[04] permusuhan adik dan kakak

283 41 2
                                    

Libur sekolah adalah hari yang ditunggu oleh semua murid yang sudah suntuk dengan pelajaran. Mereka dapat menggunakan waktu libur untuk melakukan kesukaannya dengan bebas. Mengistirahatkan pikiran dan tubuh yang dihantam selama enam hari sekolah.

Mungkin bagi kebanyakan orang hari libur itu menyenangkan, tidak untuk Sherbian Athalla yang malah bosan saat ini. Padahal jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Tapi Bian rasanya sudah tidak tahan untuk hanya duduk diam di rumah.

Saat disekolah, dia adalah orang yang aktif dan ribut di kelasnya. Aktif dalam artian menjahili teman bahkan gurunya sendiri. Jika soal pelajaran, jangan ditanya lagi bagaimana nilainya. Mendapat nilai setengah sempurna saja sudah bersyukur.

"Mending main bola,"

Bian memilih pergi menuju halaman rumahnya. Biasanya walau hari libur dirinya bisa berpergian dengan bebas. Namun sebab motornya rusak beberapa lalu karena digunakan trek-trekan, Bian cuma bisa meringis di rumah.

Terlebih tadi malam dia habis di sidang oleh sang ayah karena aduan dari kakaknya, Safik. Dan tentu saja, hukuman baginya untuk berdiam diri di rumah dan jangan cari masalah.

"Loh, Kak Sadewa mau kemana?" Bian melihat salah satu kakak kembarnya itu yang tengah berdiri di teras rumah.

Sadewa tersenyum hangat menyapa adiknya. "Bukan mau kemana. Habis pergi olahraga kecil sih di depan, sama mengantar Nakula pergi kuliah," jelasnya.

"Kenapa nganterin Kak Nakula, sudah besar kaya kingkong begitu masa minta di antar," ujar Bian mengejek kakaknya dengan enteng.

Mendengar Bian mengatai saudara kembarnya, Sadewa hanya tertawa kecil. Beda lagi kalau Nakula yang mendengar saudaranya dikatai, bisa diamuk olehnya. "Bian mau main bola?" tanyanya.

"Iya nih, mata Kak Sadewa tidak buta kan?" jawaban dari adiknya yang terbiasa sarkas membuat Sadewa hanya bisa diam. Dirinya tidak pandai menegur yang lebih muda, tak seperti saudaranya yang lain.

Bian berjalan menuju halaman depan rumah yang lumayan luas untuk bermain sepak bola. Sendirian. Namun, tiba-tiba terlintas dalam benaknya untuk melakukan sesuatu. Yang pasti hal tersebut terlihat asik di dalam pikirannya. Dilihat sang kakak yang hendak masuk ke dalam rumah.

"Kak Sadewa!"

Sadewa berhenti saat dirinya di panggil, menoleh ke arah sang adik. Melihat Bian yang memberikan gestur untuk mendekat, dengan perlahan dirinya berjalan ke arah Bian.

"Ada apa?"

"Temenin main bola," jawab Bian, sambil tertawa penuh arti. Dan Sadewa tau, menemani yang dimaksud adiknya itu tidak benar-benar berarti 'menemani' seperti biasa.

Sadewa terlihat ingin menolak keinginan adiknya, yang mana membuat Bian memberikan jurus andalan. Terlebih oleh Sadewa yang memang salah satu kakaknya yang tidak bisa menolak.

"Bian kesepian main sendiri tau, Kak. Temenin ya?"

Tatapan Bian menjurus langsung pada iris teduh milik Sadewa. Dan tentu tidak bisa ditolak oleh laki-laki yang lima tahun lebih tua dari adiknya tersebut. "Oke,"

Senyuman terbit pada wajah Bian yang tampak senang pada jawaban kakaknya. "Kak Sadewa jaga gawang!"

Permainan yang dimaksud untuk 'menemani' itu ternyata lebih sulit bagi Sadewa. Berulang kali adiknya menendang bola ke arahnya. Namun seperti sengaja dibuat melenceng ke arah lain. Dan pada akhirnya Sadewa lah yang harus mengambilnya.

"Ah, Kak Dewa! Maaf Bian jelek nendang bolanya!"

"Tidak apa-apa, sebentar Kakak ambil bolanya," Sadewa terus mengambilkan bola yang di tendang Bian ke arah lain. Terkadang bahkan sampai jauh dan menyebrang ke rumah tetangga.

Dua jam lamanya Bian memainkan permainan bola yang 'menumbalkan' kakaknya, pada akhirnya dia hentikan. Bian merasa haus dan berlalu pergi, bahkan sebelum Sadewa kembali dari mengambil bola.

***

Sore hari di hari libur, Sherbian pergi menuju minimarket untuk membeli camilan. Melihat dirumahnya sudah minim makanan ringan kesukaannya, dia lebih memilih pergi membelinya sendiri.

Sepulang dari berbelanja, Bian dikejutkan oleh Nakula yang tiba-tiba menariknya dengan kencang ke arah kamar kedua kakaknya. "Lihat itu!" tunjuk Nakula pada kembarannya yang terbaring di atas ranjang dengan kompres di dahi.

"Oh, sakit lagi?" ujar Bian.

Nakula menatap nyalang adiknya, tangannya terkepal erat menyalurkan emosi yang terpendam. Kedua irisnya mengkilat marah. "Ini pasti gara-gara, kamu?"

"Menuduh orang itu tidak baik ya Kak. Katanya mantan santri, tapi hobi menuduh orang," Bian menatap ejek pada sang kakak.

Menutup pintu kamarnya dengan pelan, kemudian Nakula kembali menarik Bian menjauh dari area kamar. Kini keduanya pergi ke dapur dan sepertinya akan memulai keributan.

"Sudah berapa kali Kakak bilang, jangan membuat Sadewa sakit! Kamu tuh biang masalah, Sadewa drop pasti karena kamu, bukan?!" ujar Nakula penuh penekanan, dengan jari telunjuk mengacung pada adiknya.

Bian menatap kakaknya tanpa ekspresi, di tangannya masih ada plastik berisi belanjaan yang baru saja di beli. Digenggamnya erat-erat plastik tersebut, kemudian dengan sekali hempasan dia jatuhkan hingga isinya keluar satu persatu.

"Salah Kak Sadewa sendiri, kenapa main bola sebentar saja sudah sakit. Memang dasarnya manusia lemah, walau bernapas sekalipun pasti bakal jatuh sakit, kan?" sarkas Bian dengan enteng yang mana mengundang Nakula untuk memberikan hadiah berupa bogeman mentah pada wajahnya.

"Sialan,"

"Berhenti melakukan hal bodoh, Bian. Dia kakak mu! Saudara mu! Dan kembaranku. Kalo ada apa-apa sama Sadewa, sungguh Aku tidak akan memaafkan alasannya, termasuk karena kamu sekalipun!" Nakula menatap penuh kilat emosi dalam kedua irisnya.

Bian mengusap sudut bibirnya yang menjadi tempat mendarat pukulan kakaknya. Ada rasa di dirinya yang tidak terima saat kembali dipukul oleh sang kakak.

Rasa ingin membalasnya semakin tinggi, yang mana membuat Bian siap untuk memukul balas kakaknya. Sampai sebuah tangan menghentikan aksinya tersebut.

"Berhenti!" Itu Hamdan. Kakak tertua Bian.

"Stop being childis! Tidak semua urusan bisa diselesaikan dengan pukulan. Apakah otak kalian terlalu tumpul untuk meredam emosi diri masing-masing?" ujar Hamdan dengan telak. Membuat kedua adiknya terdiam.

Disinilah tugasnya sebagai si sulung mengambil alih. Meredam emosi kedua adiknya yang sulit untuk dikontrol. Sebab hanya dengan kata-katanya, baik Nakula maupun Bian dapat menurut dengan patuh.

"Dewasa bukan cuma pertumbuhan tubuh kalian yang menjadi besar. Namun juga akal, pikiran dan kontrol emosi yang harus berkembang. Kakak sering melihat kalian bertengkar, dan bahkan sudah sering Kakak nasehati.

Jangan bertengkar, darah yang sama mengalir dalam nadi kalian. Apa segampang itu untuk saling menyakiti satu sama lain?"

Perkataan Hamdan tegas namun lembut di saat bersamaan. Inilah yang membuat Bian lebih takut pada kakak sulungnya dari pada sang ayah. Sebab kata-kata Hamdan walau tidak mendoktrin, tapi terdengar tidak boleh dibantah.

Aura Hamdan sebagai kakak tertua amat mendominasi adik-adiknya. Yang mana membuat mereka seakan harus tunduk dan mematuhi perkataannya.

"Paham dengan yang Kakak ucapkan?"

Nakula dan Bian mengangguk patuh bersamaan. Membuat Hamdan tersenyum tipis melihat bagaimana raut takut kedua adiknya. Diusapnya kedua kepala adiknya bergantian.

Walau dibuat terdiam oleh kata-kata dari sang kakak sulung, namun Nakula dan Bian tidak berhenti memancarkan aura permusuhan. Kedua tatapan mereka seakan memberikan peringatan satu sama lain.

"Benci banget sama Kak Nakula,"

***

Terimakasih sudah mengikuti alur cerita Bian ini, jangan bosen bosen bacanya!!!

Berikan dukungan selalu dengan vote dan komentar kalian:)

Bye

210 Hari Untuk Bian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang