"Sen!" Jo melambaikan tangannya disaat dia memanggil Olsen yang terlihat dikejauhan. Tengah berdiri tepat di samping mobilnya yang terparkir tak jauh dari rumah Jo.
Setelah sebelumnya, Olsen ada menghubungi Jo, mengatakan kalau dia ada di daerah dekat rumah Jo. Dan lalu, dia ingin mampir dan bertemu sebelum dia kembali ke kantor.
Olsen yang sedari tadi tengah sibuk dengan ponselnya, sontak mengangkat wajah. "Oh, hai, Jo." Sapanya dengan senyum cerah, setelah melihat kedatangan Jo.
"Kamu dari mana?" tanya Jo lagi. "Bisa-bisanya tiba-tiba telepon dan bilang ada di sekitar rumahku."
"Habis meeting sama klien gak jauh dari sini." Sahut Olsen, "Dan karena tepat di samping tempat meetingku ada outlet donat kesukaan kamu, tiba-tiba aku inget sama kamu. Makanya aku datang buat kasih ini sama kamu," dan lalu, Olsen mengulurkan bungkusan—kotak makanan yang sedari tadi dia pegang.
"Astaga, Olsen!" Jo berdecak. "Kamu datang ke sini Cuma buat ngasih aku ini?"
Olsen mengangguk saja, "Cepat ambil. Pegel ini." katanya, saat Jo tidak kunjung mengambil bungkusan yang dia ulurkan.
"Kenapa harus repot-repot, sih, Sen?" tanya Jo lagi. Mengambil bungusan itu dengan rasa tak enak hati.
"Santai aja. Aku gak ngerasa direpotin, kok, Jo." Jawab Olsen. "Malah aku senang, akhirnya aku punya alasan buat ketemu sama kamu biarpun Cuma sebentar." Timpalnya, diiringi cengiran diakhir kalimat.
"Kamu, kan, tinggal hubungi aku kalau emang pengen ketemu." Lagi, Jo berdecak. "Kenapa harus pake alasan segala?"
Olsen terkekeh salah tingkah, "Kamu apa kabar, Jo?" tanyanya, tanpa mau memperpanjang pembahasan sebelumnya. "Lama, loh, kita gak ketemu."
"Aku baik, kok." Jo menjawab, "Kamu sendiri gimana kabarnya, Sen?"
"Syukurlah," Olsen tersenyum lega. "Aku juga baik. Cuma ya.. gitu, deh. Sibuk ama kerjaan tiap hari. Maklumlah, aku ini budak korporat." Katanya," Ngomong-ngomong, Jo—"
"Hm?"
"Maaf, ya, kemarin aku gak bisa datang ke acara wisuda kamu. Padahal aku pengen banget. Tapi tau sendirilah, ya.. kadang budak korporat kayak aku gak bisa seenaknya kalau atasan udah ngasih titah." Selorohnya.
"Gak apa-apa. Aku ngerti, kok. Malah aku yang jadi gak enak hati. Kamu sibuk gitu aja masih maksain bawain aku buket bunga." Ucap Jo. "Makasih, loh, buat buket bunganya. Aku suka wanginya."
"Syukurlah kalau kamu suka," Olsen mengulum senyum. "Aku jadi ikut senang dengernya." Ada semburat merah di wajah Olsen saat mengatakannya. "Jo?"
"Iya?"
"Boleh aku tanya sesuatu sebelum aku pulang?"
"Tanya, ya, tanya aja, Sen. Kenapa juga harus izin dulu, sih? Kayak sama siapa aja kamu, tuh."
"Hehe.." Olsen terkekeh gugup. "Anu, Jo.. kalau boleh tau, kapan kamu izinin aku buat datang ke rumah kamu?"
"Ya?" Jo mengerjap. Sedikit tidak menyangka dengan pertanyaan yang baru saja Olsen ucapkan.
"Maksudku, sampai kapan kamu nyuruh aku terus nunggu di sini setiap kali datangin kamu?"
"Ma—ksudnya?"
"Kalau kamu lupa," Olsen menggersah untuk menjeda kalimatnya sesaat, "aku selalu kamu suruh nunggu di sini di setiap kali aku datang, entah itu untuk jemput kamu atau hanya untuk ketemu sebentar seperti sekarang. Atau bahkan waktu aku anterin kamu pulang—"
"Kamu keberatan?" potong Jo.
"Bukan begitu," Olsen menggeleng ribut. "Maksudnya bukan keberatan juga," koreksinya cepat. "Hanya saja.. aku tuh.. ngerasa kaya laki-laki pengecut," sambung Olsen ragu-ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest Brother
RomancePernahkan kalian hidup dalam rasa bersalah? Pastilah itu tidak akan mudah. Karena itulah yang sedang Jo, a.k.a Jorjette alami. Dan ketika alasan rasa bersalahnya kembali setelah sekian tahun pergi dan menghilang, Jo Bingung. Apa yang harus dia lakuk...