Diplomasi Sang Garuda

27 9 2
                                    

Indonesia duduk di ruangan konferensi, kepalanya tertunduk. Sosok Bunda Pertiwi yang anggun dengan kebaya dan selendang merah putih di bahunya tampak lelah. Perang fisik telah membebani rakyatnya, dan dia tidak ingin lagi melihat korban berjatuhan.

Kemerdekaan telah diproklamasikan, namun ancaman datang dari segala penjuru. Netherland, yang ingin rujuk kembali dengannya dengan gencar melontarkan janji-janji kepadanya. Menjanjikan kemewahan di dalam kerajaan yang dia bangun ditambah persoalan dunia internasional yang masih meraba-raba siapa yang harus mereka dukung.

Indonesia sudah jengah dengan janji-janji manis Netherland. Mereka sudah tidak lagi sejalan. Indonesia sangat yakin bahwa Netherland juga lelah dengan ketidaksepahaman yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan ini. Indonesia sangat kenal dengan sifat pria Tulip itu, dia memiliki ego yang sangat tinggi dan tentunya keras kepala.

Di ruangan itu, Indonesia tidak sendiri. Ia bersama negara-negara yang menjadi rekan seperjuangannya. India, Mesir, Australia dan negara-negara baru yang juga merasakan tekanan penjajahan. Indonesia menghela napas panjang. Dia tahu, perjuangannya kali ini bukan lagi di medan tempur, melainkan di meja-meja perundingan.

"Perang sudah cukup," ucap Indonesia kepada para penasehatnya. "Kita harus bertindak dengan cara yang lebih bijak. Tidak boleh ada lagi darah yang tumpah di tanah ini. Kita harus memperkuat diplomasi, bukan senjata."

Dengan penuh tekad, Indonesia memutuskan membentuk sebuah tim diplomasi. Tim ini berisi para diplomat handal dan berpengalaman, yang memahami bahwa dunia internasional adalah kunci untuk mengukuhkan kemerdekaannya. Di antaranya adalah tokoh-tokoh yang kelak akan menjadi pilar perjuangan diplomasi Indonesia seperti KH. Agus Salim, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, dan Ahmad Subardjo.

Perundingan Linggarjati (1946)

Pertempuran terus berkecamuk di berbagai daerah, namun Indonesia tahu bahwa Netherland tidak bisa dilawan hanya dengan senjata. Di bawah tekanan internasional, perundingan pertama pun digelar di Linggarjati. Indonesia, berdiri tegap di hadapan Netherland, yang tampak angkuh namun penuh perhitungan.

"Aku akan mengakui kedaulatan Indonesia di Jawa, Sumatra, dan Madura," ujar Netherland dalam perundingan itu, meski dengan berat hati. "Namun, kita akan tetap berunding untuk wilayah lainnya."

Indonesia menerima kesepakatan itu meski penuh kepahitan. Ia tahu, ini hanya langkah pertama. "Ini bukan kemenangan penuh, tapi ini awal dari sesuatu yang lebih besar," gumamnya sambil melihat peta di atas meja.

Meski Perjanjian Linggarjati memberikan pengakuan sebagian, Netherland kembali melancarkan Agresi Militer setelah kesepakatan tersebut. Indonesia kembali harus menggalang dukungan internasional untuk menekan Netherland agar menghentikan kekerasan.

Perundingan Renville (1948)

Ketika Agresi Militer, Netherland semakin menjadi-jadi, Indonesia harus berunding lagi. Kali ini, di kapal USS Renville, perundingan dilaksanakan. Indonesia membawa tim diplomasi terbaiknya. Di perundingan itu, Amerika Serikat ikut campur sebagai mediator, bersama PBB yang mulai turun tangan untuk mencegah konflik semakin meluas.

Namun, perundingan itu terasa berat bagi Indonesia. "Kami harus rela kehilangan wilayah-wilayah yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata," ujar Hatta saat mengumumkan hasil Perjanjian Renville. Wilayah Indonesia semakin terdesak, namun sekali lagi, Indonesia memilih untuk berjuang dengan diplomasi. Indonesia tahu bahwa setiap langkah mundur di medan perundingan bisa menjadi pijakan untuk kemenangan yang lebih besar.

"Kita tidak akan menang dengan kekuatan senjata, tapi dengan kebijaksanaan," ujar Indonesia di hadapan rakyatnya. "Percayalah, kita sedang menuju jalan yang benar."

Hetalia Indonesia [BAHASA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang