Aku tidak tahu persis kapan mulai menyukai puisi. Menurutku, puisi adalah bentuk peralihan-dari sesuatu yang berlangsung apa adanya atau sesuatu yang disembunyikannya. Bagiku puisi adalah suara sunyi yang mengaliri relung dada; dengan sedikit sentuhan kejujuran rasa, kata-kata menjadi sebuah energi yang diterima oleh perasaan kita.
Manusia-kita; hanyalah tubuh yang diberi nyawa. Perasaan-perasaan dan pemahaman diri adalah perenungan yang dikaji tiap kesunyian merambat pelan memeluk logika. Maka lahirlah sesuatu yang keindahannya bisa dirangkum melalui puisi, yang kedalamannya bisa diselami lewat imaji. Namun, jangan tertipu oleh ilusi atau manis kata-kata sebagai pelipur lara. Terkadang, menghibur itu sesuatu yang bisa kita hadiahkan kapan saja kepada manusia lain tapi kita seringkali lupa untuk berhati-hati menerka tentang bagaimana penilaian kita terhadap metafora kata yang tertuang dalam pikiran mereka. Kita berasumsi bahwa kita terlalu diperhatikan, nyatanya empati memang begitu caranya bekerja. Dia penuh kasih, lupa mengasihi diri sendiri. Hingga timbullah penyesalan sebab terlalu dekat dengan seseorang.
Bas, kalau kamu ingin sebuah jawaban 'apa bagimu puisiku selama ini?' maka aku akan memberikan sedikit ulasan tentang tulisanmu itu yang selalu menjadi favoritku.
Pada dasarnya; tulisanmu hanya permainan kata-kata yang acapkali orang lain bertanya "Kak, kali ini tulisanmu tentang apa?" lalu sejuta kiasan kau jabarkan dengan sedemikian rupa dengan sangat hati-hati. Serupa rahasia; begitulah aku mengartikannya.
Ada kalanya aku seperti tokoh utamanya dalam tulisanmu; maka sungguh aku berterima kasih. Dan ada kalanya aku seperti sebuah kaca yang retak-di mana ketika aku bercermin di depannya, ia tidak bisa merangkum senyumku. Namun, sedikit mungkin bisa merangkum lukaku.
Bas, aku tidak menyuruh siapapun mengabadikan sosokku dalam karyanya, sebagaimana kamu tidak menyuruh siapapun untuk menangisimu. Tapi apakah kau paham rasanya berharap pada manusia di saat dirimu sendiri tidak ingin mempermainkan perasaan orang lain?
Dan apa kau paham rasanya berasumsi, mengambil sudut terka tanpa tanya lalu jawaban yang tak pasti membuat hatimu hancur berkeping-keping?
Orang lain bilang; abaikan ucapannya dan nilailah tindakannya. Jika kedua hal itu tak sesuai; percayalah pada tindakannya.
Aku tidak bisa merangkai keindahan puisi kala pikiranku dipenuhi belenggu pikiran yang membunuh tawa. Namun, aku harap tulisanku akan abadi-oleh dunia yang orang lain bilang; ketidakjelasan. Serupa air; tenang namun menenggelamkan.
Bas, aku tidak bisa menjelaskan kemelekatan rima puisimu kala luka perlahan basah setelah dituang air cuka. Lukaku perih, aku merintih. Terkadang adakalanya tulisanmu membuatku menyunggingkan senyuman. Dan tentu, aku berterima kasih untuk itu.
Kamu tahu? Ada beberapa bagian yang ketika aku membacamu ... kamu pun membacaku. Maka di detik itulah aku menangis. Rupanya Kakak idolaku itu benar; kau merasa pulang ketika jiwa-jiwa manusia lain memahamimu.
Maka aku menolak lupa pada hal sederhana tentang kita melekat sebagai ingatan; serupa kafein di kedai kopi tua. Dinginnya yang dibiarkan sebagai tanda mata, bahwa penggalan cerita di sebuah kastil di sudut kota romansa adalah sepasang nama yang menagih tempat untuk tetap ada. Agar selamat dari asing dan usang.
Bas, entah sejak kapan sajakku bermakna kamu. Dan setelah hari itu; bisu dari kenanganmu tak pernah berhenti merindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Baskara! [ HIATUS ] ✅
RandomCukup tersisa-akal sehat yang sering diburuk sangka. Tiba-tiba segalanya begitu kamu, maka goresan tinta yang sederhana ini bermula saat aku melepas rindu berlebih dan rasa cemas yang membelenggu. Tentangmu adalah rima puisi yang sama, sebagaimana...