1. Sang Mantan

155 36 11
                                    

My Dearest Brother  I || Sang Mantan

***

"Sekarang bilang sama Papa, sebenarnya mau kamu itu apa? HAH!" kesabaran Rudi pecah juga setelah hampir lima belas menit pembicaraannya di sambungan telepon dengan anak semata mayangnya, tidak kunjung menemukan titik temu dan malah jadi sebuah perdebatan.

Benar. Kemarahan Rudi kembali pecah. Tak bisa lagi dikontrol seperti perintah dokter, mengingat belum lama ini Rudi baru saja menjalani operasi pemasangan ring jantung.

Sungguh, anak semata wayang Rudi ini memang selalu saja sanggup memancing emosi Rudi di setiap kali mereka bicara di sambungan telepon sampai sudah tak terhitung sudah berapa kali Rudi terus saja meledak-ledak seperti ini.

Masalahnya, jika sudah menyangkut putra semata wayangnya yang terus saja menolak disuruh pulang dengan cara apapun, entah itu kasar atau halus, Rudi tidak akan bisa lagi mengendalikan amarahnya di satu tahun terakhir ini.

"Papa udah ngalah selama ini," lagi, Rudi kembali terdengar bersuara dengan nada memburu. "Papa beberapa kali nyuruh kamu pulang di setiap hari ulangtahun Papa, kamu selalu nolak dengan alasan sibuk. Oke, Papa nyoba ngertiin kamu. Lalu Papa nyuruh kamu pulang buat gantiin Papa sementara di kantor selama Papa sakit, kamu juga bilang sibuk, lagi banyak kerjaan. Gak masalah. Papa tetap berusaha mencoba mengerti. Karena kamu emang lebih suka sama dunia seni yang kamu geluti selama ini ketimbang berkecimpung di dunia bisnis. Dan lagi, toh, Papa pikir, Papa juga punya anak buah yang bisa Papa andalkan di bidangnya." Papar Rudi panjang lebar. "Tapi pertanyaannya sekarang, apa melukis dan semua lukisan kamu lebih penting dari pada nyawa Ayah kamu sendiri?!!"

"..."

"Dengar, Brian—" Rudi terdengar menghela nafas kasar, "Sebenarnya Papa ingin bicarakan masalah ini waktu kita bertemu, bertatap muka. Supaya gak ada lagi kesalahpahaman. Tapi karena kamu terus menghindar dan terus menolak Papa ajak ketemu apalagi pulang. Jadi, lebih baik Papa bicarakan sekarang. Kamu marah karena Papa menikah lagi?"

"..."

"Sekarang Papa tanya, apa salahnya kalau Papa ingin punya pendamping hidup lagi? Kamu tau, kan, kalau Papa ini udah gak muda lagi? Papa butuh pendamping hidup untuk menjadi teman. Karena setelah kamu dewasa, kamu sibuk dengan dunia kamu sendiri seperti sekarang. Papa kesepian. Papa butuh teman bicara, berkeluh kesah. Berbagi suka dan duka, juga untuk merawat Papa kamu yang udah sakit-sakitan ini."

"..."

"Kalau Papa gak punya pendamping, memang kamu mau merawat Papa saat Papa pikun atau bahkan saat Papa gak bisa jalan nanti? Sedangkan kemarin aja, pas Papa butuh kamu sebelum Papa operasi. Jangankan kamu datang untuk menunggui Papa selama Papa sakit. Nengok Papa barang sekali selama Papa dirawat di rumah sakit pun gak—"

"..."

"Kamu masih nanya mau Papa apa?!!" potong Rudi murka. "Papa nyuruh kamu PULANG, BRIAN!!" teriak Rudi lagi. Sungguh, bicara dengan anaknya benar-benar menguji kesabaran Rudi karena selalu saja berakhir dengan bersitegang seperti sekarang. "Apa kurang jelas Papa ngomong dari kemarin, HAH?!!" semburnya lagi, sesekali dia akan mengusap kasar wajahnya dengan frustasi. Wajah tuanya semakin terlihat lelah dengan emosi seperti sekarang. Sembari terus saja berjalan mondar-mandir tidak jelas di depan meja kerja di ruang kerjanya di rumah.

"..."

"Kalau sekarang kamu masih bilang belum saatnya, terus kapan saat yang kamu tunggu? Apa lima tahun ini gak cukup?"

"..."

"Apa kamu mau nunggu Papa mati dulu, HAH?!" lagi-lagi Rudi membentak. Mendesak lawan bicaranya, "Papa Cuma mau kamu pulang, Brian!" tegas Rudi, "Bukan minta yang aneh-aneh! Papa rindu sama anak kandung Papa! Dan Papa juga mau kamu kenal sama keluarga baru kamu saat in—bisa kapan aja?" Rudi berdecih skeptis diiringi kekehan sumbang.

My Dearest BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang