[15] kasih sayang dari ibu

219 49 2
                                    

Masih segar di ingatan Alya kala Bian lahir malam itu. Ketika dirinya sendiri di rumah sementara sang suami berada di tempat jahit mereka yang baru saja di buka bersama anak-anaknya.

Perutnya mulas bukan main, sampai air deras yang mengalir turun ke bawa dari kakinya menandakan dirinya siap melahirkan. Alya bingung harus bagaimana, meminta tolong kepada siapa karena dirinya kini sendiri di rumah.

Telfonnya terletak jauh dari jangkauan, sementara dia sudah tidak kuat untuk hanya berjalan. Berakhir dengan tubuhnya yang jatuh di atas lantai dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Entah bagaimana nasibnya nanti, yang dia harapkan agar anak kelimanya ini dapat lahir dengan selamat dan sehat tanpa kurang apapun.

Alya tidak tau apa yang terjadi selanjutnya, namun setelah itu dirinya tersadar sudah di rumah sakit. Candra memberi tahu bahwa dokter menyarankan istrinya untuk operasi sesar. Sebab tenaga Alya yang sudah banyak terkuras.

Alya bingung harus berpendapat apa, dirinya takut jika harus melakukan operasi. Pastinya biaya yang di keluarkan akan lebih besar dari kelahiran normal. Sementara mereka kala itu sedang terlilit ekonomi yang sedang sulit.

"Tidak apa Bu. Kita lakukan operasi ya? Lahirkan anak ini dengan selamat, dia berhak hidup di dunia ini. Soal biaya biar Ayah yang mengusahakan. Ibu harus kuat, ya!"

Perkataan dari Candra setidaknya membuat Alya memiliki keberanian untuk masuk ke ruang operasi. Sebelum itu, dia menemui keempat anaknya yang menunggu di luar ruangan. Mengecup satu persatu wajah anak-anaknya.

"Semangat Bu! Kita tunggu kehadiran adek bayi!"

Hamdan selaku si sulung yang kala itu berusia sepuluh tahun tersenyum hangat pada ibunya. Dengan menggandeng kedua adik kembarnya, Hamdan memberikan kata-kata penyemangat untuk sang ibu. Alya tersenyum bahagia, lalu mengusap surai satu persatu anaknya.

Kenangan yang begitu berharga serta membekas dalam ingatannya kala berjuang hidup dan mati demi kehadiran Bian di dunia. Tidak akan Alya lupakan ingatan itu, pun dengan tangis bahagia dirinya dan suami menyambut Bian yang saat itu terlahir dengan selamat dan sehat.

Mengelus perlahan surai Bian yang masih terlelap dalam tidur panjangnya, Alya kembali mengeluarkan tangis. Perasaannya sebagai seorang ibu yang gagal melindungi sang anak dari marabahaya terasa sakit untuk di rasakan.

Pertama mendapat panggilan dari teman Safik yang mengatakan kedua anaknya kecelakaan masih teringat jelas. Bagai tertimpa musibah yang tidak pernah Alya bayangkan. Terlebih, mengetahui kondisi Bian yang lumayan parah sehingga hilang kesadaran.

"Bian masih marah sama Ibu?" lirih Alya sambil memandangi wajah anaknya yang menutup mata erat.

"Kalo masih marah juga tidak apa-apa, kamu bisa luapkan apa yang membuat hati Bian sakit. Ibu akan mendengarkan semua keluh kesah Bian sampai selesai."

Menggenggam erat tangan kurus Bian yang bebas infus, Alya menciumi tangan yang entah sejak kapan tidak mungil lagi seperti dahulu. "Tapi Bian harus sadar dulu ya. Ibu akan tunggu dengan sabar, sampai Bian mau bangun,"

Tidak ada jawaban atas semua perkataan yang berulang kali terucap dalam ruangan itu. Hanya bunyi dari mesin-mesin penunjang hidup yang menjawab segala perkataan mereka.

Alya tidak menangis lagi, sudah banyak air mata yang dirinya keluarkan. Dia tidak mau menyambut bangunnya Bian nanti dengan air mata. Senyuman bahagia terlebih cocok untuk sambutan pertama anaknya yang sadar nanti.

"Ibu dengar dari Safik kalo kamu sering ngeluh kalau kita jarang memperhatikan mu?" tersenyum tipis, Alya teringat kala Safik membocorkan semua curahan hati dari anak kelimanya itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

210 Hari Untuk Bian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang