[06] nikotin penenang amarah

282 42 2
                                    

Terimakasih
VOTE dan KOMEN
Kalian♡♡

***

Pagi harinya, Sherbian berangkat tanpa mau bergabung sarapan dengan yang lain. Terlalu canggung untuk satu meja dengan mereka yang sudah dia berikan kata-kata menyakitkan semalam.

Sebelum keluar dari rumah, Bian melihat sebungkus rokok milik sang ayah tergeletak di atas meja. Terlintas di benaknya sebuah tindakan yang belum pernah dirinya coba. Kekesalan malam itu masih membekas, tercetak jelas pada wajahnya yang lebam.

Menyambar satu bungkus rokok tanpa di ketahui sang pemilik, Bian langsung melengos pergi tanpa memperdulikan ibunya yang memanggil. Untuk kali ini, Bian tidak akan mendengarkan kata-kata keluarganya lagi.

"Keluarga apa? Persetan dengan mereka!"

Sherbian menaiki motor miliknya dengan kekesalan yang masih terasa. Mengabaikan helm kepunyaan yang sudah rusak sehabis beradu hantam dengan hidung kakaknya, Sadewa.

Karena kejadian itu, Sadewa menjadi sakit dan harus istirahat penuh di atas ranjang. Nakula kembali menyalahkan Bian atas perbuatannya. Hubungan kakak beradik itu memanas lagi.

Dengan kecepatan penuh, Bian mengendarai motornya guna sampai ke sekolah. Melewati jalan pintas agar lebih cepat sampai, dan beberapa kali mengabaikan peraturan lalu lintas.

Walau mengendarai secara ugal-ugalan, nyatanya Bian sampai dengan selamat di sekolah. Melihat presensi teman-temannya adalah yang pertama dia lihat setelah memasuki gerbang.

"Lebih baik bolos saja untuk hari ini,"

Ide nakal yang seketika terlintas dalam pikiran Bian. Dan langsung terealisasikan dengan teman-temannya itu. Mereka berkumpul pada tempat yang selalu di gunakan untuk membolos.

"Ada apa dengan wajahmu? Habis di pukul siapa? Sini biar aku balas!" ujar salah satu di antara mereka setelah melihat wajah Bian terdapat lebam.

"Wah, kayanya Bian habis tawuran nih. Tapi tidak mengajak?"

"Ah, Bian. Kalau menemukan hal asik ajak kita dong!"

Percakapan yang di lontarkan teman-temannya tidak di tanggapi oleh yang bersangkutan. Bian sibuk berdiam diri memandang pekarangan sekolah yang menjadi tempat bolos mereka.

Pekarangan belakang gedung sekolah yang tidak terjamah oleh siapa pun. Kini menjadi tempat favorit untuk anak-anak yang rajin membolos, seperti Bian dan teman-temannya.

"Kalian mau tidak?" Bian mengeluarkan sebungkus rokok yang dirinya ambil pagi ini.

"Gila! Kamu mau merokok di sekolah? Kalau ketahuan bagaimana?" kaget salah satu di antara mereka.

Bian tersenyum menanggapi, diambilnya satu batang rokok dan menyulut api dengan korek yang dirinya bawa. Tanpa memperdulikan reaksi yang lain, Bian larut dalam kepulan asap yang dirinya ciptakan.

Beberapa orang saling pandang keheranan, merasa ada hal yang buruk yang baru saja menimpa temannya itu. Salah satu di antara mereka maju memberikan pertanyaan.

"Sedang ada masalah?"

Bian yang di berikan tanya mengangkat bahu dengan acuh. Masih menikmati nikotin yang dia hisap perlahan, dan merasakan jalan pernapasannya penuh dengan asap.

"Kalau ad masalah, jangan di lampiaskan dengan cara yang salah Bian," nasehat sang teman. Ikut mengambil salah satu batang rokok yang barusan di tawarkan.

"Memang ada masalah. Tapi nanti juga berlalu lah, tenang saja. Tidak mungkin aku mati dengan membawa masalah seperti itu,"

"Heh, Bian! Pamali ngomong gitu! Nanti kalau malaikat lewat, terus doa kamu di amin kan, bagaimana?" tegur teman lain yang ikut mendengarkan keluh kesah Bian.

Mereka kemudian tertawa lepas setelahnya. Menikmati waktu membolos dengan satu batang nikotin yang mampu merefleksikan pikiran. Tanpa memperdulikan apa akibat dari merokok bahkan di dalam lingkungan sekolah.

"Kalian di sini?" suara yang Bian kenali terdengar. Itu Esha, kawannya sedari taman kanak-kanak.

"Sha! Mau rokok?" tawar Bian mengacungkan sebungkus rokok yang isinya tinggal tiga batang.

Esha menata temannya terkejut, kemudian merampas bungkus rokok tersebut dengan kasar. Ditatapnya Bian dengan tajam seakan memberikan peringatan.

"Kalian ngerokok?" tanya Esha dengan geram tertahan.

"Santi saja, biasanya juga kita merokok. Kenapa reaksimu berlebihan?" balas Bian dengan enteng tidak memperdulikan tatapan penuh amarah yang Esha berikan.

"Tapi kalian merokok di lingkungan sekolah! Bodoh atau terlalu berandal kalian?!" seru Esha dengan nada naik satu oktaf.

Sherbian berdiri dari posisi duduknya, kemudian menatap sang sahabat karib tidak kalah tajamnya. "Ngaca Esha! Kamu juga sama berandalnya, Bangs*t!"

"Tapi tidak bertindak dangkal seperti ini! Berhenti menjerumuskan teman-teman ku, Sherbian!" tegas Esha dengan penuh penekanan dalam kalimatnya.

Tatapan tajam Bian berubah menjadi terkejut, setelah mendengar penuturan dari sahabatnya itu. Ada rasa tidak terima dalam dirinya dengan apa yang di ucapkan Esha barusan.

Tangannya beralih mencengkram kerah seragam sahabatnya, "menjerumuskan? Apa maksud dari kata-kata mu?!"

Esha tersenyum mengejek, menatap sahabatnya yang lebih pendek darinya ini. "Memang benar, sejak kamu pindah ke sekolah ku dan berteman dengan teman-temanku, kamu membawa pengaruh buruk!"

"Kalian sudah nakal sedari awal, sialan!"

"Memang! Memang kita sudah nakal, tapi itu masih batas wajar. Tapi kamu, membawa pengaruh negatif pada mereka, termasuk apa yang baru saja kamu lakukan." Cerca Esha tepat langsung menusuk sanubari Bian yang terluka atas perkataannya.

Hubungan mereka memang tidak terlalu dekat layaknya sahabat masa kecil. Namun ada beberapa waktu dimana Bian dan Esha terlihat layaknya bersahabat sejak lama.

Terlebih keduanya sangat cocok dan satu pikiran karena selalu berbuat kenakalan. Yang mana sudah keduanya lakukan sedari bangku sekolah dasar.

Namun sepertinya kali ini Esha memiliki pendapat yang bersebrangan dengan Bian. "Jangan kira, aku melupakan perbuatan berlebihan yang kamu lakukan saat SMP, Sherbian?"

"Esha, anjing!" saat akan memukul sahabatnya itu, suara seruan dari beberapa guru terdengar. Membuat mereka seakan tertangkap basah dan tidak bisa lagi menghindar.

*****


Bagaimana pendapat kalian soal cerita ini?
Apa konflik nya bisa di ikuti dengan baik?
Berikan pendapat kalian lewat komentar:)

Jangan lupa vote untuk memberi amunisi semangat buat penulis mageran ini

Bye

210 Hari Untuk Bian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang