya itu. Sebabnya lah perbuatan Bian yang pulang larut ini menjadi ketahuan.

"Sherbian!?"

"AKU HARAP TIDAK TERLAHIR DI ANTARA KALIAN!" teriak Bian penuh amarah. Matanya merah dengan linang air mata yang siap tumpah.

Dengan keberanian yang penuh, Bian sadar mengucapkan hal yang dapat memicu keributan tersebut. Namun tidak dia hiraukan akan jadi seperti apa nantinya. Bian hanya ingin meluapkan semua sakit hati dalam dirinya saat ini. Di hadapan semua keluarganya.

"Anak sialan!"

Nakula langsung maju dan merebut Bian dari cengkraman kakak sulungnya. Kemudian memberikan bogem mentah pada sang adik. Keributan malam itu tidak bisa di hentikan, sang ayah dan Hamdan segera menarik Nakula agar tidak melanjutkan aksi anarkisnya lagi.

Sementara Safik berlari ke hadapan Bian guna melindungi sang adik dari pukulan kakaknya yang muda emosi tersebut. Dan langsung di sambut tangan gemetar Bian memegang lengan Safik sebagai tameng terakhirnya.

Keributan pagi buta itu membuat suasana kamar Bian memanas. Terlebih Nakula yang sudah hilang kesabaran seakan tuli saat sang ayah menyuruhnya untuk berhenti.

Hingga saat Sadewa jatuh pingsan tiba-tiba, menghentikan keributan mereka seketika. Semua memandang terkejut Sadewa yang tergeletak di lantai dengan darah yang mengalir dari hidungnya.

*****

Hallo semua, terimakasih sudah menikmati cerita ini! Dan dukungan membuat penulis mageran ini semangat update, eheehe.

Vote dan komentar dukungan kalian terbuka lebar di kolom komentar.

Bye

210 Hari Untuk Bian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang