[11] si kakak tukang adu

359 53 4
                                    

Terhitung dua minggu Bian masih menutup mata, dan selama itu juga keluarganya silih berganti menjaga. Tubuh ringkih itu semakin kurus dan lemah, tanpa ada perkembangan signifikan. Para dokter terus mengupayakan kesadaran Bian untuk kembali.

Bahkan Safik sudah mulai masuk ke sekolah dan menceritakan bagaimana kondisi sang adik pada teman-teman sekelas adiknya itu. Esha yang mendengar hal itu terpukul dan menceritakan pertengkaran mereka sebelum hari kecelakaan menimpa kakak beradik tersebut.

Safik memaklumi dan menenangkan sahabat adiknya, bagaimana pun Esha sudah banyak membantunya dari dulu. Lewatnya lah Safik selalu tau kenakalan apa saja yang Bian lakukan. Walau dulu masih susah membuat perjanjian dengan Esha yang setia kawan.

Nyatanya saat memasuki bangku sekolah menengah atas Esha mulai bersikap baik dan sedikit mengurangi kenakalan. Dan juga sudah mau bekerja sama dengan Safik untuk membocorkan kelakuan adiknya itu. Beberapa kali bahkan Esha selalu melaporkan kenakalan Bian pada guru.

Hari ini Safik berkunjung ke ruang yang dimana terbaring Bian di sana. Luka sehabis kecelakaan itu bahkan sudah mengering pada beberapa bagian kulit Bian. Namun sang empunya masih betah dengan pejam matanya.

"Kamu tidak capek tidur terus Bian?" kalimat pembuka yang selalu Safik lontarkan kala bertugas menjaga Bian.

Hanya keheningan lah yang menjawab segala kalimat tanyanya. Perasaan Safik kembali di hantam rasa sakit karena terus merasa bersalah melihat kondisi adiknya. Air matanya otomatis menetes tanpa ada aba-aba, membasahi tangan Bian yang selalu di kecup lembut kakaknya.

"Maafin kakak Bian. Seharusnya kakak hati-hati hari itu, dan lebih tegas padamu agar memakai helm dengan benar. Setidaknya jika terjadi kecelakaan bersama pun, kamu tidak separah saat ini?" kalimat panjang Safik yang mengudara di ruangan berisi bunyi peralatan medis.

Seakan memekakkan telinga, bunyi alat pendeteksi jantung itu membuat Safik kembali bersedih. "Berhentilah tidur, dan ayo bangun. Marahi Kakak yang tidak baik ini, Bian!"

Safik terus menangis di samping ranjang adiknya. Selalu seperti itu, di saat dirinya bergantian menjaga sang adik. Maka hanya ada tangis penyesalan yang terus menerus Safik keluarkan. Keluarga yang lain sampai tidak tega melihat sehancur itu perasaannya.

"Kali ini Kakak ingin berkeluh kesah tentang kamu yang dulu selalu merepotkan Kakak,"

•~•~•~•

Sebab hanya Safik yang paling dekat dengan Bian, membuat anak itu selalu meminta pertolongan kakak terakhirnya untuk menjadi wali. Saat Bian melakukan kenakalan bahkan masih di bangku sekolah dasar sekalipun.

"Ayo lah, Kak Safik! Dateng ke ruang konseling ya?" mohon Bian pada kakaknya agar kembali menjadi walinya.

Safik muak mendengar permohonan yang sering Bian ajukan padanya. "Sudah Kakak bilang untuk tidak berbuat nakal! Kakak malu, Bian! Selalu bolak-balik ke ruang konseling seperti Kakak saja yang berbuat masalah di sekolah!"

"Ya habis 'kan cuma Kakak yang bisa menolong Bian,"

Mendengar itu Safik menghela napas, meredakan kekesalannya pada sang adik. Di lihatnya Bian yang masih memohon sama seperti sebelumnya saat meminta dirinya untuk membantu sang adik. Safik tidak bisa menolak permintaan Bian yang terkesan memaksa itu.

"Lain kali biar Ayah atau Ibu yang datang," pada akhirnya Safik tetap melakukannya, menjadi wali untuk adiknya yang nakal.

Kini keduanya tengah di kantin sekolah, setelah mereka puas mendengar nasehat dari guru konseling atas kelakuan Bian. "Mana bisa Kak. Ayah dan Ibu sibuk dengan jahitan mereka. Jangan di ganggu!"

210 Hari Untuk Bian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang