4. Kakak-adik

113 28 1
                                    

"Kita saudara, kan, sekarang?"

Di tengah aktivitasnya menuruni tangga menuju lantai dasar rumahnya, Jo mendadak menggelengkan kepalanya kesal manakala kata-kata terakhir Brian malam tadi kembali terngiang dalam benaknya.

Iya, kata-kata Brian terakhir, lantaran mereka tidak bisa melanjutkan obrolannya lagi dikarenakan sudah keburu dipanggil oleh orangtua mereka yang mengajak pulang. Alhasil, pembicaraan mereka menggantung tak selesai. Menyisakan kegelisahan dalam benak Jo.

Masalahnya, kalau toh memang Brian sudah benar-benar menerima Jo sebagai saudaranya. Kenapa pula dia memasang wajah masam saat mengatakan itu?

Tapi, ya, kalau dipikir lagi wajar juga. Karena menjadi saudara bukanlah keinginan Brian dari awal. Dia terpaksa tentunya.

Memang benar, ini yang Jo mau. Tapi, setelah ini terjadi, kenapa rasanya aneh?

Seperti ada yang mengganjal. Dikarenakan Jo seperti merasakan ada maksud dibalik sikap Brian sekarang. Jangan bilang, Brian punya rencana?

Dan karena rencana itu juga Brian akhirnya memutuskan untuk pulang. Tentu saja rencananya tidak lain adalah membalas Jo.

Sungguh, Jo frustasi oleh pikirannya sendiri. Dan dasar dari rasa frustasi sekaligus pikiran buruknya tidak lain karena.. rasa bersalahnya akan kejadian di masalalu.

Haruskah Jo kembali mengajak bicara Brian tentang masalalu?

Membahas tuntas semuanya agar semuanya lebih jelas—

Lagi, Jo menggelengkan kepalanya. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Lantaran akal sehatnya melarang keras Jo melakukan itu.

Tidak. Itu tidak usah diungkit lagi. Karena dengan kembali mengungkit semua, bukan hanya akan kembali membuka luka lama. Sekaligus, justru akan membuka celah kembali untuk mereka berdua.

Iya, kan?

Sedangkan semuanya sudah selesai sampai di sana. Tepat diketika Brian memilih pergi.

"Jangan suka ngelamun kalau lagi jalan di tangga!"

Jo mengerjap kaget manakala suara Reva yang menggunakan nada tinggi, mendadak terdengar. Dan tentunya membuyarkan lamunan Jo sedari tadi.

Dan benar saja, saat Jo kembali ke alam sadar, Jo langsung mendapati sosok Reva tak jauh darinya. Berdiri tepat di depan tangga terakhir yang akan Jo pijak, sembari membawa beberapa sayuran—yang kemungkinan baru dipetik dari pekarangan belakangan—di tangannya.

"Oh, hehe.." merasa terciduk karena melamun, Jo hanya bisa tertawa cengengesan "Mama ngagetin aja, deh."

"Kalau Mama gak ngagetin kamu, mungkin kamu udah ke alam lain karena jatuh kepeleset dari tangga!" omel Reva lagi. Tepat setelah Jo menapaki anak tangga terakhir.

"Ya, gak gitu konsepnya, Ma!" gumam Jo dengan bibir mengerucut manja. Akan tetapi, Reva sama sekali tidak menghiraukannya. Karena malah pergi begitu saja meninggalkan Jo dengan wajah muram.

Dan kemuraman wajah Reva lah yang membuat Jo mau tidak mau langsung menyusul Reva yang menurut Jo akan pergi ke dapur.

"Lagian, kamu ngelamunin apa pagi-pagi begini?" tanya Reva lagi, setelah dia berada di dapur dan menaruh beberapa jenis sayuran di tangannya ke dalam sink.

Jo berdecak, "Mana ada ngelamun, sih, Ma?" kilahnya cepat.

"Gak usah bohong kamu. Semalam aja—"

"Mamaaaaaa.." panggil Jo manja. Sengaja. Hanya demi untuk menghentikan pembahasan yang sedang terjadi.

My Dearest BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang