3. Cari Mama Baru

3 1 0
                                    

Tin!! Tin!!

Suara dari klakson mobil asisten Mardi di rumah sakit. Mardi yang sejak tadi memang sudah menunggu kedatangannya pun hendak bergegas menuju keluar. "Kamu berangkat ke kampus gak sekalian ikut sama papa dan om Dio aja, Marth?" tawar Mardi.

"Enggak pa, Marthin biasa berangkat sama Aryo, ntar lagi dia juga dateng."

"Oh yasudah kalau begitu. Papa berangkat duluan ya. Kasihan om Dio sudah nungguin papa dari tadi di depan," pamit Mardi seraya mengusap kepala Marthin.

"Hati-hati, pa!" seru Marthin ke arah punggung Mardi yang kian menjauh menuju gerbang rumah mereka.

"Iya Marthin. Semoga berhasil praktek keseniannya ya, nak!" sahutnya dan masuk ke mobil dinas.

Marthin mengangguk, "Makasih pa, makasih sudah selalu ada untuk Marthin walau dalam keadaan tersulit sekalipun di hidup Marthin," gumamnya lirih. Sudah tak tampak mobil dinas Mardi di ujung mata, ia pun bergegas mengunci rumah sebab dari arah berlawanan Aryo sudah datang mengendarai sepeda motornya menuju Marthin.

"Aryo, kamu udah sarapan?" tanya Marthin sesampainya Aryo di gerbang rumahnya.

Aryo menggeleng, "Belum Marth, ibuku pergi arisan pagi buta tadi jadi gak buatin sarapan," keluhnya.

"Arisan apaan tuh pagi-pagi buta?" ia terpingkal.

"Gak tau deh, heran aku juga."

"Ya udah masuk dulu yuk kita sarapan, tadi papaku masak nasi goreng."

"Wih mantap tuh!" tukas Aryo sumringah. Mereka pun masuk ke kediaman Marthin untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke kampus.

Di meja makan, Marthin menyajikan sarapan untuk sahabatnya itu. "Makan yang banyak, Yo. Kasihan bapak Mardi udah masak banyak jadi bakal mubazir kalo gak dihabisin," celetuknya santai.

Aryo menggeleng geli, "Bapak Mardi kan bapakmu," tukasnya. "Tapi kamu beruntung banget punya ayah yang peduli banget tentang hal kecil dihidupmu, Marth."

Marthin yang sudah menyendokkan nasi goreng ke mulutnya itu jadi diam tertegun, beberapa detik kemudian ia tersenyum, "Iya kamu benar, Yo. Memang sih, papa gak pernah berhenti menganggap aku itu masih seperti anak kecil. Mungkin, karena aku anak satu-satunya dan gak punya adik, atau karena papa sayang banget samaku dan almarhumah mama Thina. So far, aku menikmati ajadeh kasih sayangnya ini, toh sayang banget kalau gak di syukurin."

Aryo mengangguk, "Setidaknya masih ada yang sayang sama kamu Marth walaupun cuma punya orangtua tunggal. Lihat aku, orang tuaku masih ada dua-duanya tapi hubungan mereka enggak utuh. Mereka egois memikirkan diri mereka sendiri," keluh Aryo.

"Sttt, jangan bilang gitu. Biar gimanapun, mereka ada di situasi ini tentu setelah mengahadapi hal yang rumit dan gak mudah, sampai akhirnya keputusan terakhir mereka berpisah. Bayangin kalau mereka masih bersama? Ibu kamu yang akan menderita kan melihat ulah ayahmu itu. Ibu kamu sayang kamu dan adikmu, Yo. Kamu sekarang yang bertugas jadi garda terdepan melindungi mereka."

Gantian Aryo diam tertegun, "Kok kamu bisa sih setegar ini, Marth? Emang kamu gak pengen gitu punya keluarga yang utuh?"

"Keluarga yang utuh?" tanyanya ia menyeringai seraya menuangkan segelas air untuk Aryo. "Ya mau lah. Kalo dirimu tanya kenapa aku setegar ini ya karena aku tahu, gak mudah untuk ada diposisi papaku yang mengambil dua peran sekaligus. Aku tahu papa bisa saja menikah lagi, tapi papa lebih pentingin aku daripada memuaskan nafsunya sendiri. Padahal aku sih gak masalah kalau seandainya papa membutuhkan pendamping hidup pengganti mama." Marthin mengutarakan isi hatinya yang terpendam itu. Kadang ia juga merasa kesepian, ia ingin punya seorang adik untuk menemaninya ketika Mardi pulang terlalu larut. Tapi Mardi terus berbicara melantur seolah tak ingin mendengarkan permintaan Marthin.

"Dosen kita kan janda tuh. Kenapa gak kamu kenalin aja ke papamu, Marth?" celetuk Aryo.

"Jujur, cukup sering juga aku bujuk papa dan pada akhirnya papa tetap masih kekeuh dan malah bilang aku harus lulus kuliah dulu dan jadi mahasiswa lulusan cumlaude, baru deh papaku mau nikah lagi."

"Ya udah, turutinlah. Lampu ijo kan berarti."

"Kamu tahu kan, Yo. Otakku nih bebal banget, dapet nilai enam puluh aja udah bersyukur banget," keluh Marthin lesu. "Sejak itu juga, aku berhenti berharap untuk bisa ngerasain punya ibu lagi, aku terharu mendengar kisah cinta mama dan papa. Salut dengan perjuangan mereka untukku sampai-sampai aku juga bermimpi ingin sekali bertemu dan memiliki seorang wanita yang hatinya baik, tulus dan tangguh seperti mamaku." Marthin dengan pandangan lurusnya tanpa berkedip sedikitpun. Ia mengutarakan angan yang kini sering dibentuk menjadi salah satu dari sekian banyak do'anya. "Udah mau jam delapan, yuk lah berangkat!" ajaknya mengalihkan.

"Tunggu, bentar lagi habis nih!" Kata Aryo dengan nasi goreng penuh di rongga mulutnya.

"Kalo gitu aku ambil alat musikku dulu di kamar." Beberapa saat kemudian, Marthin turun dengan membopong gitar yang sudah ia dan Mardi perbaiki malam tadi. Dari jauh, Aryo sudah terkesima melihat Marthin dengan gitarnya.

Aryo berdecak kagum, "Widihhh, bawa gitar juga ente, bukan hanya isapan jempol!" goda Aryo yang terkesima melihat gitar Marthin yang begitu indah. Aryo beranjak dari duduknya dan melihat gitar itu dari dekat. "Keren banget gitarmu Marth, baru beli tadi malem kah?" tanya Aryo dan Marthin mempersilahkan Aryo untuk memegang gitarnya sementara Marthin mengikat tali sepatunya.

"Gitar papaku itu, bukan gitarku. Berangkat yuk, kita sudah telat nih!"

Di perjalanan seperti biasa, walau pun sepeda motor milik Aryo, tetap saja Marthin yang disuruh mengendarainya. Kadang tidak segan juga Aryo minta diisikan bensin untuk sepeda motornya. Aryo memang sahabat Marthin yang perhitungan. Padahal, ia rajin membeli bensin sepeda motornya tanpa sepengetahuan Aryo. Marthin tidak memusingkan hal tersebut, ia  cukup mengenal siapa Aryo, walau pun kadang menyebalkan namun Marthin tetap menganggap Aryo sahabat yang baik baginya sebab selalu menjadi dewa penolong ketika pengetahuan Marthin sedang buntu di ujian smester.

JRENGGG!!

Saat berada dalam perjalanan, suara itu berasal dari gitar yang dirangkul oleh Aryo dibalik punggungnya.

"Wihh! Keren banget gitarmu Marth bisa otomatis begitu ya!" decak kagum Aryo yang juga mendengarkan bunyi dari gitar tersebut.

CIIITTT!!

Seketika Marthin mengerem mendadak, pria itu sontak terkejut sebab ia pikir Aryo yang memetik gitarnya.

"Astaga pelan-pelan kali Marth kalau mau ngerem mendadak. Lagian kenapa sih? Kamu kebelet boker kali?!" ketus Aryo.

"Ya maaf, Yo!" Marthin menggaruk pelipisnya. "Ta-tadi ada kucing lewat!" alibinya terbata. Dari situ pikiran Marthin sudah berkelana dan tidak pada tempatnya lagi. Marthin menoleh ke arah Aryo, ia sedikit menelisih di balik punggung Aryo untuk memastikan jika gitar itu dipetik oleh tangan jail Aryo.

"Kamu lihat apaan, Marth?" Aryo pun ikut menoleh ke belakang punggungnya. Ia juga penasaran dengan objek yang menjadi titik fokus Marthin.

"Itu kucing yang tadi mau ketabrak, eh dia lari ke belakang, Yo." Marthin sekali lagi beralibi. Ia sudah memastikan jika gitar masih terkunci rapat di dalam tas gitar. "Ini pasti ulah iseng dari makhluk-makhluk astral disekitar sini," gumamnya, sebab tidak mungkin Aryo berbohong, sedangkan dari kaca spion tampak wajah Aryo jelas terlihat hanya memperhatikan arah jalan dan kedua tangannya juga merangkul kedua pundak Marthin pada saat itu. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka lagi menuju kampus.

Next??

Gadis Dimensi Lain (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang