Prolog

425 49 11
                                    

Halo, jangan tanya kenapa aku malah naikin cerita baru dan bukannya lanjutin cerita yang ada. Kalau kalian baca ulang The Swan, aku udah jelasin alasannya. Dan kemungkinan, aku bakal unpublish dulu cerita running yang belum aku selesaikan. Mau nyari wangsit dulu buat balikin mood dan feel cerita itu.

Dan cerita ini?

Anggap aja selingan, mumpung aku lagi bisa ngetik.

Fyi, chapter-chapter cerita ini mungkin gak akan sepanjang-panjang cerita yang lain karena aku masih kesulitan fokus untuk menulis cerita.

Dan juga, aku pun gak tau apakah cerita ini tiap updatenya cepat atau gak. Atau, bisa sampai tamat atau menggantung seperti cerita lain karena keadaaanku. Tapi bukan berarti aku gak berusaha. Aku sangat-sangat berusaha bisa balik seperti dulu. So, diharap kalian bisa mengertikan kondisiku yang terbatas seperti sekarang.

Sekian.

Love
Amey 🥰😘

***

My Dearest Brother || Prolog

***

"Anak ini!!" dengan geram, Rudi melempar ponsel miliknya ke atas ranjang brankar yang selama beberapa hari dia tempati. "Sebenarnya dia itu maunya apa?"

"Sabar, Pa—"

"Gimana Papa mau sabar, Ma?" sela Rudi cepat, saat Reva—istrinya berusaha menenangkan. "Udah berapa tahun dia gak pernah mau pulang buat nemuin Papanya sendiri?" dengusnya, dengan nafas menderu karena emosi. "Mau berapa lama lagi dia menyimpan dendam sama Papa?"

"Mama tau. Tapi Papa jangan emosi begini. Ingat, kondisi Papa baru mendingan setelah kemarin kolaps," lagi, Reva kembali mencoba menenangkan. Mengingat suaminya itu memang baru saja mendingan setelah satu minggu kemarin terkena serangan jantung. Sehingga mengharuskan Rudi untuk di rawat intensif selama beberapa hari ini.

"Bagaimana Papa gak emosi?" dengus Rudi lagi. "Besok Papa akan operasi pemasangan ring jantung. Apa salah kalau Papa ingin melihat anaknya sebelum operasi dilakukan? Bagaimana kalau operasinya gak berhasil? Bukannya ini akan jadi saat-saat terakhir—"

"Hus," sela Reva cepat. "Papa gak boleh ngomong begitu." Tegur Reva lagi. "Semuanya akan baik-baik aja, Pa." Katanya, masih terus mencoba menenangkan. "Operasinya pasti berjalan dengan lancar. Gak ada yang harus dikhawatirkan."

Rudi menghela nafas kasar, guna meredakan emosinya yang tadi sempat terpancing. "Amanda itu benar-benar—" Rudi menggeleng pelan, sembari mengusap kasar wajahnya menggunakan sebelah tangannya yang masih terpasang selang infus. "Jelas-jelas dia yang selingkuh di saat kami masih menikah dan Brian masih sangat kecil," keluhnya. "Selama ini Papa sengaja menutupi fakta itu dari Brian karena Papa gak mau merusak mental anak kami yang saat itu masih sekolah dasar kalau sampai dia tau salah satu orangtuanya selingkuh. Tapi apa yang Papa dapat sekarang?" decih Rudi geram. "Amanda justru mencuci otak Brian dengan cara memutar balikkan fakta! Mengatakan kalau perceraian kami karena Papa yang selingkuh!"

"Pa—"

"Dan apa dampaknya sekarang?" Rudi kembali memotong dengan nada geram yang masih tersirat. "Sedari awal saat Papa mengenalkan kamu, Brian langsung menentang rencana pernikahan kita. Dan tetap bersikeras menolak walaupun Papa sudah berusaha memberikan pengertian." Rudi menggeleng gusar saat ingatannya terlempar ke beberapa tahun silam. Dimana hubungannya jadi semakin merenggang dan panas dengan sang anak setelah anaknya tau dia akan menikah lagi dan mengenalkan Reva padanya. Bahkan, mereka jadi sering sekali bersitegang setelahnya. "Bahkan, dia lebih memilih kabur keluar negri di beberapa hari lagi pernikahan kita akan dilaksanakan. Dengan dalih akan melanjutkan kuliahnya di sana—"

"Tapi Brian memang kuliah, kan, Pa?" tanya Reva dengan nada yang lebih lembut. Tentu saja agar amarah Rudi mereda. "Brian benar melanjutkan gelas S2-nya di Canada, kan?"

"Yah..." Rudi mendesah kasar. "Dia memang berkuliah di sana. Tanpa sekalipun mau pulang untuk bertemu dengan kita. Bahkan, setelah dia udah gak berkuliah pun dia tetap menolak untuk pulang dengan berbagai macam alasan." Dengan raut wajah murung sarat akan kesedihan, Rudi kembali menimpali ucapannya.

Jo yang sedari tadi sibuk mengupas buah apel di sofa mendadak terdiam. Seiring dengan gerakan tangannya mengupas pun ikut berhenti.

Yah, tentu saja itu karena Jo mendengar semua pembicaraan Ibu dan juga Ayah tirinya. Lantaran jarak sofa yang Jo tempati dan ranjang brankar yang Rudi tempati, serta kursi yang Reva duduki—tepat di samping brankar—tidak begitu jauh. Hanya beberapa langkah saja.

Diam-diam Jo menghela nafas panjang. Karena perlu Jo akui, kalau apa yang dikatakan Rudi—Ayah tirinya memang benar adanya. Anak laki-laki Rudi satu-satunya yang bernama Brian memang tidak menyetujui pernikahan kedua orang tua mereka sedari awal. Menentang keras lebih tepatnya. Dan Brian juga memang mendadak pergi diam-diam—tanpa memberi kabar pada Rudi terlebih dahulu—ke luar negri dibeberapa hari lagi hari pernikahan kedua orang tua mereka.

Artinya, anak laki-laki Rudi tidak menghadiri acara pernikahan Ayahnya. Jika dihitung-hitung, ini sudah tahun ke lima pernikahan orang tua mereka. Yang artinya, sudah lima tahun pula Rudi sudah tidak pernah bertemu dengan anaknya lantaran tidak pernah satu kalipun pulang.

Jangankan untuk pulang, saat anak laki-laki Rudi melangsungkan wisuda pun, yang tandanya dia sudah menyelesikan gelas masternya, dia sama sekali tidak mengabari Rudi. Saking tidak inginnya Rudi datang ke sana, apalagi sampai membawa keluarga barunya. Dan lalu, baru mengabari Rudi perihal kelulusannya beberapa bulan setelahnya.

Akan tetapi, kenapa Brian tidak menyetujui pernikahan kedua orang tua mereka alasannya bukan seperti yang Rudi katakan. Yang katanya, perihal kabar perselingkuhan Rudi dan Ibu Jo, yang dihembuskan mantan istrinya pada sang anak.

Karena Jo tau persis, tanpa Rudi beritahupun perihal Ibu kandungnya yang berselingkuh dengan suaminya yang sekarang, tanpa Rudi ketahui, anak Rudi sudah mengetahuinya sendiri.

Bagaimana Jo bisa tau?

Tentu saja tau. Karena anak Rudi—Brian, yang mengatakannya sendiri pada Jo langsung. Dia sering bercerita.

Dan bagaimana pula mereka bisa Brian bercerita?

Atau lebih tepatnya, bagaimana mereaka bisa saling kenal?

Bukan hanya kenal. Tapi dulu.. mereka adalah sepasang kekasih.

Artinya, ketidak-setujuan anak Rudi tidak lain dan tidak bukan adalah karena Jo.

Iya, karena Jo. Karena hubungan spesial di antara mereka yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Namun, hubungan mereka harus berakhir paksa ketika orangtua mereka—yang tidak mereka ketahui sejak kapan saling mengenal juga punya hubungan spesial—memutuskan untuk menikah.

Dan kemungkinan, alasan kenapa Brian tidak mau pulang tidak lain karena keberadaan Jo. Lantaran dia tidak mau bertemu muka dengan Jo lagi.

Terutama, karena kejadian besar di masa lalu yang membuat Brian marah besar pada Jo hingga mendadak memutuskan untuk meninggalkan tanah air detik itu juga.

Laki-laki mana juga yang akan mau bertemu dan sudi kembali melihat wajah, apalagi sampai bersaudara dengan wanita yang sudah dengan berani mengambil keputusan sepihak untuk menggugurkan anaknya?

***

My Dearest BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang