Siluet Tubuh Di bawah Jendela Kata

32 18 34
                                    


Sebenarnya, aku tidak begitu baik mengenalmu. Lewat tulisan ini aku hanya berpura-pura; begitu baik menarasikan ulang siapa kamu. Kau terlalu menyukai rahasia-yang separuhnya kau simpan dalam lemari buku. Lalu separuh yang lain mengajakmu larut dalam fragmen warna putih abu-abu; warna kesucian, keraguan, keseimbangan ambigu antara moralitas kenangan dan sarkasme perasaan ... warna yang ku temukan dalam sepotong dingin yang melintasi zona ketidakpastian yang tertuang dalam karya-karya kebanggaanmu.

Laki-laki yang belakangan ini kerap ku panggil Baskara terlahir di hari keenam pada bulan di mana versi Google pertama kali dirilis di situs web Stanford. Seorang lelaki yang sangat menyukai kegiatan tulis-menulis terutama puisi, tentang bagaimana dunianya menyeimbangkan logika dan perasaannya sendiri untuk menetralisir akhir kalimat yang rancu. Sederhananya; dia tidak ingin terikat dengan rima puisi yang berlomba-lomba mencuri tanda titik. Juga tidak ingin terlalu terbebani dengan tanda koma yang sering ku hindari. Tidak akan pernah kau temukan cinta atau rindu di sana; sebab penulisnya hanya menyukai jemarinya menari-nari di atas kertas putih bersama tinta hitam yang melegenda; agar tetap berkarya-katanya.

Setelah beberapa bulan mengamati, ternyata goresan aksara dari bibir manismu membuat orang lain menerka-nerka, termasuk aku. Ada kalanya aku merasa seperti seorang putri dari kastil yang kau ceritakan, seperti seorang anak kecil yang langsung memelukmu kala kau memberinya permen kapas atau sekotak coklat; terkadang juga seperti seorang gadis yang merajuk manja kepada kekasihnya dan kau mengajakku keliling istana kata. Bagian ini yang tidak bisa ku jelaskan dengan banyak kata, sebab tiba-tiba segalanya begitu KITA. Aku menikmati setiap hanyut dalam detak jantungku yang berdebar, atau binar kedua mataku yang antusias merasakan hadirmu. Kepada pejam terkadang aku menangis pilu. Sudut lukaku yang ku sisihkan di antara puing-puing kepayahan membuatku tergugu, lalu tatapanku sendu.

Aku menyangka; lalu angan memeluk tubuhku sembari berjalan dengan langkah yang patah-patah. Di situlah aku pernah lupa, Bas, bahwa dirimu hanya sekedar metafora sedangkan aku yang menganggap mu hiperbola. Terlalu melebih-lebihkan rasa.

Kamu lupa memberi tahu diriku atas sesuatu; anomali rasa. Kamu lupa mengatakan sesuatu padaku; untuk tetap terbiasa tanpa terka. Kamu takut mengkhawatirkan sesuatu atasku; dwilogika.

Bas, terlepas dari tubuh inspirasi siapa diri kita terbentuk menjadi 1001 puisi yang bertebaran di kepala-bukankah kita pernah sedekat huruf akhir sebelum koma? Maka ketika alinea terang-terangan mengaitkan jarak di antara kita ... ketika kau menyetujuinya dan aku berkata 'iya' ... di detik itulah menjadi manusia adalah niscaya.

Aku tersenyum kala aku tersadar menjadi temanmu adalah pilihanku. Pipiku merona kala aku menuliskan namamu dan mengatakan kepada dunia bahwa dirimu bermakna keseimbangan. Kataku, kau bukanlah laki-laki sempurna yang kecerdasannya setara dengan Albert Einstein. Ketampanan yang melampaui tokoh Edward Cullen dalam film Twilight. Juga bukan pemilik kekayaan yang dimiliki oleh seorang Bill Gates. Didekatmu semua gagasan seperti berlomba-lomba untuk didiskusikan, semua monologku dalam diam menunggumu untuk mendengarkan suaranya atau bahasa hati ketika berpuisi mengunjungi satu persatu mimik wajah dalam berekspresi. Hari di mana aku memutuskan untuk menyelami mu di kedalaman, ketakutan di hari itu telah cukup menghukumku. Mereka berkata pada dirimu; "Kamu layak sebaik-baiknya kebahagiaan" seraya menyambut dengan lembut uluran tanganmu.

Bas, ada banyak huruf di kepalaku yang menungguku untuk diceritakan. Tulisan ini tidak seberapa, semoga lain kali kamu bisa membaca kelanjutannya dengan benar tanpa pura-pura.

Hello, Baskara! [ HIATUS ] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang