Bayangan di Balik Kenangan

33 9 4
                                    

Netherlands duduk sendirian di ruang kerjanya, sebuah ruangan megah yang dipenuhi buku-buku tua dan peta dunia. Cahaya matahari sore menembus jendela besar, memantulkan bayangan lembut di lantai kayu yang berderit pelan setiap kali ia bergerak. Di tangannya, ia memegang cangkir teh yang hampir dingin, namun pikirannya jauh melayang, menelusuri kenangan yang tak bisa ia lepaskan.

Pikirannya kembali pada Indonesia, sosok hangat dengan mata penuh semangat, suara lembut namun tegas, serta senyum yang selalu bisa membuat hatinya merasa tenteram. Mereka pernah memiliki segalanya, atau setidaknya begitu yang ia rasakan dulu. Di bawah langit Hindia yang cerah, mereka bekerja sama, berbagi, dan merencanakan masa depan. Namun, semua itu berubah. Hubungan mereka yang dahulu penuh gairah dan romansa perlahan terkikis oleh ketegangan dan perbedaan.

"Indonesia..." bisik Netherlands, seolah mengharapkan kehadiran sosok itu kembali, meskipun ia tahu hal itu tidak mungkin terjadi.

Saat itu, terdengar ketukan pelan di pintu. Tanpa menunggu jawaban, dua sosok familiar memasuki ruangan. Mereka adalah Belgium dan Luxembourg kedua adik Netherlands. Wajah mereka penuh dengan rasa khawatir dan simpati, dan Netherlands tahu bahwa kedua saudaranya itu pasti menyadari apa yang ia rasakan.

 Wajah mereka penuh dengan rasa khawatir dan simpati, dan Netherlands tahu bahwa kedua saudaranya itu pasti menyadari apa yang ia rasakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Belgium membawa sebuah pot berisi tanaman tropis yang segar. Pohon pisang mini dengan daunnya yang lebar dan hijau berkilauan tampak hidup di bawah sinar matahari. Sementara itu, Luxembourg membawa nampan berisi makanan yang tampak akrab bagi Netherlands berupa nasi goreng yang harum dengan aroma rempah-rempah kuat yang langsung membangkitkan kenangan masa lalunya dengan Indonesia.

"Hei, kak," kata Belgium dengan senyum manisnya, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. "Kami tahu kamu sedang tidak baik-baik saja, jadi kami ingin membawakan sesuatu yang mungkin bisa menghiburmu. Lihat, ini tanaman tropis yang kamu suka. Kamu sering memelihara yang seperti ini saat... yah, kamu tahu."

Luxembourg menambahkan, "Dan kami pikir, mungkin kamu akan senang dengan makanan ini. Ingat, kan? Nasi goreng kesukaanmu dulu saat kalian berdua masih bersama?"

Netherlands tersenyum tipis, tetapi jauh di dalam hatinya, rasa sakit itu semakin dalam. Melihat tanaman tropis dan mencium aroma makanan yang pernah ia nikmati bersama Indonesia tidak membawanya pada kebahagiaan seperti yang diharapkan kedua saudaranya. Sebaliknya, semua itu hanya membuatnya semakin merasa kehilangan.

Ia terdiam, memandangi tanaman pisang kecil itu dengan tatapan kosong. "Terima kasih, Belgium, Luxembourg," ujarnya pelan. "Kalian berdua selalu baik padaku. Tapi... ini justru mengingatkanku pada semuanya. Pada masa-masa indah yang sudah tidak ada lagi."

Belgium dan Luxembourg saling bertukar pandang, bingung dan sedikit sedih. Mereka berpikir bahwa menghadirkan kenangan itu mungkin bisa membantu, tetapi ternyata mereka salah. Mereka tahu betapa mendalamnya hubungan antara Netherlands dan Indonesia, dan sekarang mereka hanya bisa berdiri di sana, merasakan betapa sulitnya melihat kakak mereka terpuruk.

Netherlands menutup matanya, ingatannya berputar pada masa-masa ketika ia dan Indonesia bersama. Saat mereka berjalan di pantai tropis, berbicara tentang masa depan yang mereka impikan, ketika segalanya tampak mungkin dan hubungan mereka terasa seperti sesuatu yang takkan tergoyahkan.

Namun, ia juga ingat saat-saat sulit. Ketegangan, perselisihan, perbedaan pandangan yang semakin meruncing. Hingga akhirnya, mereka berpisah dengan luka yang dalam di hati masing-masing. Netherlands tahu bahwa ia bertanggung jawab atas sebagian besar dari itu, tetapi sekarang, penyesalan tidak akan mengubah apa pun.

"Aku bodoh," gumamnya sambil meletakkan cangkir teh yang sekarang sudah dingin. "Aku seharusnya bisa melihat ini datang. Aku seharusnya mendengarkan Indonesia lebih baik. Tapi aku terlalu sibuk dengan ambisiku sendiri."

Luxembourg, yang biasanya lebih pendiam, akhirnya berbicara. "Kak, kamu sudah melakukan yang terbaik yang kamu bisa. Terkadang, hubungan memang tidak bisa dipertahankan, meskipun kita menginginkannya. Tapi kamu tidak bisa terus hidup dalam bayangan masa lalu. Kami di sini untukmu."

Belgium menambahkan dengan lembut, "Kami tahu ini berat, tapi kamu masih punya kami. Kamu harus mulai menerima bahwa Indonesia sudah membuat jalannya sendiri, dan itu bukan berarti kamu gagal."

Netherlands mendesah panjang, menatap wajah kedua saudaranya yang begitu peduli. Mereka sudah melakukan banyak hal untuknya selama masa-masa sulit ini. Mereka berusaha menghiburnya dengan cara yang mereka tahu, meskipun tak selalu berhasil. Tetapi, pada akhirnya, itu bukan tentang tanaman tropis atau makanan yang ia sukai. Itu tentang dukungan dan kasih sayang yang mereka berikan, bahkan ketika Netherlands tenggelam dalam kesedihannya.

Dengan berat hati, Netherlands menyadari sesuatu. Mengingat masa lalu bersama Indonesia memang menyakitkan, tetapi terlalu lama tenggelam dalam penyesalan hanya akan membuatnya semakin terpuruk. Ia harus menemukan cara untuk menerima kenyataan, untuk mencoba melangkah maju, meskipun sulit.

Netherlands menghela napas panjang, lalu menatap Belgium dan Luxembourg dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku menghargai apa yang kalian lakukan. Kalian benar. Indonesia telah memilih jalannya sendiri, dan aku harus menerima itu. Meskipun ini tidak mudah, aku akan mencoba untuk move on."

Belgium tersenyum cerah, merasa lega mendengar kata-kata itu. "Itu semangat yang kami harapkan, kak! Lagipula, masih banyak hal indah di dunia ini selain masa lalu. Kamu hanya perlu membuka dirimu lagi."

Luxembourg mengangguk setuju. "Dan kami akan selalu ada di sini, membantu kamu melewati semua ini. Kamu tidak sendiri."

Netherlands merasa sedikit lebih ringan, meskipun rasa sakit itu masih ada. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, dan mungkin akan memakan waktu lama sebelum ia benar-benar bisa melepaskan kenangannya bersama Indonesia. Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa ada secercah harapan.

Malam itu, Netherlands duduk di ruang makannya, kali ini bersama Belgium dan Luxembourg. Mereka menikmati nasi goreng yang telah mereka siapkan, dan meskipun rasanya membawa kembali memori tentang masa lalunya dengan Indonesia, Netherlands memutuskan untuk tidak membiarkan dirinya larut dalam kesedihan.

"Kalian tahu," ujar Netherlands dengan nada yang lebih ringan, "nasi goreng ini sebenarnya lebih enak ketika dinikmati bersama orang-orang yang peduli. Terima kasih, kalian berdua."

Belgium tertawa kecil, senang melihat kakaknya mulai sedikit tersenyum. "Itulah yang kami harapkan! Kami tahu kamu akan bisa bangkit lagi."

Luxembourg mengangguk sambil menambahkan, "Dan siapa tahu, mungkin di masa depan kamu bisa menemukan kebahagiaan yang baru. Mungkin bukan dengan Indonesia, tapi dengan sesuatu yang lain."

Netherlands tersenyum, kali ini dengan tulus. "Mungkin kau benar, Luxembourg. Mungkin kau benar."

Dan dengan begitu, Netherlands perlahan mulai mencoba membuka lembaran baru. Masa lalu bersama Indonesia tetap menjadi bagian dari dirinya, tetapi ia kini siap untuk melangkah maju, berkat dukungan dan cinta dari saudaranya. Meski jalan menuju kesembuhan masih panjang, ia tahu bahwa ia tidak harus menempuhnya sendirian.

 Meski jalan menuju kesembuhan masih panjang, ia tahu bahwa ia tidak harus menempuhnya sendirian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hetalia Indonesia [BAHASA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang