2. Janji

121 25 2
                                    

My Dearest Brother  || 2. Janji

***

Rasanya Jo masih tidak habis pikir, dan masih belum percaya kalau ini kenyataan. Tentu saja perihal Brian yang tiba-tiba pulang setelah lima tahun kabur dan menghilang.

Dan yang lebih membuat Jo semakin tidak tidak percaya adalah, bagaimana mungkin Brian bersikap biasa saja ketika mereka kembali bertemu?

Seolah, tidak pernah ada kejadian apapun di belakang. Atau, seperti tidak pernah ada apapun yang terjadi di antara mereka berdua. Padahal, sudah jelas-jelas kalau mereka punya masalalu yang bisa dikatakan tidak bagus dan kurang menyenangkan. Buruk lebih tepatnya. Perihal kesalahan Jo di masalalu tentunya.

Jo pikir, pertemuannya kembali dengan Brian setelah sekian lama tidak bertemu akanlah buruk.

Jo sudah membayangkan tidak akan lagi melihat sosok Brian yang ramah, manis dan bersahaja seperti dulu. Karena Brian sudah berubah menjadi sosok yang baru. Yang berbeda seratus delapan puluh derajat.

Dan mungkin, akan kembali terjadi pertengkaran hebat di antara mereka hingga berakhir dengan Brian yang akhirnya kembali meluapkan amarahnya. Seperti dulu, di saat terakhir kali mereka bertemu.

Karena itu, selama ini Jo berniat sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan Brian, kelak. Karena Jo tidak siap kalau harus kembali menerima amukan Brian seperti terakhir kali mereka bertemu.

Iya, kesalahan yang Jo lakukan di masalalu membuatnya waspada. Takut kalau semuanya akan jadi semakin rumit. Jo tidak siap. Padahal, jelas-jelas Jo tau kalau begitulah dampak keputusannya di masalalu.

Tapi nyatanya, setelah semuanya terjadi seperti yang Jo inginkan, Jo jadi was-was sendiri. Tidak tenang. Diliputi kecemasan fan ketakutan yang tidak ada habisnya.

Apa Brian sudah melupakan kejadian di masalalu?

Apa dia juga sudah memaafkan Jo, dan menerima posisi Jo yang kini berubah menjadi adik tirinya?

Karena setelah tadi Brian dengan tenang memberikan buket bunga untuk Jo sebagai tanda ucapan selamatnya atas kelulusan Jo. Kini Brian dengan senang hati—tanpa ada penolakan sama sekali—ikut foto bersama dengan Jo dan kedua orangtua mereka. Foto keluarga.

Pikiran Jo mendadak penuh. Saking penuhnya, Jo sampai tidak fokus saat melakukan foto keluarga.

Jo baru tersadar dari kemelut pikirannya sendiri manakala indra penciumannya menghidu aroma familiar yang dulu pernah memenuhi hari-harinya hingga membuat Jo jatuh begitu dalam akan pesona si pemilik aroma.

Detik itu juga Jo menoleh ke arah aroma manis yang dulu sempat membuatnya mabuk kepayang. Dan.. Jo mendadak tertegun dibuatnya. Saat matanya langsung disuguhkan pandangan yang... untuk sesaat mampu membuat Jo lupa segalanya.

Lupa sekitar, lupa bernafas, dan mendadak lupa akan masalah yang terjadi di masalalu saat melihat kalau entah sedari kapan, Brian sudah berdiri tepat di sampingnya. Menggantikan Rudi yang sebelumnya diposisi itu. Dan Brian ada disisi lain Rudi, bertukar posisi.

Pantas saja aroma parfum Brian yang sudah bercampur keringat karena cuaca hari ini lumayan panas, mampu tercium dengan jelasnya di indra penciuman hingga mengusik Jo dari lamunannya sampai tersadar.

Dalam keterketegunannya, mata Jo tanpa sadar memindai wajah Brian dengan seksama. Sungguh, Selain kontur wajahnya yang terlihat lebih dewasa, dan kacamata minus yang kini bertengger manis di atas hidung mancungnya, Brian sama sekali tidak berubah. Tidak ada perubahan yang berarti di wajah Brian lebih tepatnya.

Dari jarak sedekat ini, Jo juga bisa melihat dengan jelas kalau ada juga goresan tinta hitam—tato—yang ada dibalik telinga Brian. Bukan gambar macam-macam seperti di tangan kali ini—yang entah gambarnya apa. Hanya tato sebuah salip kecil di sana. Tapi walaupun kecil, entah kenapa rasanya mampu membuat ketampanan dan kegagahan Brian bertambah puluhan kali lipat.

My Dearest BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang