2. Gitar Misterius

60 6 8
                                    

"Kamu gak akan paham sampai kamu berhenti mempermasalahkan sebuah hal kecil, Marthin." —Mardi Santoso (by Gadis Dimensi Lain)

***

"Marthin, papa pulang!" seru Mardi bersemangat memanggil putranya itu dari lantai bawah.

"Lihat nih, papa ada sesuatu buat kamu!" tukasnya lagi seraya menunjukkan kresek berisi satu kotak bolu pandan kesukaan Marthin.

Mardi yang datang dari arah garasi mobil itu lekas masuk menuju ruang makan. Ia tahu, Marthin pasti sudah makan malam dan lanjut main play station di kamarnya, sendirian. Hari itu, ia memang pulang agak telat dari hari biasanya. Mardi membutuhkan sogokan untuk meredakan kekesalan Marthin lantaran harus terjaga dari tidurnya untuk menunggu pria itu pulang. Lantas, untuk itulah ia membawa makanan kesukaan Marthin sepulangnya dari tempat kerja.

Walau pun Marthin ketiduran dan tidak tahu jika Mardi pulang, ia tak pernah risau lantaran ia bisa masuk kapan saja ke dalam rumah sebab ia memiliki kunci duplikat. Mardi selalu menyediakan tiga kunci duplikat sekaligus, satu di pegang olehnya, satunya Marthin, dan yang satu lagi di letak Mardi di sebuah tempat tersembunyi di sekitar rumah mereka.

Thina sudah bertahun-tahun meninggalkan Mardi dengan seorang putra yang kini sudah seperti teman bagi Mardi. Jadi tidak heran jika melihat Mardi begitu terampil merawat dirinya sendiri.

"Tumben pulangnya larut banget gini, pa?" sahut Marthin lesu seraya menuruni undakan anak tangga. Ia berhenti dan duduk di sana, kebetulan tangga memang mengarah langsung ke meja makan.

"Di jalanan sedang rawan kecelakaan, jadi banyak pasien gawat darurat yang harus lekas ditangani," tukasnya seraya mengaduk teh lemon. "Nah, bolu pandan kesukaanmu!" Mardi mengeluarkan sekotak bolu pandan dari dalam kresek dan meletakkannya di atas meja makan.

Marthin tersenyum lebar, ia segera beranjak berdiri kemudian berlari menuruni anak tangga dengan sumringah hanya untuk menghampiri Mardi dan mencium tempurung tangannya. Mardi menarik kursi untuk Marthin duduk, sementara Marthin pun menarik kursi untuk Mardi duduk. Mereka sudah terbiasa melakukan kebiasaan itu. Sudah seperti ritual sebelum makan di meja makan.

Marthin mulai melahap sepotong bolu pandannya seraya menyuapinya juga kepada Mardi. "Pantesan aja papa pulang telat," keluhnya.

"Sebenernya, papa udah pulang lebih awal."

"Terus, kenapa papa gak langsung pulang ke rumah?"

"Papa di telepon sama temen papa karena dokter yang jadwal tugas malem hari ini hanya sedikit, belum lagi ada beberapa pasien yang mendadak harus papa tangani saat papa harus pulang, ya kamu tahu sendiri lah profesi papa ini, gak mungkin papa lepas tanggung jawab papa begitu saja."

Seraya masih mengunyah, "Jika sudah waktunya pulang harusnya itu bukan tanggung jawab yang harus papa penuhi lagi, kan?"

"Kalau kita bekerja di perusahaan mungkin iya, tapi papamu ini bukan pekerja kantoran Marthin. Tugas papa adalah garda terdepan kesehatan, harus siap menolong yang perlu diobati dalam kondisi apapun."

"Papa hebat, semoga aja nanti Marthin bisa kayak papa, yang bersedia jadi garda terdepan dan tanpa pamrih menolong sesama."

Tampak senyuman melengkung indah dibibir Mardi dan Marthin. Ia banyak belajar tentang tanggung jawab, rasa ikhlas, sabar dan harus bisa mengendalikan emosi, karena mengobati harus dengan perasaan dari hati yang bersih, bukan asal-asalan dengan niat yang buruk.

"Oh iya, papa udah makan belum? Tadi, Marthin masak tumis kangkung lhoo, pa!"

"Oh ya? Wahh emang kamu bisa masak? Biasanya juga, papa yang masakin kamu," ejek Mardi meragukan putranya itu.

Gadis Dimensi Lain (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang